Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas Ombak

“Saya mah sudah mikir, begini mungkin ya rasanya mati.”

Pandeglang, IDN Times - Sarminah duduk kelelahan di atas reruntuhan bangunan yang tak lagi berbentuk. Ia baru saja mengais puing-puing, mencari sisa harta yang masih bisa diselamatkan. Perempuan berusia 50 tahun itu sama sekali tidak menduga bila gelombang tsunami setinggi enam meter menghancurkan rumah yang telah dihuninya selama lima tahun.

Di bawah sehelai terpal, ia berlindung dari teriknya matahari pesisir pantai. Tidak ada tembok atau ilalang yang melindunginya dari terpaan angin laut yang amat menusuk tulang. “Lumayan tuh dapat empat bungkus kecap,” katanya sembari melepas senyum. Entah senang atau kecewa, hanya dia yang tahu.

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas Ombak(Warga Pandeglang, Sarminah, korban tsunami) IDN Times/Helmi Shemi

Sarminah merupakan salah satu warga Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, yang merasakan derasnya terjangan ombak akibat erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 silam. Di usianya yang sudah senja, ia sudah tidak bisa berlari ketika bencana tiba-tiba datang. Terlebih, tsunami malam itu terjadi tanpa peringatan.

“Kata saya mah itu teh apa, kok putih-putih. Gak tau kalau itu tsunami. Udah gak keburu lari tiba-tiba udah kebawa air,” terang dia seakan mengingat kejadian malam itu. Sarminah terseret ombak. Ia berteriak meminta tolong kepada siapapun yang melihatnya. Ia khawatir bila malam itu menjadi kesempatan terakhirnya untuk menghela nafas. “Saya mah udah mikir, begini kali ya rasanya mati,”.

Baca Juga: Pulihkan Korban Tsunami Selat Sunda, Kemensos Dirikan Trauma Healing 

1. Perjuangan menuju Kecamatan Sumur yang terisolir

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakYouTube/IDN Times

Keputusan untuk berangkat ke Kecamatan Sumur tidak lepas dari kabar yang beredar bahwa masih banyak jenazah yang belum dievakuasi hingga sepekan bencana. “Di sana katanya masih bau anyir,” kata salah seorang warga di Tanjung Lesung. Apakah ini aroma yang ditimbulkan akibat jenazah yang sebelumnya tersapu air laut?

Bertolak dari Tanjung Lesung, butuh waktu dua jam setengah untuk tiba di Kecamatan Sumur. Tsunami menyebabkan akses ke daerah seluas 258,54 M2 itu sempat terputus. Alhasil, relawan dan aparat harus berputar untuk menyalurkan bantuan ke titik bencana. Waktu tempuhnya juga lebih lama, butuh sekitar tiga hingga empat jam.

Perjalanan menuju Sumur semakin sulit dengan akses yang begitu menyedihkan. Padahal, jarak antara Banten dengan Ibu Kota tidak sampai 7 jam. Sangat ironis bila mobil bantuan yang hilir mudik harus melintasi genangan lumpur tanpa aspal ataupun jalan cor. Rintik hujan yang tak kunjung berhenti turut menjadi penghalang.

Satu jam sebelum tiba di Sumur, terlihat anak-anak berbaris di sepanjang jalan. Dengan muka melas mereka menjulurkan tangan seraya meminta belas kasih dari setiap relawan yang melintasi jalur tersebut. Tidak sedikit dari mereka hampir tertabrak karena terlalu dekat dengan kendaraan yang lalu-lalang. Entah siapa yang menyuruh mereka.

2. Kisah Risman, terapung di atas ombak tsunami setinggi 6 meter

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakIDN Times/ Helmi Shemi

Reruntuhan bangunan di bibir pantai bak tugu “Selamat Datang” yang menandakan bahwa anda sudah tiba di Kecamatan Sumur. Kerusakan akibat tsunami terasa begitu nyata. Bangunan rata dengan tanah. Kapal nelayan menerjang perumahan warga. Ada juga rumah yang masih berdiri namun hanya ditopang oleh satu pilar. Sangat rawan runtuh.

Siang itu, sekitar pukul 13.45 WIB, puluhan warga tampak mengerumuni posko tanggap bencana. Mereka tengah sibuk memilih pakaian layak pakai sumbangan dari masyarakat. Begitu pula dengan Risman. Bermodalkan satu kardus, dia mengumpulkan baju untuk anak dan istrinya yang masih terluka setelah terhempas gelombang tsunami.

Risman adalah seorang nelayan. Setiap malam, dia rutin menghabiskan waktu di bagang apung (alat tangkap ikan di tengah laut) untuk menangkap ikan. “Ya di bagang itu kan berusaha mencari sesuap nasi,” ujar lelaki yang kala itu mengenakan pakaian merah dibalut peci hijau.

Kardus yang semula dipangkunya, ia dudukkan di sampingnya. Ia bercerita, saat tsunami menerjang Sumur, Risman tengah berada di bagang bersama rekannya, Juned. Tiba-tiba, gelombang setinggi enam meter mengangkat bagang tersebut dan membuatnya lebih tinggi dari seluruh bangunan di Pulau Umang.

“Pulau itu sampai ketutupan ombak. Waduh, pikiran saya geh, anak saya sudah gak mungkin selamat,” jelasnya dengan aksen Sunda ala Banten. Risman termasuk beruntung. Sebab, bagan yang dinaikinya tidak tersapu ombak. Ia masih diizinkan oleh Sang Maha Kuasa untuk hidup lebih lama.

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakIDN Times/Helmi Shemi

Di tengah gejolak gelombang, Risman memutuskan untuk berenang menuju kediamannya. Bermodalkan bambu sepanjang 3 meter, lelaki berusia 60 tahun itu memberanikan diri untuk bergulat di atas laut dengan kedalaman 30 meter. Entah darimana Risman mendapatkan keberanian dan kekuatan itu.

“Saya inget banget, saya lompat (dari bagang) itu jam setengah 11, jam 12 lewat 10 saya sampe di sini. Berarti saya dua jam berenang,” kata dia. “Saya punya anak tanpa daksa, pas saya lihat ke darat, sudah gak ada rumah, kapal udah pada hanyut ke darat. Saya lari, waduh saya gak sengaja keinjek jenazah, karena gelap gak ada lampu. Saya pikir mah anak saya udah mati,” perlahan Risman mulai tersendak.

Tanpa sadar dia mulai menitikkan air mata. “Istri saya ada di hutan dengan anak saya,” dia berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. “Anak saya itu pegang tangan istri saya sampai hanyut ke sana. Alhamdulillah masih hidup,” menangis juga tersenyum, Risman bersyukur tidak ada satupun anggota keluarganya yang hilang.

3. Sepekan usai kejadian, masih ditemukan jenazah yang tertimbun reruntuhan

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakYouTube/IDN Times

Di tengah deburan ombak, tiba-tiba sirine mobil berbunyi. Warga berlarian mengikuti mobil tersebut, begitu pula dengan rekan jurnalis yang saat itu berada di lokasi. Benar saja adanya, hingga sepekan ternyata relawan Palang Merah Indonesia (PMI) masih menemukan jenazah yang tertimbun reruntuhan.

Dibungkus kantong oranye, jenazah tersebut segera dilarikan ke puskesmas terdekat. “Dengan ini sudah 8 jenazah yang kami angkut,” kata Deni Arisandi selaku Ketua Harian PMI Serang. “Sama seperti kronologi penemuan sebelumnya, aroma jenazah terendus. Karena memang sudah lama ya tertimbun,” sambung dia.

Sebagaimana diketahui, terdapat tujuh desa yang rusak diterjang ombak tsunami. Yaitu, Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kertamukti, Kertajaya, dan Sumber Jaya. Masih ada banyak korban yang hilang. Karenanya, Deni menegaskan bila dia bersama relawannya akan terus melakukan pencarian korban.

4. Bantuan dari relawan, semangat untuk masyarakat Sumur

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakIDN Times/Helmi Shemi

Tidak bisa dipungkiri bila penanganan usai tsunami terbilang lambat. Sulitnya akses menuju Sumur menyebabkan alat berat seperti eskavator baru masuk pada hari keenam. Selama itu, masyarakat beserta relawan bergotong-royong mengevakuasi korban.  

Kendati terisolir, tidak sedikit relawan yang memberanikan diri untuk menembus sulitnya akses. Bantuan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat (Ormas), hingga instansi beberapa pemerintahan hadir di tengah masyarakat.

“Cuma memang gak bisa bolak-balik. Saya di sini sejak hari pertama kejadian,” tutur seorang relawan dari Aksi Cepat Tanggap (ACT). Bagi sekitar 20.487 korban yang terdampak, kehadiran mereka pasti sangat berarti.

Front Pembela Islam (FPI) tidak mau ketinggalan. Dipimpin oleh seorang pemuda bernama Afifuddin, Laskar FPI Cibaliung bahu-membahu membersihkan serta membangun kembali rumah ibadah yang sempat dikoyak gelombang.

“Dari Banten turun semuanya. Kami bantu-bantu masyarakat ya, tapi fokus utamanya di benerin musala dan masjid dulu,” terang Afif yang masih berusia 17 tahun. Bagi mereka, dalam kondisi yang belum kondusif, warga tidak boleh kesulitan beribadah.

“Ada juga sebagian yang menyalurkan bantuan yang diamankahkan kepada kami,” Afif melengkapi.

5. Mitigasi bencana sangat minim sekali

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakIDN Times/ Helmi Shemi

Ditanyakan terpisah, setidaknya terdapat dua hal yang menyebabkan 81 warga Sumur meninggal akibat tsunami, yaitu tidak adanya peringatan dan minimnya mitigasi bencana. Sebagaimana penuturan Sanah. Dia merupakan warga kelahiran Sumur. Selama 35 tahun hidup di pesisir pantai, ia mengaku tidak memiliki pemahaman mitigasi bencana yang memadai.

“Paling kalau misalkan ada bencana, larinya ke gunung,” terang dia. “Sosialisasi (mitigasi) bencana gak rutin, terakhir tiga tahun yang lalu. Kemarin aja geh habis musibah Donggala gak ada imbauan lagi di sini,”.

Sanah tinggal bersama suaminya. Rumah yang ditinggalinya berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai. Bersyukur selalu diutarakannya. Sebab, dia belum tertidur lelap ketika gelombang tsunami menghantam rumahnya. “Untung masih bangun, jadi sama suami masih bisa lari,” tutur dia.

Tidak jauh dari rumahnya, sekitar 100 meter, terdapat menara pantau milik angkatan laut. Ke depannya, ia berharap menara tersebut dipasangi sirine yang bisa berbunyi apabila bencana terjadi.

“Habis itu ada rambu jalur evakuasi juga, jadi warga tahu harus ke mana kalau lari. Penting itu mah menurut saya, karena ini kan menyangkut keselamatan kita bersama,” tutupnya.

6. Trauma healing belum bisa dilakukan

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas OmbakYouTube/IDN Times

Warga masih diselimuti trauma. Desas-desus mengenai tsunami susulan masih menghantui warga. Encun selaku Sekretaris Kecamatan Sumur mengaku masih belum mampu memfasilitasi pemerintah untuk melakukan pemulihan trauma (trauma healing).

“Mungkin ke depan bisa ya, karena memang fokus utama kami masih evakuasi sekarang. Mohon doanya saja, karena kami trauma banget, trauma banget ya Allah,” kata dia saat ditemui di pos Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDP).

Selain itu, ia berharap pemerintah memfasilitasi kecamatan setempat untuk melakukan sosialisasi mitigasi bencana secara rutin. Lebih dari itu, sadar akan potensi tsunami yang terjadi sewaktu-waktu, ia menginginkan agar pemerintah segera memiliki alat deteksi gempa vulkanik.

“Ya mudah-mudahan pemerintah ya (mendengar). Karena kecamatan ini cukup terisolir ya, jadi trauma banget kalau ada bencana, apalagi hampir semua desa di Sumur hancur semua,” tambahnya.

7. Tsunami di Selat Sunda adalah bencana unik

Kisah Pilu Korban Tsunami Banten, Terapung hingga Terempas Ombak(Jumpa pers Kapusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho) IDN Times/Teatrika Putri

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho menegaskan bahwa bencana yang menghantam Banten dan Lampung tergolong unik. Ia tidak menduga bila longsoran bawah laut berujung ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya luka-luka.

Sutopo juga angkat bicara mengenai pengumuman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang simpang siur. Awalnya, BMKG menduga hanya terjadi rob biasa di sekitar Banten dan Lampung, sehingga tidak ada imbauan agar masyarakat segera mencari tempat perlindungan.

“Keasalahan adalah hal yang wajar, karena Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini yang diakibatkan longsoran bawah laut,” terang Sutopo saat rilis akhir tahun di kantornya. “Di Jepang sekalipun, yang peralatannya lebih maju, masih terjadi kesalahan. Kenapa? Karena memang ini alam yang tidak bisa diprediksi dengan pasti,”.

Oleh karenanya, pria yang karib disapa Pak Topo itu tidak bisa memungkiri bila Pandeglang menjadi daerah dengan korban nyawa dan kerusakan yang paling besar. Ke depannya, dia berharap agar pemerintah memasukkan mitigasi bencana sebagai kurikulum belajar.

Sutopo menutup, “Kenapa? Karena bencana alam di Indonesia adalah keniscayaan. Di 2019, diprediksi akan terjadi 2.500 bencana hidrometereologi dan rata-rata 500 gempa setiap bulannya. Mitigasi bencana belum cukup dimasukkan ke dalam pendidikan karakter. Mendikbud harus mempertimbangkan kembali rencana untuk memasukkan mitigasi bencana ke dalam kurikulum pembelajaran,”.

Baca Juga: Kontroversi Pose Sendiri Jokowi Saat Tinjau Lokasi Tsunami

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwi Agustiar
  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya