Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di Dunia

Apakah benar tingkat literasi Indonesia lemah?

The only thing that you absolutely have to know, is the location of the library

Albert Einstein

 

Jakarta, IDN Times- “Permisi dong, kak!” sahut anak laki-laki yang menginginkanku untuk bergeser. Dia mengenakan kaos dan celana pendek merah. Kulitnya kecokelatan. Rambutnya hitam dengan semburat emas, seperti terbakar matahari.

Setelah aku bergeser, ia melompati tembok pembatas setinggi satu meter. Gerakannya 'grasa-grusu'. Khas anak kecil. Dia hendak menuju rak buku lima tingkat yang berada tepat di hadapanku.

Tak ada lagi pembatas antara dirinya dengan lemari buku. Dengan tubuh kecilnya, ia harus berjinjit untuk melihat tumpukan buku di rak barisan kedua. Dia mulai mencari buku yang dianggapnya menarik. Rak buku yang semula berantakan, dibuatnya lebih berantakan lagi. Bocah itu menyingkirkan sejumlah buku untuk merengkuh buku lain.

Tidak sampai lima menit, ia sudah mendekap buku hitam bergambar binatang. Dengan bertelanjang kaki, ia segera berlari menuju temannya yang masih asyik membaca buku. Dia menawarkan buku yang baru didapatkannya untuk dibaca bersama.

Taman Baca Masyarakat (TBM) Kolong Flyover Ciputat

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Vanny El Rahman

Si bocah berkaos merah, Opick, 5, bersama temannya, Satrio, 4, sedang menghabiskan waktu senja di Taman Baca Masyarakat (TBM) yang berada di bawah kolong jembatan layang (flyover) Ciputat. Posisi persisnya di sentra Pasar Ciputat, berseberangan dengan Plaza Ciputat, diapit oleh dua jalur lalu lintas.

Tentu bukan tempat yang lumrah untuk sebuah taman baca. Riak-riuh angkutan umum menyandera telinga. Asap bekas pembakaran kendaraan bermotor kerap menyiksa dada. Belum lagi bau pesing di sudut taman. Kendati begitu, Opick dan Satrio tidak merasa terganggu. Mereka terlihat nyaman. Kedua bocah itu tersihir dalam lautan tinta.

Tatkala keduanya dirundung bosan, mereka akan bermain perosotan atau sekadar guling-guling di atas karpet rumput sintetis yang telah disediakan. Sesekali mereka saling mengejar hanya untuk menjatuhkan diri bersama-sama. Setelah itu, mereka akan kembali kepada bukunya.

TBM Kolong berdiri pada 2016 atas inisiasi komunitas “FISIP Mengajar” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Visi utamanya adalah mendekatkan masyarakat yang kurang mampu dengan budaya literasi. Ada lebih dari seribu buku di TBM Kolong, mulai dari novel, buku gambar, hingga buku pelajaran.

Selain menyediakan sarana untuk membaca, FISIP Mengajar juga memiliki kegiatan rutin seperti berdongeng dan belajar menulis. Pesertanya bervariasi, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Selain dilengkapi fasilitas bermain anak-anak, taman ini juga memiliki lapangan futsal yang rutin digunakan setiap sore.

Baca Juga: Kata Najwa Shihab Literasi Bukan Hanya Kemampuan Memahami Aksara

Rapor merah literasi Indonesia

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Reza Iqbal

Potret Opick dan Satrio seolah menjanjikan masa depan yang cerah bagi Indonesia. Di usianya yang masih belia, sekalipun mereka banyak menghabiskan waktu di jalanan, keduanya menunjukkan kedekatannya dengan buku. Walaupun beberapa kali salah mengeja satu-dua huruf, yang paling penting mereka tidak buta aksara.

Ironisnya, apa yang terjadi di TBM Kolong seakan dibantah oleh berbagai survei di tingkat internasional. Perkara literasi, Indonesia memiliki rapor merah dari Program for International Student Assessment (PISA). Berdasarkan hasil surveinya, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara yang disurvei.

Ada tiga hal yang menjadi indikator survei, perfoma sains; performa matematika; dan performa membaca. Secara spesifik untuk performa membaca, peringkat pertama diduduki oleh Singapura dengan skor 535. Di peringkat kedua ada Hongkong dan Kanada yang memperoleh skor 527. Indonesia menempati peringkat ke-63 dengan skor 397.

Kemudian, noktah hitam juga didapatkan dari survei bertajuk World’s Most Literate Nations 2016. Tingkat literasi Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Angkat tersebut didapat setelah Central Connecticut State University (CCSU) selaku penyelenggara mengukur ekosistem literasi negara, seperti surat kabar, perpustakaan, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Di era media sosial, minimnya literasi menyebabkan hoaks semakin mudah tersebar. Berdasarkan survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia pada 2017, 44,30 persen masyarakat Indonesia menerima kabar bohong setiap hari, 17,20 persen di antaranya menerima hoaks lebih dari satu kali sehari, 29,80 persen menerimanya seminggu sekali, dan 8,70 persen menerimanya satu bulan sekali

Dari angka di atas, 47,10 persen orang akan menyebarkan kembali berita yang ia dapatkan, tanpa mencari kebenarannya, jika ia mendapatkannya dari orang yang dipercaya, seperti tokoh politik, agama, atau keluarga. Disusul oleh 31,90 persen alasan kebermanfaatan untuk dibagikan kepada orang lain meski tanpa verifikasi.

Benarkah semiris itu kondisi literasi Indonesia?

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Vanny El Rahman

Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, membantah saat tingkat literasi Indonesia disebut sangat rendah. Menurutnya, angka-angka di atas hanya propaganda asing untuk menjatuhkan marwah bangsa Indonesia.

“Kita ini hidup di tengah pergaulan internasional, ada persaingan antar-negara, sangat mungkin kita diopinikan seperti itu, dispionasis oleh bangsa lain. Supaya apa? Karena mereka gak mau Indonesia negara maju,” ungkap Bando kepada IDN Times.

“Saya berani tantang, hanya Indonesia negara yang memiliki lebih dari 11 aksara. Kita punya (kisah tertulis) I Laga Ligo, Babad Diponegoro, Negarakertagama, itu sudah diakui dunia. Kita adalah bangsa dari nenek moyang yang membaca dan menulis,” tambah lelaki kelahiran Enkerang, Sulawesi Selatan itu.

Sebagai pustakawan dan pegiat literasi, Bando tentu membantah data dengan data. Berdasarkan hasil survei Perpusnas, indeks kegemaran membaca bangsa Indonesia meningkat 26,42 poin sepanjang tiga tahun terakhir. Semula, pada 2016, indeksnya berhenti pada skor 26,5, pada 2017 skornya naik menjadi 36,48, kemudian pada 2018 skornya menjadi 52,92.

Berdasarkan durasi membacanya, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 6 jam per minggu. Indonesia menempati peringkat ke-16 dengan kategori sedang. Peringkat pertama ditempati oleh India dengan lama membaca 10 jam 42 menit setiap minggunya.

Bando menjelaskan, permasalahan literasi bangsa ini bukan lagi buta huruf atau aksara. “Sekarang kita sudah 97 persen yang bisa baca, artinya hanya 3 persen yang masih buta huruf,” imbuhnya.

Ada dua krisis literasi yang tengah dihadapi negeri ini. Pertama, memahami pesan atau makna dari suatu teks. Kedua, mengimplementasikan hasil bacaan.

“Bangsa kita kalau ikut olimpiade, ikut lomba debat, itu jago pasti juara. Tapi soal keterampilannya itu yang kurang. Padahal itulah esensi kemerdekaan menurut Soekarno, kemerdekaan itu membekali akal setiap orang supaya bisa berpikir dan hidup dengan kakinya sendiri,” paparnya.

Sebaran perpustakaan di Indonesia dan perannya dalam meningkatkan literasi bangsa

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Vanny El Rahman

Perpusnas merupakan lembaga nonkementerian yang memiliki tugas membina dan mengembangkan semua jenis perpustakaan di Indonesia. Untuk melaksanakan tugasnya, pada 2019, Perpusnas disokong APBN sebesar Rp773 miliar.

Perpusnas juga dibekali gedung 24 lantai dengan ketinggian 126,3 meter dan luas bangunan 11.975 meter persegi. Karenanya, Perpusnas menjadi gedung perpustakaan tertinggi di dunia.

Bukan sekadar bantuan finansial dan materi yang diberikan, Perpusnas juga ditopang oleh regulasi yang melegitimasi urusan pengembangan perpustakaan dari Ibu Kota sampai ke desa.

“Hanya satu negara yang memiliki undang-undang keperpustakaan itu. Library of Congress di Amerika Serikat sekalipun gak akan pernah turun untuk membina perpustakaan sampai ke desa. Hanya kita yang punya,” terang Bando dengan nada optimistis.

Per 2018, Indonesia telah memiliki 164.610 unit perpustakaan, menjadikannya negara dengan perpustakaan terbanyak nomor dua di dunia setelah India. Permasalahannya adalah penyebaran perpustakaan yang belum merata.

Sekitar 47,79 persen perpustakaan berada di Pulau Jawa, kemudian 23,45 persen di Pulau Sumatera, 11,52 persen di Pulau Sulawesi, 8,47 persen di Nusa Tenggara, 6,67 persen di Pulau Kalimantan, dan sisanya berada di Maluku dan Papua.

Selain pemerataan, ternyata hanya 19,8 persen perpustakaan yang memenuhi standar nasional. “Karenanya, butuh komitmen pemerintah pusat dengan daerah untuk mendorong literasi bangsa ini,” sambung Bando.

Lantas, apa tantangan Perpusnas untuk meningkatkan literasi bangsa?

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Reza Iqbal

Ada dua tantangan besar di tengah geliat meningkatkan literasi bangsa. Pertama, buku yang beredar tidak sesuai kebutuhan. Bando kerap resah apabila perpustakaan daerah tidak memiliki buku yang menjelaskan tentang potensi daerah tersebut. Oleh karena itu, wajar saja jika masyarakat tidak memiliki minat untuk membaca buku.

“Kami mulai mengajak pemerintah daerah supaya perpustakaan daerah memiliki buku yang menuliskan tentang asal-usul daerahnya, potensi alam, dan manusianya. Kenapa harus daerahnya? Karena mereka yang paham apa kebutuhan masyarakat untuk tuntutan ekonominya, nulis buku harus sesuai kebutuhan,” papar alumni Universitas Hasanuddin.

Kedua, distribusi buku masih belum menyentuh daerah pinggiran. Permasalahan ini berkaitan dengan akses untuk mendapatkan buku dan keterbatasan infrastruktur. “Di kota-kota besar, buku banyak. Tapi di daerah-daerah, itu gak ada namanya koran baru, gak ada majalah dan buku baru.”

Perkara lainnya dirasa tidak menjadi tantangan berat bagi Bando. Sebab, Perpusnas sudah memanfaatkan teknologi untuk mendekatkan generasi millennial dengan budaya literasi.

“Yang kami lakukan kini adalah mengisi konten hp yang dipegang millennial dengan buku. Tinggal download iPusnas, nanti para millennial bisa membaca ribuan buku di sana, hak ciptanya telah kami bayar,” terangnya.

https://www.youtube.com/embed/WqqBx3JIPx4

Baca Juga: Pendiri Rumah Baca Pinisi Bulukumba Sabet Penghargaan Perpusnas RI

Budaya literasi harus dimulai dari diri sendiri

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Yohanes Nugroho

Duta Baca Indonesia Najwa Shihab mengatakan menggalakkan budaya literasi bukan hanya tanggung jawab negara, masing-masing dari kita juga harus mengampunya. Nana, sapaan akrabnya, mengapresiasi pegiat literasi yang telah mengantarkan buku hingga pelosok Indonesia.

“Ada banyak yang dilakukan oleh orang-orang biasa namun memberikan dampak yang luar biasa. Seperti mengantarkan buku dengan kuda, dengan kapal, ada juga forum taman baca. Menurutku ini yang penting (untuk mendorong budaya literasi), apa yang kita warga negara bisa lakukan,” kata Nana saat dihubungi IDN Times.

Kontribusi paling rendah untuk mendorong budaya literasi adalah dengan menjadikan membaca sebagai kebutuhan. “Saya selalu bilang, harus mulai dari kita sendiri. Harus jadi pembaca yang proaktif memilih bahan bacaan, gak cuma reaktif dengan apa yang muncul di timeline. Dimulai dari sekuatnya dulu, kalau kuat bacanya 30 menit sehari, ya segitu dulu.”

Perkara buku apa yang dibaca, Nana tidak mempermasalahkannya. Menurutnya, semakin banyak buku yang dibaca, akan semakin banyak khazanah intelektual yang didapat. Oleh sebab itu, dia sangat menolak dengan pelarangan dan razia buku-buku beraliran kiri.

“Tindakan itu adalah praktik yang sia-sia. Secara prinsipil tidak menghargai demokrasi dan perbedaan. Melarang membaca buku sama saja dengan menghalangi upaya mencari dan mengolah informasi. Itu adalah kemubaziran sempurna dan sia-sia. Karena di zaman teknologi setiap orang bisa mencari informasi secara bebas dan kritis,” bebernya.

Meningkatkan budaya membaca, sambung Nana, adalah satu-satunya jalan untuk membentengi setiap individu dari bahaya hoaks dan berita bohong.

Membaca adalah menjaga masa depan bangsa

Geliat Literasi Bangsa dengan Aksara Terbanyak di DuniaIDN Times/Vanny El Rahman

Di akhir perbincangan IDN Times dengan Kepala perpusnas, dia mengingatkan generasi millennial bahwa membaca adalah cara untuk menjaga bangsa. Bando kemudian teringat dengan suku Maori di Selandia Baru dan suku Indian di Amerika Utara.

Pada masanya, mereka adalah suku yang menguasai dua daerah tersebut. Mereka terlelap dalam kebahagiaan tanpa membayangkan perubahan zaman. Hingga akhirnya, bangsa Eropa datang untuk mengambil alih kekayaan alam mereka. Kini, mereka menjadi suku yang terpinggirkan. Seolah menempati kasta terendah. Mereka bak pengungsi di negeri sendiri.

“Orang-orang Eropa yang datang itu adalah orang yang membaca. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Suku Maori dan Indian kemudian tersisihkan. Artinya, membaca sangat krusial bagi generasi millennial untuk kelanjutan bangsa. Jangan sampai kita seluruhnya dicabut dari bumi kita sendiri,” ungkap Bando.

Kembali kepada Opick dan Satrio, keduanya tampak gembira menikmati buku demi buku. TBM Kolong menjadi ruang yang menjaga asa mereka berdua. Di bawah langit-langit kendaraan yang berlalu-lalang, Opick mengutarakan mimpinya untuk menjadi pemain bola.

“Kalau aku jadi polisi,” sahut Satrio.   

Dulunya, tempat ini dikenal sebagai sarang kriminal. Banyak preman dan anak jalanan yang menghabiskan waktu untuk mengisap narkoba atau melakukan tindakan asusila. Sayur basi para pedagang yang tak habis terjual dibuangnya begitu saja di sana.

Kini, TBM Kolong disulap menjadi surga. Sekedar untuk merebahkan diri atau mulai tergoda dengan rayuan literasi. Kala sinar senja muncul di sela-sela kolong, bukan hanya dua bocah itu yang terhanyut disapu kata, ada juga Putra, 17. Kalaupun dia memperkenalkan diri sebagai petugas keamanan di Plaza Ciputat, masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai preman setempat.

Tangannya penuh tato. Pakaiannya lusuh. Aroma tidak sedap menguar bila berada didekatnya. Tapi, apa yang ia genggam adalah buku. Dia tampak khusyuk menikmati kata demi kata. Tatkala pekerjaannya telah selesai, ia mengaku senang menghabiskan waktu di TBM.

“Sehari bisa baca tiga buku,” ungkap dia.

Baca Juga: [OPINI] Kenapa Literasi di Era Millennial Merupakan Hal Penting?

Topik:

  • Anata Siregar
  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya