ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi Pemerintahan

Politik identitas mengancam Indonesia ke depan

Jakarta, IDN Times - “Nama saya Dede Yusuf alias Jundi alias Bondan. Saya memimpin beberapa ikhwan untuk melakukan amaliah pada 22 Mei dengan menggunakan bom yang sudah saya rangkai dengan menggunakan remote,” kata Yusuf, terduga teroris yang ditangkap Densus 88 di Jepara, Jawa Tengah, pada 14 Mei silam.

Keterangan Yusuf seolah mengafirmasi pernyataan Polri ihwal gelombang demonstrasi atas nama people power yang dimanfaatkan para radikalis. Menurut mereka, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang tidak sesuai ajaran Islam. Karena itu, pelaku, penyelenggara, dan pembela demokrasi adalah bagian dari thagut yang halal dibunuh.

“Pada tanggal tersebut sudah kita ketahui bahwa di situ akan ada kerumunan massa yang merupakan event yang bagus menurut saya untuk melakukan amaliah, karena di situ memang merupakan pesta demokrasi yang menurut keyakinan saya itu adalah syirik akbar,” kata dia.

Sebagaimana diketahui, pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno berencana menggelar aksi damai saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengumumkan hasil Pilpres 2019. Mereka menuding pasangan petahana, Joko "Jokowi" Widodo-Ma'ruf Amin, telah melakukan kecurangan yang sistematis, terstruktuf, massif, dan brutal.

1. Polisi menangkap 29 teroris jelang 22 Mei 2019

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/Axel Joshua Harianja

Sepanjang 2018, Polri menangkap 396 terduga teroris. Aktivitas pembekukan kian garang setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Undang-Undang Terorisme. Tentunya keputusan tersebut dipicu bom Surabaya yang menelan 28 nyawa.

Sayangnya, sel-sel terorisme di Indonesia tak sepenuhnya hilang. Padahal, Aman Abdurrahman, pemimpin JAD, telah melarang pengikutnya menyerang aparat keamanan, sekalipun tergolong thagut. Mereka bertransformasi menjadi sel pasif hingga momen yang tepat.  

Polri mulai mendeteksi pergerakan sel-sel terorisme yang kembali aktif. Hingga Mei 2019, total 68 terduga teroris telah ditangkap. Sebagian dari mereka adalah alumni Suriah yang berpotensi menjadi martir dan memiliki kemampuan merekrut anggota baru.

Terkhusus sepanjang Mei 2019, Polri telah membekuk 29 terduga teroris. Sebanyak 18  orang ditangkap di Pulau Jawa. Lima bom rakitan dan dua busur panah juga disita. Sementara, 11 lainnya diringkus di luar pulau Jawa.  

"Dari 11, sembilan merupakan anggota aktif JAD. Dua tersangka lain, yaitu deportan, hijrah ke Suriah, belajar membuat bom asap di kamp Aleppo,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol M Iqbal.

2. Eksklusivitas dari JAD melahirkan kelompok teroris baru

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/Axel Joshua Harianja

JAD bukan satu-satunya permasalahan terorisme di Indonesia. Berdasarkan laporan terbaru Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), eksistensi JAD justru melahirkan berbagai kelompok radikal baru. Sebab, JAD selama ini dikenal sebagai kelompok yang eksklusif.

Tak sedikit simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang gagal bergabung dengan JAD. Alasannya bervariasi, mulai dari kurangnya kompetensi hingga loyalitas yang masih dipertanyakan. Ada juga dari mereka yang tidak sepaham dengan lajur jihad JAD.

Namun, mereka tidak tinggal diam. Supaya mendapat pengakuan dari ISIS pusat, mereka membentuk jaringan baru yang tidak terikat JAD. Salah satu jaringan yang baru terbentuk adalah Singa Allah.

Kelompok ini terbongkar pada Juni 2018. Pemimpinnya adalah Rusdi, seorang yang terpapar paham radikal via internet. Ada tujuh anggota yang diamankan di Kebumen, Bandung, dan Bekasi. Rencananya, mereka hendak menyerang kantor polisi di Kebumen.

Kemudian, pada Juli 2018, Polri juga mengungkap kelompok Ansharul Kholaqoh. Total 10 orang ditangkap di Palembang. Pimpinannya adalah Suparman alias Daud, mantan narapidana yang terpapar radikalisme setelah berkomunikasi dengan Abu Husna, salah satu pemimpin Jamaah Ansharul Khilafah (JAK), jaringan teroris baru yang bermarkas di Solo.

Pada Agustus 2018, polisi menangkap kelompok radikal yang menamakan dirinya sebagai 554, yang merujuk kepada Surat al-Maidah ayat 54. Kelompok yang dipimpin Slamet Nur Arifin asal Nganjuk, Jawa Timur ini berencana pergi ke Filipina untuk 'berjihad'.

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/Sukma Shakti

3. Muncul pula sel teroris independen lain

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanDok. IDN Times

Selain kelompok baru, IPAC juga melihat bangkitnya sel-sel independen yang dulunya sempat berafiliasi dengan JAD. Mereka bertransformasi menjadi lonewolf atau jihad fardiyah. Pergerakannya tentu lebih sulit terdeteksi.

Motif amaliyah nya bermacam-macam. Ada yang terpaksa berjihad di Indonesia karena gagal ke Suriah. Ada pula yang tidak yakin dengan amal ibadah sepanjang hidupnya, karena itu dia ingin berjihad. Bahkan, sejumlah teroris ada yang percaya kiamat sudah dekat.

Salah satu sel independen adalah jaringan teroris di Tegal dan Palembang yang dipimpin Mahfudin, mantan anggota JAD. Ada tiga orang yang ditangkap pada Agustus 2018. Mereka dicokok setelah melakukan perampokan guna menghidupi anggota keluarga anggota ISIS.

Pada Agustus, enam mantan anggota JAD Sumatera Barat di bawah pimpinan Mas Yusral juga ditangkap. Mereka gagal melancarkan aksinya menyerang aparat keamanan setempat.

Lalu, September 2018, tujuh simpatisan ISIS ditangkap di Cirebon dan Bekasi, setelah menembak dua polisi di Cirebon.

Maret 2019, poisi juga mengungkap jaringan teroris di Sibolga, Sumatera Utara, setelah ledakan yang merusak 150 rumah dalam radius 100 meter. Mereka memanfaatkan Facebook untuk menjangkau jaringannya yang berada di Lampung, Kalimantan Timur, dan Jakarta.

4. Bahrun Naim dan warisan terorisme di Indonesia

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanBom Sarinah/america.aljazeera.com

Adalah Bahrun Naim sosok yang bertanggung jawab atas “bom rumahan” yang berhasil diproduksi para lonewolf. Ia juga terinspirasi dari majalah Al-Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP) yang memuat artikel “Make a Bomb in Kitchen of Your Mom”.

Artikel tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2010. Namun, banyak teroris yang tidak puas karena daya ledaknya tidak sesuai harapan.   

Pada 2015, Bahrun berhasil menyelesaikan kompilasi manual pembuatan bom yang lebih apik. Materinya diunggah secara daring melalui blog pribadinya. Pemerintah sebenarnya telah memblokir situs tersebut.

Bak pepatah putus satu tumbuh seribu, muncul lah situs dengan konten yang sama. Saat situs tersebut diblokir, salinan manual buatan Bahrun sudah tersebar. Pria yang disebut-sebut sebagai dalang di balik Bom Sarinah itu berharap panduan jihad dan manual membuat bom bisa menginspirasi simpatisan ISIS di Indonesia untuk melakukan amaliyah.

Bahrun merupakan salah satu tokoh ISIS Indonesia yang mendukung sel-sel otonom. Menurut dia, sel kecil yang diberi kebebasan beroperasi bisa merepotkan suatu negara sepanjang operasinya massif. Aparat keamanan akan kewalahan menghadapi sel kecil yang banyak tapi aktif. Ia mengadopsi ide tersebut dari gagasan Abu Bakar An Najdi dalam bukunya Idarah Tawawusyi: The Key to Political Victory.

5. Pemilu tidak berdampak terhadap bangkitnya sel terorisme

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/Mela Hapsari

Berdasarkan analisis Direktur Eksekutif Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) FISIP UIN Jakarta, Badrus Sholeh, pengumuman hasil Pilpres 2019 tidak berpengaruh terhadap eskalasi sel terorisme di Indonesia.

“Sebenarnya karena kebetulan bersamaan dengan pengumuman pemilu. Teroris itu gak percaya demokrasi, gak percaya Prabowo atau Jokowi. Keduanya dianggap pelaku demokrasi yang melanggar syariat Islam,” kata dia saat dihubungi IDN Times.

Badrus menggarisbawahi momentum Ramadan sebagai kebangkitan sel teroris yang awalnya tertidur. Sejak dulu, perintah amaliyah pasti lebih digaungkan menjelang Bulan Suci umat Islam. “Sejak awal Ramadan, pada era Al-Qaeda juga ya, sudah ada pengumuman dari ISIS pusat kalau Ramadan itu waktu yang dianjurkan untuk amaliyah.”

Ihwal people power yang kemungkinan ditunggangi kepentingan kelompok radikal, dosen hubungan internasional ini lebih menggarisbawahi objek serangan yang berkumpul di satu tempat.

“Gak ada hubungannya dengan pemilu. Mereka hanya memanfaatkan kerumunan orang, sehingga bisa menerobos ke tengah aparat kepolisian. Apalagi di sana ada banyak polisi yang menjadi target mereka. Kemudian, fokus polisi dan intelijen bisa terpecah karena massa yang bergerak ke KPU, sehingga tidak fokus terhadap satu dua kelompok (teroris),” papar dia.

6. Narasi people power dengan embel-embel pembela keadilan berpotensi membangkitkan ancaman baru

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/M.Idris

Setelah mengamati dinamika Pilpres 2019, Badrus tidak menampik kemungkinan akan munculnya ancaman baru di luar ISIS. Salah satu penyebabnya adalah narasi yang mendelegitimasi kapasitas penyelenggara pemilu dan aparat hukum negara.

Badrus menjelaskan, “Prabowo didukung kelompok Islamis. Ada juga beberapa kelompok yang mendukung 02 karena dianggap simbol harapan keadilan. Kemudian, mereka kecewa karena kekalahan 02 dan kubu 02 membuat narasi kalau KPU curang. Artinya, mereka menganggap perjuangan menegakkan keadilan adalah bagian dari jihad.”

“Mereka seolah mendapat legitimasi dan motivasi dari pada jenderal dan tokoh di dalam 02 untuk berjihad dan bisa jadi (paham) berjihad nya dengan senjata,” imbuh alumni Deakin University ini.

7. Ancaman teror di tengah transisi pemerintahan dan politik identitas untuk jangka panjang

ISIS dan Ancaman Terorisme di Tengah Transisi PemerintahanIDN Times/Arief Rahmat

Transisi pemerintahan, menurut Badrus, menjadi momen yang rentan terjadi teror. Kemungkinan itu semakin kuat jika kubu yang kalah tidak memiliki kedewasaan politik. “Karena di sana pasti ada anak muda dan pendukung yang sejak awal militan.”

Bila membandingkan dengan Pilpres 2014, sekali pun kontestan nya sama, Badrus menyebut, potensi terorisme lima tahun silam belum seganas sekarang lantaran eksistensi ISIS belum diakui dunia. Karenanya, potensi teror tahun ini lebih besar dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya.

“Saat 2014 gak ada ancaman yang lebih serius dari sekarang, ISIS juga masih baru. Saya kira Prabowo-Hatta juga menerima kekalahan nya. Tapi, saat ini ada pernyataan menolak sama sekali hasil KPU dan menganggap itu inkonstitusional dan menegakkan people power. Yang kemudian narasi itu diterima oleh pendukungnya sebagai jihad utama.”

Yang tak kalah penting adalah ancaman jangka panjang dari politik identitas yang terus dirawat seiring kepentingan politik. “Gejala people power sebagai alternatif untuk menegakkan argumen sudah ada sejak Pilkada DKI. Tentu ini berbahaya untuk demokrasi kita ke depan nya,” tutup Badrus.

Baca Juga: Kapolri Bentuk Tim Investigasi Korban Tewas Kerusuhan Aksi 21-22 Mei

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya