Glenn Fredly(Isme): Warisan Seni Perdamaian dari Kaka Bung

"Sama seperti Gus Dur dan Munir, Glenn juga orang besar"

Jakarta, IDN Times- “Tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia,” kata Glenn Fredly dengan berapi-api. Suaranya melengking, mengalahkan gemuruh drum dan melodi, pula sorak-sorai  penonton. Di atas panggung, dengan sorotan lampu yang memerah, musisi kelahiran 30 September 1975 itu nampak gagah. Kharismatik.

Penampilan “Kaka Bung”, sapaan hangat Glenn, meninggalkan kesan mendalam di benak saya.  Siapa sangka, konser yang berlangsung di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) saat penutupan Indonesia Writers Festival (IWF) 2019 itu menjadi acara musik Glenn yang pertama dan yang terakhir saya tonton.

Bagi orang yang baru pertama kali melihat Glenn “manggung”, termasuk saya, ucapannya seputar intoleransi adalah hal yang berani. Bold. Tapi, hidup dan kepedulian Glenn memang bukan hanya soal musik. 

Jejak langkahnya ada di hampir semua aktivitas kemanusiaan di Republik ini.  Glenn sering ikut Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Nyong Ambon Manise ini berkontribusi besar dalam pembebasan tahanan politik asal Maluku, Johan Teterissa. Itu hanya contoh kepedulian Glenn.

Tapi, menyelipkan pesan-pesan kemanusiaan ketika berada di atas panggung, apakah hal itu diperlukan bagi seorang penyanyi? Apakah hal itu efektif untuk memberikan perubahan? Apakah hal itu tidak membahayakan karirnya jika bertentangan dengan keinginan promotor? Selepas konser, Kaka Bung berhasil memberikan kesan dan setumpuk pertanyaan yang berbekas di benak saya.

Sepekan lebih setelah Glenn meninggal pada 8 April 2020, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina menyelenggarakan webinar bertemakan Seni dan Perjuangan Perdamaian: Belajar Glenn Fredly. Salah satu pembicaranya adalah rekan seperjuangan Glenn di bidang kemanusiaan sekaligus sutradara ternama di Tanah Air, Angga Dwimas Sasongko.

Tokoh besar di balik film Surat dari Praha (2016) itu ternyata menyadari kebiasaan Glenn pada setiap konsernya, yaitu menyuarakan kegelisahan hati setelah menyenandungkan lagu-lagu andalan.

“Setelah lagu Kasih Putih atau Tega, dia akan mulai mengantarkan lagu berikutnya dengan pesan-pesan (kemanusiaan) itu. Glenn percaya cara paling efektif untuk menyuarakan kegelisahannya adalah dengan musik pop,” kata Angga, saat berlangsungnya webinar, Kamis, 16 April 2020.

Menurut Angga, “Lagu Glenn yang Menanti Arah, liriknya bercerita tentang orang-orang yang kehilangan hak, negeriku gelapi histori. Lagu sekeras itu ada (Glenn nyanyikan) di antara lagu-lagu cinta yang lain. Secara repertoar, itu menarik banget. Karena semua yang menikmati kultur pop akan mendengarkan itu.”

Setelah melewati 10 tahun masa persahabatan, Angga menilai suami dari Mutia Ayu ini adalah sosok pemberani. Nothing to lose. Memiliki cara yang unik dalam mencintai Indonesia. “Glenn adalah karakter yang kompleks dan unik,” kesannya.

Pada satu waktu, Angga pernah ditunjuk sebagai show director konsernya Glenn di salah satu TV nasional. Kaka Bung berpesan untuk menampilkan foto para pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), salah satunya Munir, saat menyanyikan lagu berjudul Terang. Di tengah persiapan, promotor justru menolak ide tersebut karena identitas Munir sarat akan kepentingan politis. Angga tidak bisa menolak. Dia ikuti segala kemauan promotor.

Saat itulah terjadi perbincangan antara keduanya. “Adik (panggilan Glenn kepada Angga), waktu latihan kasih apa yang mereka mau. Tapi nanti (ketika konser) yang pegang kontrol ale dan beta. Kita sikat,” tutur Angga mengingat kejadian tersebut.

Selepas konser, Angga menjadi bulan-bulanan promotor karena tidak sesuai dengan latihan. Foto Munir terpampang dengan sepenggal quote. Tanpa ragu, Glenn hadir di tengah perdebatan tersebut dan memasang badan.

“Promotornya ngamuk total karena dikira saya yang ngerjain mereka. Tapi Glenn justru menentang. Dia bilang ‘ini panggung saya, ini show saya, gak ada yang bisa intervensi’. Glenn benar-benar gak peduli kalau dia gak akan dipakai lagi untuk promotor itu,” ungkap Angga.

Dia menambahkan, “Tapi itulah Glenn. Dia menempatkan visinya lebih depan dari hal-hal komersil. Itulah yang membuat saya selalu bilang Glenn itu lebih besar dari musiknya.”

 

1. Konflik komunal Islam-Kristen di Ambon: “Misi kemanusiaan” pertama

Glenn Fredly(Isme): Warisan Seni Perdamaian dari Kaka Bung(Instagram/glennfredly309)

Pendeta yang juga aktivis perdamaian, Jacky Manuputty, mengungkap satu kejadian yang mengubah kehidupan Glenn secara drastis, yaitu konflik Ambon. Pada 1999, ketika konflik berkecamuk, Glenn sempat terjebak beberapa hari di sana. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat bagaimana perbedaan agama membenarkan praktik penggal-memenggal kepala.

Benih-benih kemanusiaan Glenn kian disuburkan setelah perjumpaannya dengan Franky Sahilatua, penyanyi berdarah Ambon-Surabaya. Franky banyak menghabiskan waktu untuk proses bina damai di Ambon. Dialah sosok banyak mempengaruhi kehidupan Glenn.

“Franky sempat marah mendengar Glenn yang katanya mau berbuat sesuatu untuk Maluku. Langsung dicari Franky itu sama Glenn. Kata Franky ‘kamu gak bisa bilang membuat sesuatu untuk Maluku kalau kamu gak tinggal di sana. Kamu harus mendengarkan langsung apa kata masyarakat sana’. Glenn langsung kontrak rumah di Amahusu. Secara rutin dia ke sana, (rumahnya) jadi tempat kumpul anak-anak muda,” tutur Jacky.

Ada banyak variabel yang menyebabkan kekacauan meletus di Ambon. Mulai dari permasalahan struktural, seperti kemiskinan dan dan ketimpangan antara wilayah Barat dengan Timur Indonesia, hingga permasalahan kultural, seperti intoleransi antar-agama.

Glenn mungkin tidak terlibat banyak pada resolusi konflik secara struktural. Karena memang itu tugas negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melindungi segenap warga negaranya.

Namun, kata Jacky, Glenn memainkan peran penting pada aspek kultural. Perkara ini menjadi penting karena, harus diakui, negara tidak selalu hadir di sana. Ketimpangan yang masih terjadi, bahkan jauh setelah konflik Ambon meredam, adalah bukti kebijakan negara yang masih tersentralisasi.

“Mencintai Timur Indonesia adalah cara Glenn mencintai Indonesia. Glenn pernah bilang, ‘omong kosong melihat nasionalisme dari kaca mata Jakarta. Jakarta bukan segala-galanya bagi apapun yang ingin dikerjakan di Indonesia’. Makanya Glenn sangat menolak sentralisasi,” ujar Jacky yang merupakan Asisten Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Dialog dan Kerjasama Antariman dan Antarperadaban.

Aktivisme kultural yang dilakukan Glenn juga diakui  pakar resolusi konflik Universitas Gadjah Mada (UGM), Diah Kusumaningrum. Menurutnya, negara belum tuntas menghilangkan rasa kecurigaan antar-umat beragama di Ambon meski pertumpahan darah sudah tidak lagi terjadi.

“Waktu ‘perang’ sudah selesai, segregasi masih kuat, masih ada kultur saling curiga. Glenn kemudian menggelar acara musik atau puisi, yang paling mengesankan dia menggelar konser untuk Gaza 2010. Padahal saat itu Kristen-Muslimnya masih saling curiga dan untuk orang awam apa urusannya musisi Kristen buat galang dana untuk orang muslim. Tapi dia mampu mengumpulkan mereka semua di satu venue,” tutur Diah, melengkapi keterangan Jacky.

Terkait konser untuk Gaza, Angga menceritakan bahwa ide tersebut berasal dari keresahan Glenn di media sosial. Spontanitas Kaka Bung dalam aktivitas kemanusiaan adalah salah satu sikapnya yang “mahal”, dan mungkin tidak tergantikan oleh musisi lain.

“Malam itu dia baca Twitter. Dia melihat potensi konflik di Ambon (terjadi lagi) karena mulai ada pengkotak-kotakan di medsos dan orang-orang itu adalah orang Ambon. Dia bisa ketemu dengan orang yang berdebat di Twitter untuk bicara di warkop. Dia izin wali kota (untuk konser) terus disetujui. Tanpa sound system yang bagus, panggung seadanya, Gong Perdamaian waktu itu menjadi saksinya,” kenang Angga yang sukses memproduseri film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) bersama Glenn. 

Dari panggung megah hingga panggung trotoar, Glenn kerap menghibur masyarakat Maluku dengan musik-musiknya. Dari warung kopi hingga belantara hutan, Glenn tidak mengeluh menampung aspirasi rekan sejawatnya. Dia juga sering mengajak orang-orang Jakarta untuk mengunjungi Maluku, agar bisa memahami kondisi di Indonesia Timur setelah melihatnya secara langsung.

“Teman-teman di Ambon Bergerak itu cerita, tidak ada satu hari pun tidak bertemu (dengan orang-orang Muslim). Katanya malah sampai kecanduan bertemu. Rasanya rindu kalau tidak bertemu,” tambah Dian menanggapi betapa besar pengaruh intensitas pertemuan dalam meredakan segregasi kultur.

Diah juga bertutur, “Glenn bisa bina damai secara effortless, alami sekali, tanpa perlu tahu teorinya. Dia menjalankannya melalui pertemanan dan keteladanan.”

Peran Kaka Bung pada konflik Ambon telah diakui berbagai pihak. Sesudah Franky Sahilatua meninggal dunia pada 2011, Glenn didorong banyak musisi asal Maluku untuk meneruskan perjuangan sang senior. “Sejak itulah Glenn (aktivitas kemanusiaan) semakin tekun dan semakin kental,” tambah Jacky. 

Baca Juga: Kisah Perjuangan Glenn Fredly Bebaskan Tapol Maluku Johan Teterissa

2. Berjuang melalui budaya pop

Glenn Fredly(Isme): Warisan Seni Perdamaian dari Kaka Bunginstagram/glennfredly309

Pada satu waktu, Angga pernah bertanya kepada Glenn. “Bung, gak mau coba kayak Iwan Fals bikin album (khusus untuk kemanusiaan)?”

Jawaban yang diutarakan oleh Glenn menyadarkan Angga bahwa dia bukan sosok yang meneriakkan HAM tanpa intelektualitas yang memadai.

“Dia bilang ‘kalau saya tiba-tiba berubah, saya akan kehilangan fans-fans. Mungkin sisanya tinggal setengah. Ini bukan soal berapa yang nonton, tapi kalau saya kehilangan mereka, maka suara yang mau saya sampaikan akan lebih kecil yang dengar’. Itulah alasan kenapa dia menggunakan platform pop untuk menyuarakan kegelisahannya,” kata Angga.

Bukan hanya musik, peraih Anugerah Industri Musik Malaysia tahun 2000 ini juga memanfaatkan film sebagai sarana untuk menyuarakan kegelisahannya. Ketika membuat film seperti Cahaya dari Timur: Beta Maluku atau Surat dari Praha, Glenn ogah menampilkannya dalam kemasan politis.

“Tidak seperti (film) Nelson Mandela. Tapi kami mengangkat (kegelisahan) dari kepala keluarga dan supir ojek, kami kemas dalam olahraga dan drama keluarga, sehingga siapapun hingga hari ini, anak-anak usia 13 tahun juga bisa nonton. Dari situ Glenn percaya audiens tidak hanya menikmati filmnya, tapi juga mendapat narasi besar dan ide,” tambahnya.

Sejak awal menggarap dua proyek tersebut, mereka sadar bahwa filmnya tidak akan meraup keuntungan besar, seperti film Dilan atau Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Namun, sekali lagi Angga menegaskan, tujuan proyeknya adalah melibatkan seniman dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan. 

“Apakah efektif? Saya tidak tahu, yang saya tahu pasti, berkarya adalah bagian dari civil society. Kita (seniman) adalah bagian dari struktur sosial, politik. We do our part. Dan jalur kami adalah budaya dan kesenian. Ketika semua gerak bersama, ada tokoh masyarakat, ada akademisi, ini akan jadi perubahan. Dan ini inilah yang diimpikan Kaka Bung.”

Kini, kita baru bisa melihat buah dari dua film tersebut. Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku diganjar Piala Citra 2014 sebagai Film Terbaik. Bersama Surat dari Praha, tercatat sebagai dua film dengan minute perform yang bagus di Netflix. Kemudian, Cahaya dari Timur: Beta Maluku berhasil “masuk” ke Istana Negara.

“Piala Citra 2014 bukan kemenangan buat kami. Kemenangan sebenarnya adalah ketika film diputar di Istana (pada 2015) setelah sekian lama gak ada film diputar di sana. Film ini sudah mampu membangkitkan kebanggaan komunal, dan lewat kebanggaan ini anak-anak muda Maluku mereka punya solidaritas, cita-cita bersama. Pada akhirnya film tersebut memiliki napas yang lebih panjang,” kata Angga.

3. Kepergian Kaka Bung, kehilangan besar

Glenn Fredly(Isme): Warisan Seni Perdamaian dari Kaka BungIDN Times/Arief Rahmat

Berpulangnya Glenn ke pangkuan Tuhan adalah pukulan telak bagi bangsa Indonesia. Kita kehilangan salah satu musisi terbaik yang sangat patut dijadikan tauladan atas perjuangan kemanusiaannya.

Dalam webinar yang berlangsung selama lebih dari dua jam itu, banyak warganet yang melontarkan pertanyaan kepada para pembicara, “siapa sosok yang patut dijadikan sebagai menjadi panutan sepeninggalan Glenn?”

Baik Angga, Diah, atau Jacky, mereka kompak untuk mengatakan sulit mencari penggantinya. Adakah sosok seberani Glenn yang tidak takut kehilangan materi? Adakah sesosok musisi Kristen yang rajin memberikan sekolah Minggu namun bisa duduk berdampingan dengan Quraish Shihab? Adakah sosok yang berani bertemu Presiden bukan untuk ketenaran individu, melainkan membebaskan seorang tahanan nurani?

Dengan mata berkaca-kaca, Jacky mengutarakan kekosongan hatinya setelah kehilangan Glenn.

Angga juga sempat tak mampu berkata selama 15 detik. Menahan untuk tidak menitikkan air mata sembari menutup hidung dan mulutnya. “Saya gak hanya kehilangan sahabat, kakak, dan panutan. Di banyak kesempatan, Bung adalah kompas moral saya.”

Terlepas dari kehilangan yang amat mendalam, Diah menggarisbawahi satu hal, yaitu tidak harus memiliki pengaruh atau kuasa untuk bisa memberikan perubahan. Dia mengutarakan tiga kata kunci apabila kita ingin mengikuti langkah Glenn.

Pertama, perjumpaan. Keberhasilan Glenn dalam memupuk perdamaian di Ambon adalah buah dari kontribusinya setelah membuat ruang-ruang perjumpaan antar-umat beragama.

Kedua, keistimewaan. Glenn sadar bahwa ia dianugerahi banyak keistimewaan, mulai dari suara yang indah hingga kecukupan harta untuk memperjuangkan kemanusiaan. Glenn dengan sangat sadar dan berani menyuarakan kegelisahannya dari panggung ke panggung.

“Ini sekaligus jadi tantangan juga, yaitu mistifikasi. Orang pasti bilang Glenn bisa begitu karena duitnya banyak, terkenal, hingga akhirnya menggantungkan (proses perdamaian) pada sosok besar. Tapi Glenn tidak ragu untuk ambil sikap,” ujarnya.

Terkait keberanian sikap dan keistimewaannya, Angga juga menyinggung bagaimana Kaka Bung mengambil sikap ketika memutuskan untuk mendukung Jokowi dua periode. Padahal, Angga sudah mengingatkan bahwa Jokowi juga mengakomodir para pelanggar HAM dalam kabinetnya.

“Glenn bilang, ‘beta punya agenda dik. Dan beta butuh lobi untuk membebaskan mereka tahanan politik’. Faktanya, misi itu accomplished. Tercapai. Negosiasi, lobi, bargaining position dengan istana bisa membebaskan tahanan politik (salah satunya Johan Teterissa). Save Aru juga jadi gerakan yang efektif. Glenn ini seperti Marthin Luther King, gerakannya gak hanya sampai depan Gedung Putih, tapi juga sampai ke dalam Istana,” papar Angga.

Terakhir, sentimentalias. Dalam melihat konflik, Glenn tidak merendahkan derajat kemanusiaan, apakah itu korban atau pelakunya. Dengan demikian, ketegangan bisa selesai karena masing-masing pihak merasa diperlakukan secara manusiawi.

“Gimana orang bisa diminta menghormati hak orang lain kalau dia melihat orang lain derajatnya lebih rendah dari manusia? Glenn sadar dalam bina damai harus bisa saling menghormati, harus sadar kalau orang di depannya (yang dihadapi) adalah manusia,” kata Diah.

Secara tidak langsung, Angga menambahkan kata kunci keempat, yaitu komitmen.

“Glenn banyak melakukan partisipasi dan itu gak mudah untuk orang yang punya banyak tawaran manggung. Dia mampu bicara ke manajemennya, dia hanya mau manggung sekian-sekian, saya ingin meluangkan waktu untuk agenda-agenda saya,” kata Angga.

Iring-iringan yang mengantarkan Glenn ke tempat peristirahatan terakhirnya, disebut oleh Lukman Hakim Saifuddin, sebagai bukti bahwa dia merupakan “orang besar”.

“Itulah mengapa saya mengatakan agama Glenn adalah kemanusiaan. Dia melakukan itu (aktivitas kemanusiaan) karena panggilan hati. Dia nothing to lose. Inilah yang dimiliki oleh orang-orang besar seperti Gus Dur dan Munir,”  

Lukman menutup penuturannya dengan sebuah harapan.

“Apakah kita kehilangan? Tentu. Tapi saya optimistis, setiap orang besar yang meninggalkan kita pasti akan melahirkan banyak orang-orang yang sejalan dengan pikirannya. Setelah Gus Dur meninggal ada Jaringan Gusdurian, setelah Munir meninggal ada Sahabat Munir, setelah Glenn meninggal, saya yakin nanti akan ada komunitas yang melanjutkan semangatnya.”

Seperti penggalan lirik lagu Dream Theatre, “If I die tomorrow, I’d be all right because I believe, that after we’re gone, the spirit carries on”.

Semangat dan kasih yang ditebarkan Glenn, semoga menyuburkan damai dan kemanusiaan di Tanah Air tercinta.

Baca Juga: 5 Jejak Karya Ini Membuktikan Glenn Fredly Bukan Cuma Seorang Musikus

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya