Melepas Timor Timur dari Indonesia: Sebuah Kesaksian BJ Habibie

Referendum Timor Timur menjadi polemik

"Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita hadapi."

Jakarta, IDN Times - Salah satu kebijakan sarat akan polemik yang diputuskan Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie, adalah referendum atau melepaskan Timor Timur (TimTim) dari Indonesia. Dalam buku berjudul Detik-Detik yang Menentukan, Habibie menceritakan mengapa bumi Loro Sae ini harus menjadi bagian dari Indonesia atau justru menjadi negara yang merdeka.

Tidak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, negara yang menjajah TimTim adalah Portugal. Pada 1974, Revolusi Bunga terjadi di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri. Portugal semakin kewalahan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika. Masyarakat TimTim memanfaatkan momen tersebut, untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui pembentukan partai politik.

Namun, proses kemerdekaan tidak semudah yang dibayangkan. Ketegangan politik hingga fisik terjadi antara partai pro-kemerdekaan, dengan partai yang menginginkan TimTim menjadi bagian dari Indonesia. Di tengah pertumpahan darah, masyarakat TimTim pada 30 November 1975 menggelar Deklarasi Balibo yang menegaskan poisis TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia.

Habibie turut memaparkan alasan global yang membuat Indonesia menerima TimTim. “Pertama, the fall of Vietnam dan the Flower Revolution di Portugal. Kedua, kekhawatiran TimTim menjadi pangkalan kapal perang dan udara Blok Komunis di tengah NKRI. Ketiga, vakum kepemimpinan Portugal di TimTim memberikan kekuatan bagi kelompok kiri, untuk merealisasikan terjadinya pangkalan komunis.”

Deklarasi Balibo menjadi ruang bagi militer Indonesia untuk memerangi pemberontak di TimTim yang menuntut kemerdekaan. Tujuannya tentu menjaga stabilitas politik dalam negeri. Namun, situasi tersebut dikecam masyarakat internasional yang kemudian menuduh Indonesia telah menjajah TimTim. Habibie menegaskan Deklarasi Balibo merupakan manifestasi dari keinginan masyarakat TimTim.

“Sekali lagi, integrasi TimTim ke dalam NKRI adalah murni memenuhi permohonan gerakan aspirasi rakyat TimTim, melalui Deklarasi Balibo. NKRI ikut serta dalam melaksanakan pembangunan nasional (di TimTim),” kata Habibie.

Kehadiran militer di TimTim tak kunjung menyelesaikan masalah. Indonesia kian dipojokkan dengan delapan resolusi Majelis Umum PBB dan tujuh resolusi Dewan Keamanan PBB, yang isinya tidak mengakui TimTim sebagai bagian dari NKRI. Argumen Indonesia bahwa integrasi TimTim dengan Indonesia merupakan wujud kemerdekaan wilayah tersebut dari Portugal tidak diakui masyarakat dunia.

Lantas, apa pertimbangan yang membuat Habibie akhirnya melepas TimTim?

Baca Juga: Peringatan 20 Tahun, Ini Sejarah Timor Leste Pisah dari Indonesia

1. Tidak mendapat pengakuan masyarakat internasional

Melepas Timor Timur dari Indonesia: Sebuah Kesaksian BJ Habibie(Untuk mengenang jasa BJ Habibie atas referendum Timor Timur, pemerintah mengabadikan nama BJ Habibie sebagai nama taman dan jembatan di Timor Leste) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Seiring Deklarasi Balibo, TimTim secara legal formal menjadi bagian dari NKRI melalui UU No 7 Tahun 1976, tertanggal 17 Juli 1976. Status hukumnya juga diperkuat melalui Ketetapan MPR No VI/MPR/1978, namun masyarakat internasional tetap tidak mengakui TimTim sebagai NKRI. 

Salah satu solusi yang ditawarkan PBB, sekaligus diajukan tokoh kemerdekaan TimTim, adalah referendum. Indonesia masih kekeh mempertahankan TimTim dengan menawarkan otonomi khusus yang diperluas. Namun, jika TimTim menolak opsi tersebut, berdasarkan hasil sidang Kabinet Bidang Politik-Keamanan 27 Januari 1999, Indonesia akan menawarkan opsi referendum.

“Setelah 22 tahun kita mengalami sejarah kebersamaan dengan rakyat TimTim, ternyata tetap tidak cukup untuk menyatu dengan kita, maka kiranya adalah wajar dan bijaksana. Bahkan demokratis dan konstitusional, bila wakil-wakil rakyat yang kelak akan terpilih di MPR, diusulkan untuk mempertimbangkan, agar dapat kiranya Timor Timur secara terhormat, secara baik-baik berpisah dengan Negara Kesatuan RI,” kata Habibie.

2. Tidak ingin bermain 'standar ganda' dengan HAM

Melepas Timor Timur dari Indonesia: Sebuah Kesaksian BJ Habibie(Masyarakat Timor Leste antusias saat menghadiri peresmian taman dan jembatan BJ Habibie pada Kamis 29 Agustus 2019) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia menyatakan bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”. Sebagai orang nomor satu di Indonesia, Habibie memiliki beban moral untuk tidak memainkan peran ganda dalam urusan hak asasi manusia (HAM).

Habibie melihat abad ke-21 adalah era yang berbicara tentang HAM dan demokrasi. Akan menjadi masalah yang pelik, jika Indonesia dihantui permasalahan HAM, karena tidak mengizinkan TimTim menentukan nasibnya sendiri.

“Presiden tidak dibenarkan berperilaku double standard dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan kebijakan. Yang menjadi perhatian saya adalah kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk rakyat TimTim,” kata Habibie.

Dia menambahkan, “Keputusan saya untuk menyelesaikan persoalan agar rakyat TimTim benar-benar dapat menikmati nilai-nilai HAM bersama seluruh rakyat Indonesia, tanpa menerapkan ‘tolok ukur ganda’, dalam menentukan nasib dan masa depan demi kepentingan seluruh bangsa Indonesia termasuk rakyat TimTim.”

3. Mempersiapkan Indonesia memasuki era reformasi

Melepas Timor Timur dari Indonesia: Sebuah Kesaksian BJ Habibie(Masyarakat Timor Leste saat menyaksikan peresmian jembatan dan taman BJ Habibie pada Kamis 29 Agustus 2019) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Kala itu, muncul opsi yang diusulkan Perdana Menteri Australia John Howard, supaya Indonesia mempersiapkan kemerdekaan TimTim dalam kurun 5-10 tahun mendatang. Howard meminta Indonesia belajar dari referendum New Caledonia atas Prancis.

“Menurut saya, surat PM Australia John Howard jelas keliru karena mempersamakan kasus New Caledonia dengan kasus TimTim, dan Indonesia dianggap seperti Prancis sebagai penjajah,” demikian Habibie menanggapi.

Sebagai pemimpin bangsa, persoalan TimTim bukan satu-satunya pekerjaan rumah Habibie. Pemerintah pusat telah mengalokasikan 93 persen anggaran pembangunan TimTim berasal dari APBN, sedangkan 7 persen sisanya berasal dari pendapatan asli daerah.

“Anggaran tahunan per kapita TimTim beberapa kali lipat dibanding anggaran per kapita provinsi lain di Tanah Air,” kata Habibie.

Besaran itu dirasa kurang cukup oleh rakyat TimTim. Mereka lebih memilih merdeka. “5-10 tahun mendatang, Indonesia harus menitikberatkan perhatiannya pada permasalahan nasional pada umumnya, khususnya reformasi dan pengembalian kepercayaan. Jika penyelesaian TimTim sesuai dengan usul Howard, maka ketidakpastian akan berlangsung lama (di TimTim) dan memberatkan jalannya reformasi (Indonesia)."

4. Rakyat TimTim memilih merdeka

Melepas Timor Timur dari Indonesia: Sebuah Kesaksian BJ Habibie(BJ Habibie dijadikan nama jembatan dan taman di Timor Leste) ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Setelah berkonsultasi dengan berbagai pihak, Habibie akhirnya mengadakan jajak pendapat tentang masa depan TimTim, apakah menerima otonomi khusus yang diperluas atau menolaknya. Dia enggan menyebutnya sebagai referendum.

“Perbedaannya ialah, jika referendum langsung menentukan tetap bersama atau berpisah. Sedangkan jajak pendapat tidak demikian. Referendum memerlukan izin MPR, sementara jajak pendapat tidak, tetapi MPR dapat menolak hasil jajak pendapat tersebut,” tutur Habibie.

Hari yang dinanti tiba. Pada 30 Agustus 1999, jajak pendapat dilakukan di TimTim, di bawah pengawasan United Nations Mission in East Timor (Unamet). Singkatnya, pada 4 September 1999, hasil dari jajak pendapat tersebut menunjukkan 78,5 persen menolak dan 21,5 persen menerima.

“Dengan demikian mayoritas rakyat TimTim menolak tawaran otonomi luas,” kata kakek enam cucu itu.

Jajak pendapat itulah yang mendasari lahirnya Ketetapan MPR RI No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Pada Oktober 1999, bendera Merah Putih tidak lagi berkibar di bumi Loro Sae, sekaligus menandakan lahirnya bangsa baru. Timor Leste.

Baca Juga: [FOTO] BJ Habibie Jadi Nama Jembatan dan Taman di Timor Leste

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya