Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan Difabel

"Kesehatan mental dan jiwa difabel itu sangat rentan"

Jakarta, IDN Times – Adia Zunia Rachmah tersipu malu menyambut kedatanganku. Tangannya terkepal menutupi sebagian mulut. Seolah tidak ingin mengumbar senyumannya kepada orang yang baru ditemui.

“Salaman dulu sama kakaknya,” kata Rohmah, ibu dari anak perempuan berusia sembilan tahun itu, sambil mengarahkan tangan Zunia kepadaku.

Tampilan fisik Zunia menunjukkan dia merupakan anak berkebutuhan khusus. Down syndrome. Kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan rendah dan kelainan fisik. Dahinya lebar. Hidungnya pesek. Ujung matanya melancip.

Setelah bersalaman, Rohmah mempersilahkanku duduk di ruang tamu. Terpaut setengah meter dari pintu masuk.

Saat meletakkan tas sembari melepas jaket bomber hijau yang aku kenakan, suara ‘jedug’ tiba-tiba muncul dari dekat Zunia. Dia baru saja membenturkan kepalanya ke lantai rumah.

“Sakit kan,” kata Rohmah kepada Njun, sapaan akrab Zunia.

"Tiap hari dia begini, ngamuk-ngamuk terus. Ada aja atraksinya,” sambung dia, saat melihat Zunia yang kembali guling-gulingan dan salto di atas ubin, seolah tidak kapok kesakitan.  

Selang beberapa menit, pikiran Zunia teralihkan dengan musik yang menggema dari luar rumah. Dia berdiri kemudian menari. Untuk sesaat dia tidak lagi menyakiti dirinya.

“Iya ondel-ondel,” ujar Rohmah, menimpali Zunia yang bergumam namun tak ada satu kata pun yang diintonasikan dengan jelas.

Suara musik perlahan menghilang. Ondel-ondel berjalan menjauhi kediaman Zunia. Saat itu pula putri kedua Rohmah mulai kehilangan fokusnya. Dia berlari ke sana-ke mari. Guling-gulingan. Melempar barang yang ada di sekitarnya. Hingga membanting sepeda ontel yang ukurannya berkali-kali lipat lebih besar dari tubuh Zunia. 

“Aduh bener-bener,” kata Rohmah, berusaha menahan kesal, sembari meminta maaf karena perbincangan kami selalu dipotong oleh perilaku Zunia.

“Kalau kita terlambat nanganin tantrumnya, habis semua barang. Itu aja pintu kamar mandi rusak gara-gara dia gak mau mandi. Gak tau kenapa kuat banget tenaganya,” tambah Rohmah.

Down syndrome dan ADHD

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan DifabelIlustrasi anak dengan difabel intelektual (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Sebagai penderita down syndrome, pertumbuhan Zunia relatif lebih lambat dari anak-anak pada umumnya. Dia baru bisa berjalan saat berusia empat tahun, itu pun setelah menjalani berbagai terapi dan pengobatan alternatif bertahun-tahun. Selama belum bisa menapak, Zunia hanya bisa merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Rohmah senang tatkala jerih payahnya mulai terbayarkan. Suka cita hadir saat Zunia bisa berlari. Namun, entah bagaimana momen bahagia itu bak oase di tengah padang pasir. Ibarat intermeso di tengah segudang cobaan. Rohmah mulai kelimpungan saat Zunia menunjukkan gejala tantrum.

“Usia lima tahun sering lari-lari gak jelas. Tiba-tiba suka ngamuk, berontak. Langsung suka jedotin kepala, dibenturin ke kaca, sering juga benjol,” ungkap dia.

Sebab kondisi kesehatan makin mengkhawatirkan, sang ibu memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Rohmah heran karena diarahkan untuk berkonsultasi dengan dokter kesehatan jiwa dan mental. Dia sempat menduga penyebab tantrum adalah kelainan saraf.

Setelah menjalani pemeriksaan, Rohmah diberitahu bahwa anaknya mengidap attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), yaitu gangguan mental yang menyebabkan seorang anak sulit memusatkan perhatian, hiperaktif, impulsif, dan cenderung agresif.

Selama empat tahun, Zunia rutin menjalani pengobatan dan terapi medis. Adapun terapi non-medis, asesmen psikologi yang tujuannya mengetahui tingkat IQ Zunia sehingga bisa menentukan pola pendidikan dan pengasuhan yang ideal, belum pernah dia jalani.

“Waktu itu pernah mau tes psikologi, tapi gak bisa, anaknya tantrum kayak begini. Apa aja ditimpukin ke psikolognya, sampe kata psikolognya juga gak bisa ikut tes sebelum dia tenang,” ulas Rohmah.

Baca Juga: Semangat Difabel Intelektual Menggapai Asa di Tengah Himpitan Pandemik

Pengobatan yang belum membuahkan hasil

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan Difabelilustrasi obat-obatan (IDN Times/Mardya Shakti)

Rohmah bercerita, Zunia menjalani pengobatan di dua tempat, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja untuk penanganan kesehatan mental dan jiwa, serta Rumah Sakit Islam Sukapura untuk terapi medisnya.

Rohmah tidak lahir dengan sendok emas. Tempat tinggalnya berada di bilangan Koja, Jakarta Utara, kawasan padat penduduk. Suaminya bekerja sebagai pegawai bengkel dengan pendapatan sekitar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per hari.

Pengobatan Zunia bergantung pada asuransi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) kelas III dengan iuran sekitar Rp42 ribu setiap bulan. Kendati begitu, tidak jarang Rohmah harus merogoh kantong pribadi untuk menebus obat-obatan yang tidak tersedia di rumah sakit.

Bagi sebagian kalangan, obat seharga Rp100 ribu untuk penanganan ADHD mungkin terbilang terjangkau. Tapi, bagi keluarga Rohmah, menyisihkan uang Rp10 ribu saja bukan perkara mudah. Ada banyak hal yang harus dikorbankan, termasuk uang makan sehari-hari.

Terkait kebutuhan susu Zunia, Rohmah hanya bisa mengharapkan bantuan pemerintah. Dia bahkan tidak mampu untuk membeli susu bubuk kotak seharga Rp60 ribu. “Akhirnya beli susu bubuk saset yang Rp3 ribu,” ungkap dia.

Di tengah perbincangan, Zunia tiba-tiba menangis kencang. Untuk kesekian kalinya, dia membenturkan kepalanya ke keramik lantai. Peristiwa itu terjadi karena sang ibu hanya meleng sesaat. Padahal, beberapa saat sebelumnya, Zunia sempat anteng karena asyik menonton YouTube bersama kakaknya.

“Tuh kan sakit. Tuh sampe benjol kepalanya,” kata Rohmah, segera memeluk Zunia dan mengelus-elus kepalanya, berusaha menenangkan sang buah hati.

Ibu berusia 34 tahun itu akhirnya meminta sang kakak supaya Zunia dibawa ke rumah kakeknya, yang berjarak sekitar 2,3 kilometer dari kediamannya. Bisa ditempuh dalam waktu delapan menit dengan mengendarai motor.

“Kalau di sana ada bapaknya, jadi kakaknya bisa gantian jaga,” ujarnya.

Memaksa Zunia untuk menaiki motor ternyata tidak gampang. Seolah tidak mau dibawa ke rumah kakeknya, dia mencengkeram erat setiap barang yang ada di sekitarnya, mulai dari pagar hingga pintu. Bahkan, dia berpegangan dengan puing-puing kayu bekas renovasi yang dipenuhi paku. Beruntung hari itu tidak ada benda tajam yang bersarang di tangannya.

“Yaa kayak gini mas kita selama empat tahun. Pengobatan juga belum ada hasilnya. Bingung saya, sampai saya bawa ke 'orang pinter', segala dikasih air, dirukiah juga pernah, bahkan ada yang dokternya nyuruh saya ikut rukiah. Ada yang suruh bawa ke Ustaz Danu di MNC. Ya kata saya ogah, bayarannya mahal, saya gak punya uang,” terang Rohmah.

Sebab tak kunjung membaik, tidak jarang Rohmah mempertanyakan metode pengobatan yang dijalani anaknya. Setahu dia, pendekatan dokter hanya bergantung pada penambahan atau pengurangan dosis obat.

“Dokter cuma ngasih obat penenang dosis tinggi. Kalau konsul berikutnya tantrum berkurang, dosis obatnya dikurangin. Nah kambuh lagi tantrumnya, ya ditambahin lagi dosisnya. Obatnya juga itu-itu doang. Gak ada kayak rencana penyembuhan gitu,” ulas dia.

Obat dosis tinggi dengan efek samping mengantuk ternyata membawa permasalahan lain. Setelah mengonsumsi obat, Zunia akan tertidur dalam waktu lama. Tidak jarang dia mengamuk kelaparan setelah tertidur selama 10 hingga 12 jam.

Sebaliknya, ketika mengonsumsi obat dosis rendah, efek dari obat tersebut hanya bertahan 30 menit hingga satu jam. Setelah itu Zunia akan mengamuk lagi.

Terlepas dari dosisnya, belakangan ini Rohmah mendapati tantangan baru. Zunia mulai bosan mengonsumsi obat-obatan. Dia menyadari gelagat ketika sang ibu ingin menyuapi obat.

Beberapa kali Rohmah menyiasati dengan mencampurkan obat ke dalam vitamin. Supaya Zunia tidak merasakan pahit. Namun, karena keterbatasan uang, Rohmah kerap kesulitan untuk membeli vitamin.

“Dia tahu kalau saya buka obat. Nanti pas makan langsung disembur ama dia, dibuang obatnya,” ungkap dia.

Di sisi lain, Rohmah bersyukur karena terapi yang dijalani Zunia mulai membuahkan hasil. Sekalipun perkembangannya lambat. Zunia menjalani terapi dua kali seminggu dengan durasi 45 menit setiap pertemuan, yaitu di RS Islam Sukapura pada Kamis dan di Rumah Autis, tempat Zunia bersekolah, pada Jumat.

Semula Zunia hanya bisa mengonsumsi makanan yang dihaluskan dengan blender. Setelah mengikuti terapi, dia sudah bisa memakan nasi asal ditambahkan dengan kuah.

“Gak bisa kalau dikasih makanan kering kayak nasi sama telur dadar. Pasti keselek. Makan buah juga gak bisa dia, gak bisa ngunyah. Makanya dia kurang gizi,” kata Rohmah.

Rohmah bisa sedikit bernapas lega karena mendapat dokter yang pengertian. Setiap jadwal konsultasi, sekitar dua minggu sekali atau ketika obat habis, Rohmah tidak diharuskan membawa Zunia. Dia hanya perlu datang menemui dokter untuk menyampaikan perkembangan dan menebus obat.

“Bayangin aja, pas naik motor dia masih suka jedotin kepala ke speedometer. Terus anak tantrum begini gak bisa diem. Di rumah sakit dia lari-larian, mukul-mukulin orang, resek dah. Kadang saya malu juga diliatin orang,” curhat Rohmah. 

“Pernah juga waktu itu dibawa ke RS Cipto (Mangunkusumo). Tapi ya gitu, kita nunggu dari jam 7 pagi sampai 4 sore. Capek banget saya bawa Zunia, dia juga tambah ngamuk-ngamuk karena capek juga,” katanya, menceritakan pengalaman berobat di rumah sakit lain.

Kerentanan difabel terhadap penyakit mental dan jiwa

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan DifabelInfografis seputar ragam difabel (IDN Times/Aditya Pratama)

Perjumpaan dengan Zunia mengantarkanku kepada I Gusti Rai Putra Wiguna, seorang psikiater atau dokter spesialis kejiwaan. Perbincangan kami selama 37 menit dimulai dengan penegasan bahwa penyandang difabel memiliki kerentanan terhadap gangguan mental dan kejiwaan.

“Apapun bentuknya, difabel fisik, intelektual, apalagi psikososial, kesehatan mental dan jiwa mereka sangat rentan,” kata Gusti melalui sambungan telepon.

Sulit untuk mencari data nasional terkait permasalahan mental di kalangan difabel. Namun, berdasarkan survei Into The Light sepanjang Mei-Juni 2021, ternyata 64,5 persen dari 1.161 responden merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri. Kecenderungan itu lahir sebagai dampak dari gangguan mental dan jiwa.

Responden dalam survei tersebut terdiri dari 880 difabel psikososial dan mental, 80 difabel fisik, dan 201 difabel ganda, yaitu difabel psikosisal atau mental dengan fisik.

Sulit untuk menangani permasalahan mental pada mereka yang mengalami difabel intelektual, Zunia salah satunya. Difabel intelektual adalah kondisi ketika seorang anak memiliki masalah dengan fungsi intelektual dan fungsi adaptifnya.

Secara psikologis, penyandang difabel intelektual memiliki IQ di bawah 70. Konsekuensinya adalah kesulitan berkomunikasi dan beradaptasi, bermasalah dalam berpikir logis, serta sulit untuk mempelajari hal-hal baru.

“Difabel intelektual itu sulit menyampaikan emosi, pendapat, dan perasaannya, sehingga orang di sekitar sulit untuk menangkap maunya apa. Mereka juga sulit diajari. Akhirnya mereka mudah frustasi, marahnya meledak-ledak,” ujar Gusti.

Menurut Gusti, banyak pengidap ADHD yang berhasil sembuh dari penyakit tersebut, hanya dengan rutin menjalani pengobatan medis. Namun, pada kasus Zunia, down syndrome yang disebabkan oleh difabel intelektual menyebabkan tantrum dan hiperaktifnya semakin tak terbendung.

Dokter asal Bali itu khawatir, kebiasaan Zunia melukai diri sendiri akan semakin parah ketika memasuki masa pubertas.

“Karena nanti ada pengaruh hormonal yang menyebabkan gangguan perilaku. Kalau ADHD tanpa down syndrome setelah pubertas gejala hiperaktifnya akan hilang. ADHD bisa pulih. Tapi difabel intelektual inilah yang menjadikannya lebih sulit disembuhkan,” ulas dia.

Satu-satunya hal ‘positif’ dari difabel intelektual yang memiliki permasalahan mental adalah mereka tidak akan melakukan upaya bunuh diri. Berbeda dari difabel psikososial, seperti bipolar atau skizofrenia, atau difabel fisik yang menjadikan bunuh diri sebagai ‘jalan keluar’ atas keterbatasan mereka.

“Difabel intelektual cenderung menyakiti diri sendiri, kalau ada yang bunuh diri itu bukan karena keinginan, karena mereka kurang paham konsep bunuh diri,” tambah dokter yang sehari-hari bekerja di Sudirman Medical Centre Bali itu.

Secara medis, ada banyak faktor penyebab seseorang mengidap tantrum, salah duanya adalah zat kimia di otak yang tidak seimbang dan faktor biologis. Namun, hal yang menarik untuk digarisbawahi adalah penyebab tantrum dari faktor psikologis.

Menurut psikolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Neneng Tati Sumiati, penyandang difabel intelektual sering mengalami tantrum karena hal-hal sepele.

“Seperti air tumpah atau mainan jatuh. Padahal bagi kita itu tinggal dilap atau diambil mainannya. Tapi karena mereka kesulitan untuk membuat solusi, mengekspresikan pikiran dan perasaan, akhirnya mereka malah marah-marah,” ungkap Neneng.

“Artinya, lingkungan dan orang di sekitarnya juga bisa memberikan tekanan, yang justru membuat si anak malah tantrum,” tambah dia, menekankan pentingnya sikap toleransi terhadap pengidap difabel intelektual yang memiliki permasalahan mental.

Neneng juga memiliki seorang anak dengan difabel intelektual. Rifki namanya. Setelah hidup bertahun-tahun dengan sang buah hati, Neneng menyadari bahwa tantrum merupakan salah satu cara bagi Rifki untuk mencari perhatian. 

Pentingnya support system dalam menjaga kesehatan mental

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan DifabelIlustrasi Keluarga (IDN Times/Mardya Shakti)

Masih banyak orang tua dan para wali yang menganggap tantrum sebatas amukan sesaat, konsekuensi lain dari seorang anak yang mengidap difabel sejak lahir. Mereka berpikir si anak akan tenang setelah mengamuk selama 30 menit atau satu jam kemudian.

Mereka tidak menganggap kesehatan mental dan jiwa di kalangan difabel intelektual sebagai perkara serius. Sehingga, sebagian dari mereka menghindari konsultasi dengan psikiater atau psikolog. Sebagian lainnya enggan distigma sebagai ‘orang gila’ karena mengunjungi poli jiwa.

Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia, Suzy Yusna Dewi, mengatakan bahwa penanganan tantrum yang terlambat bisa berujung kebiasaan menyakiti diri sendiri. Berawal dari rasa frustasi, bukan tidak mungkin mereka mulai menjedotkan kepala ke permukaan padat seiring meningkatnya intensitas tantrum.

“Karena keinginannya gak dituruti, lama-lama bisa menjadi gangguan jiwa berat. Termasuk orang tuanya gak mengerti anaknya. Dan sering kali mereka menganggap itu sebagai hal biasa, karena memang anaknya sudah bermasalah sejak lahir,” papar dia.

Terkait peran keluarga sebagai support system, Neneng sempat menghadapi sejumlah klien yang seakan tidak menerima takdir, bahwa mereka harus membesarkan seorang anak difabel. Alih-alih menggali potensinya, orang tua justru sibuk menampik realita bahwa keturunannya terlahir dengan kebutuhan khusus.

“Sampai ada yang bilang ‘saya tidak terima, kenapa anak saya yang begini, kenapa bukan yang lain?’ Dan itu masih terjadi sampai anaknya berusia 21 tahun. Bisa dibayangkan, sudah berapa tahun anaknya tidak mendapat apa yang seharusnya dia dapatkan,” ungkap Neneng.

Dia menambahkan, “karena orang tua kadang-kadang menganggap anak dengan difabel sebagai aib, yang paling ekstrem harus disembunyikan, banyak yang ditaruh di panti. Bagaimana mau tahu potensi si anak kalau orang tua tidak berusaha mengenalinya.”

Dengan mengenali kelebihan dan kekurangan sang anak, orang tua akan mengetahui kapan intervensi psikiatri atau psikologi dibutuhkan untuk mencegah tantrum yang semakin parah. Jika tantrum menyebabkan sang anak kesulitan beradaptasi dan mengalami kemunduran dalam melakukan kegiatan sehari-hari, kata Neneng, maka penanganannya cukup sebatas psikolog.

Gusti menambahkan, jika intensitas tantrum semakin tinggi dan muncul kebiasaan menyakiti diri sendiri atau orang lain, maka intervensi obat dari seorang psikiater sangat dibutuhkan.

“Semua anak-anak pasti punya tantrum. Nah, kita harus tahu range-nya. Ada yang cukup dengan cooling down dan diberi kalimat afektif kondisinya akan membaik. Tapi ada juga tantrum yang gak bisa didiamkan. Di sinilah pentingnya tidak menilai kondisi berdasarkan informasi umum,” beber dia.

Informasi umum yang dimaksud adalah memperlakukan sang anak tanpa asesmen medis atau psikologis, melainkan berdasarkan apa kata orang kebanyakan atau apa kata orang yang kondisinya hampir serupa. Contohnya, pengetahuan umum yang beredar di masyarakat adalah bermain dengan teman sebaya merupakan salah satu metode terapi bagi para difabel.

Padahal, kata Gusti, situasinya tidak bisa dipukul rata. Dalam kasus Zunia misalnya. Jika dia dipaksa untuk bermain bersama teman-temannya dengan dalih ‘terapi’, maka besar kemungkinan tingkat tantrumnya akan semakin parah.

“Karena dia akan di-bully, atau sebaliknya dia yang mem-bully. Kalau saya nilai, dia (Zunia) harus jalani pengobatan dan rehabilitasi medis. Ketika sudah pulih, baru bisa dilakukan asimilasi. Itulah gunanya periksa, supaya dapat treatment plan, tidak dengan informasi yang sepotong-potong dan tercampur,” terang Gusti.

Perkara penting yang sering luput adalah support system juga harus mendapat pendampingan psikolog. Menurut Neneng, hal itu penting untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan orang tua tentang difabel dan kesiapan mereka membesarkan anak dengan kebutuhan khusus. Penting juga untuk mengetahui kewarasan mental dan jiwa orang tua supaya anak-anaknya tidak menjadi pelampiasan emosi.  

Sementara, dari perspektif kedokteran, pendampingan terhadap orang tua sangat penting karena mereka tergolong sebagai orang-orang yang rentan mengalami gangguan kejiwaan dan mental.

“Justru yang butuh ke psikolog dan psikiater adalah orang tuanya, bukan hanya anaknya. Karena mereka tergolong sebagai ODMK (orang dengan masalah kesehatan jiwa), akhirnya mereka jadi kelompok rentan sehingga perlu screening,” tambah Gusti.   

Baca Juga: Kemandirian Anak Difabel Intelektual Bukan Hal Mustahil

Peran negara bisa jauh lebih baik

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan DifabelInfografis seputar difabel intelektual (IDN Times/Aditya Pratama)

Kendati aktivitas berobat Zunia hampir sepenuhnya ditanggung BPJS, mulai dari konsultasi dokter dan psikolog, menebus resep, hingga terapi medis, Gusti merasa bantuan itu masih kurang untuk meringankan beban keluarga.

Selain uang, Rohmah juga harus mengorbankan tenaga salama 24 jam untuk merawat Zunia. Dia baru bisa menunaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga selepas anaknya tertidur. Kalau Zunia meminum obat malam, dia akan tidur setelah magrib. Jika tidak, maka waktu tidurnya bergeser hingga pukul 8 atau 9 malam.

Selama pandemik COVID-19, Rohmah secara bergilir menjaga Zunia bersama anak perempuan pertamanya, yang masih disibukkan dengan sekolah daring. Permasalahannya adalah tantrum yang dialami Zunia semakin lama semakin parah. Alhasil tidak jarang sang kakak merasa terganggu dan kesal dengan aktivitas adiknya.

“Kadang-kadang saya juga berantem sama kakaknya. Si Njun resek soalnya, suka gangguin kakaknya sekolah. Nah yang saya bingung nanti kalau udah gak sekolah daring lagi. Jadinya kan tinggal saya sendirian,” kata Rohmah.

Menurut Gusti, sebagai sosok yang aktif menyuarakan hak-hak penyandang difabel, peran negara bisa jauh lebih baik. Dari aspek kesehatan, negara jangan hanya menanggung biaya pengobatan, tetapi juga biaya transportasi dari tempat tinggal menuju rumah sakit.

Selain itu, negara juga harus menyediakan tenaga sosial untuk membantu Rohmah mengawasi Zunia. Usulan lainnya, yang sebenarnya sudah ditegaskan dalam undang-undang, adalah fungsi dari balai rehabilitasi yang dinaungi Kementerian Sosial (Kemensos) harus lebih dioptimalkan. 

Di samping itu, Gusti juga mengharapkan kerja sama lintas sektor antara tenaga kesehatan dan tenaga sosial.

“Mental health itu bukan cuma pekerjaan psikiater dan psikolog. Di sana ada perawat spesialis jiwa, ada dokter fisioterapi, dokter rehabilitas medis, ada terapis okupasi, dan tenaga sosial. Semuanya harus saling koordinasi supaya tahu perkembangan si anak bagaimana,” ulas dia.

Berdasarkan penuturan Gusti, usulan-usulan di atas bisa terealisasi apabila negara bisa menyeimbangkan intervensi medis dengan intervensi sosial.

“Kita punya Permensos dan Permenkes, apakah nyambung keduanya? Apakah seseorang yang sudah berobat diawasi perkembangannya oleh tenaga sosial? Apakah undang-undang sudah ada turunannya di daerah? Apakah balai rehabilitasi sudah ada di setiap kota/kabupaten, atau paling tidak provinsi? Intervensi sosial dan kesehatan ini yang harus dioptimalkan,” bebernya.

Selagi belum terlambat, Gusti turut berharap pemerintah mulai mempersiapkan sistem pendidikan inklusi, yaitu sistem pendidikan yang ramah bagi difabel. Langkah pertama, yang paling fundamental, adalah sosialisasi dan edukasi tentang bagaimana memperlakukan mereka berkebutuhan khusus.

“Inklusi itu niatnya baik, tapi kalau tidak ditopang dengan sistem yang baik, bakal jadi blunder. Misal, pada kasus penyandang difabel berat, karena inklusi akhirnya dia dipaksa belajar di sekolah biasa. Hal itu hanya akan mempersulit sekolah dan keluarga karena pada dasarnya si anak belum siap,” demikian Gusti mencontohkan.

Dia menyambung, “konsekuensi dari inklusivitas adalah guru, murid, dan orang tua juga harus diberi edukasi. Mereka dulu yang harus dipersiapkan. Setelah itu barulah anaknya diasesmen, lihat rekam medisnya, lihat kemampuannya.”

Direktur Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Disablitas, Eva Rahmi Kasim, menjelaskan bahwa salah satu fungsi balai Kemensos adalah tempat terapi dan rehabilitasi bagi para penyandang difabel. Kemensos saat ini memiliki sekuranganya 41 balai di seluruh Indonesia.

“Untuk mencegah itu (gangguan mental dan jiwa pada difabel), kami memberikan layanan terapi, mulai dari terapi fisik, mental, sampai dukungan layanan psikososial. Penyelenggaraannya di balai-balai Kementerian Sosial,” ujar Eva, difabel pertama di Indonesia yang menduduki jabatan eselon dua.

Senada dengan Gusti, Eva juga mengakui bila isu difabel bersifat multisektor. Kemensos tidak bisa bekerja sendiri. Terkait perkara pembiayaan kesehatan, misalnya, otoritas yang sepenuhnya bertanggung jawab adalah Kementerian Kesehatan.

“Kalau dari sisi Kemensos, kami menyediakan pekerjaan sosial dan layanan home visit, sehingga petugas akan mendatangi mereka yang memerlukan ke rumah-rumah,” ucapnya.

Untuk mengoptimalkan peran kementerian yang kini dipimpin oleh Tri Rismaharini, Eva berharap Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas bisa menjadi wadah pemantauan, evaluasi, dan advokasi terhadap implementasi hak-hak penyandang difabel.

“Komnas Disabilitas merupakan lembaga independen non-struktural. Saat ini masih dalam tahap seleksi calon komisioner,” kata dia.

Gusti berharap lembaga tersebut tidak bekerja untuk satu atau dua kasus besar. Komnas Disabilitas harus bekerja pada tataran sistem dan berupaya untuk mengimplementasikan segala regulasi yang ada.

“Aturan (soal difabel) sudah banyak, tapi kalau gak diterapkan untuk apa? Jangan sampai teman-teman difabel berjuang sendirian. Dan (Komnas Disabilitas) tidak bekerja berbasis kasihan, bukan charity. Tapi berbasis hak, bahwa mereka punya hak yang sama (sebagai warga negara),” harap dia.

Harapan ibunda Zunia

Kisah Zunia: Potret Kerentanan Kesehatan Mental di Kalangan DifabelAdia Zunia Rachmah, peyandang difabel intelektual yang memiliki gangguan mental atau jiwa ADHD (Dok. IDN Times/Istimewa)

Jarum jam menunjukkan pukul 11.21 WIB. Gaduh ketukan palu dan bor dari rumah sebelah yang sedang direnovasi menemani dialog kami. Kini, Rohmah lebih banyak bercerita tentang betapa beratnya menjadi seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus.

Seperti kebanyakan orang tua yang memiliki anak difabel, keseharian Rohmah tak luput dari stigma negatif. Terdengar sampai telinganya bahwa Zunia disebut sebagai ganjaran atas dosa-dosa Rohmah di masa lalu. Namun, Rohmah memilih untuk menutup telinga. 

Di satu sisi, Rohmah sebenarnya sangat ingin Zunia bisa bermain dengan teman-temannya. Di sisi lain, Rohmah juga memahami kekhawatiran ibu dari anak-anak lainnya, yang tidak ingin menjadi korban tantrum Zunia.

“Karena Zunia sering mukulin teman-temannya. Makanya pada gak mau main sama dia. Ada yang manggil-manggil ‘Njun, Njun’, giliran diparanin mereka takut, terus Njun ditinggal. Kalau kayak begitu malah makin stres Njun. Makanya saya bilang, kalau gak mau main, gak usah disamperin,” ungkap dia.

Akibat keterbatasan ruang bermain, terlebih di masa pandemik COVID-19, Rohmah memutuskan untuk mencari sekolah difabel yang menerima pembelajaran tatap muka. Rohmah mengeluh sebab kesulitan mencari sekolah luar biasa (SLB) yang menerima Zunia. Entah bagaimana Rohmah merasa difabel plus yang dimiliki Zunia menyebabkan dia tak diterima di banyak sekolah.

Rohmah akhirnya memilih untuk mengeluarkan uang lebih banyak demi menyekolahkan Zunia. Sejak bulan Juli, Zunia bersekolah di Rumah Autis Tanjung Priok dengan uang masuk sekitar Rp3,5 juta. Setiap bulannya, dia juga harus membayar iuran sekitar Rp375 ribu untuk kelas SKF A-1, kelas khusus dengan kemampuan intelektual setingkat Zunia.

Durasi sekolahnya enam jam per minggu, yang dibagi menjadi dua jam setiap pertemuan dari Senin hingga Rabu. Setiap Kamis, sekolah juga menyediakan fasilitas terapi bagi siswa-siswinya.

“Ini kemarin ribut dulu sama bapaknya gimana bayarnya, gak punya uang. Untungnya sama sekolah boleh nyicil, saya baru bayar Rp300 ribu. Kemarin saya ajuin SKTM (surat keterangan tidak mampu), alhamdulillah dapat pengurangan. Tapi kata saya yang penting Njun bisa ke luar, bisa main di luar, gak apa-apa dah bayar juga,” kata Rohmah, yang kental dengan aksen Betawinya.

Selama tiga bulan bersekolah, Rohmah belum melihat perkembangan signifikan terhadap anaknya. Mulai dari makan, minum, hingga buang air masih bergantung pada ibunya. Zunia juga masih menggunakan pamper untuk mengurangi intensitas ke kamar mandi. Dia bahkan belum bisa berbicara jelas. 

"Ngenalin warna, benda, belum bisa dia. Ngomong yang jelas cuma bilang 'mamah' sama 'dadah'. Apa-apa masih tergantung sama saya," ucap Rohmah. 

Ketergantungan yang tinggi membuat Rohmah berpikir bila Zunia tidak akan pernah mencicipi pernikahan dan berkeluarga.

“Harapan saya Zunia bisa tenang, bisa mandiri. Kita sudah berjuang, terapi, tapi masih begini-begini aja hidup. Saya gak kepikiran Njun bisa menikah. Gak apa-apa dia hidup sama saya terus,” tutur Rohmah.

Di tengah keterbatasan, Rohmah bersyukur sebab tetangganya mulai memahami kondisi Zunia. Bahkan, dia senang karena masih ada beberapa orang yang menyayangi Zunia, sekalipun mereka tidak luput dari keisengan Zunia ketika sedang tantrum.

“Saya juga berharap bisa dibantu pemerintah. Lumayan buat bantu pamper dia, bisa bantu sekolah, saya kan juga butuh uang buat sekolahin kakaknya. Saya sudah dua tahun lho ngajuin Kartu Disabilitas tapi gak dapet-dapet,” kata dia.

“Alhamdulillah orang-orang udah paham kondisinya Zunia, karena saya sering curhat kali ya. Saya dibilang sama orang-orang ibu hebat, ibu kuat, karena bisa ngerawat Zunia. Padahal kadang-kadang kita stres juga,” ujar Rohmah, sekaligus mengakhiri perbincangan kami siang itu. 

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya