Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan Kita

Dicap penganut ajaran sesat hingga gak punya rumah ibadah

Jakarta, IDN Times - Noktah hitam kembali mencoreng wajah kebhinekaan Indonesia di usianya yang ke 75. Kali ini giliran penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang harus menelan pil pahit. Pada akhir Juli lalu, Pemerintah Kabupen (Pemkab) Kuningan menyegel makam tokoh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih.
 
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ditugaskan untuk melingkari makam berbentuk Batu Satangtung dengan tali bertuliskan “DILARANG MELINTAS”. Ada juga tempelan bertuliskan “DIHENTIKAN SEMENTARA, DIDUGA MELANGGAR”. Pemerintah setempat mengkategorikan bangunan tersebut sebagai tugu karena ada batu yang menjulang tinggi. Dalam aturannya, pembangunan tugu harus mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB).
 
Penganut Sunda Wiwitan berkeras tidak membutuhkan IMB untuk membangun makam tersebut. Di mata mereka, Batu Satangtung adalah makam bukan tugu. Lokasi pembangunannya juga di atas tanah pribadi milik keturunan Pangeran Djatikusumah. Atas dasar itulah mereka merasa didiskriminasi secara sistematis oleh pemerintah setempat.
 
Pernyataan “sistematis” sepertinya bukan istilah yang berlebihan. Sebab, Pemkab dengan arogannya berdalih bahwa penyegelan merupakan solusi terbaik dan strategis. Menekan etnis minoritas dianggap sebagai langkah apik untuk meredam kemarahan kelompok mayoritas.
 
“Sekali kami minta kepada pihak Paseban untuk sama-sama menahan diri, tidak membesar-besarkan masalah. Langkah ini, menurut kami, Langkah persuasif yang paling baik dan benar. Jangan melaporkan kami seolah-olah kami diskriminatif,” kata Bupati Kuningan, Acep Purnama.
 
Selain ditindas birokrasi, mereka juga harus menerima diskriminasi kultural. Ratusan anggota ormas Islam mendatangi makam tersebut menuntut penyegelan dilakukan dengan segera. Semangat perlawanan semakin mengganas ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Cisantana melontarkan kekhawatiran soal makam tersebut sebagai situs kemusyrikan.
 
“Karena pembangunan makam itu berbeda dengan makam kebanyakan, itu yang menjadi kekhawatiran warga muslim khususnya, jangan-jangan tempat pemakaman ini, ini kekhawatiran ya, dijadikan sumber kemusyrikan, tempat pemujaan,” kata Dewan Fatwa MUI Desa Cisantana, Cecep Murad, sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia.
 
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai apa yang dilakukan Pemkab Kuningan merupakan pelanggaran HAM. Kebebasan beragama adalah bagian dari HAM yang dijamin oleh konstitusi. Adapun kewajiban negara adalah melindungi warganya tanpa membedakan latar belakang.
 
Oleh sebab itu, Komnas HAM terlah bersurat kepada Pemkab Kuningan agar menghentikan penyegelan tersebut. “Menghentikan proses penyegelan dan sekaligus menjaga hak-hak Sunda Wiwitan, termasuk juga di dalamnya hak kebebasan beragama berkeyakinan,” kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.

Baca Juga: 5 Fakta Seputar Yahudi Yang Harus Kamu Ketahui

1. Diskriminasi kultural juga dirasakan etnis Yahudi

Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan KitaIlustrasi Yahudi (IDN Times/Mardya Shakti)

Posisi 'penghayat kepercayaan' terbilang unik di Indonesia. Meski minoritas, tapi eksistensi mereka akhirnya diakui negara. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 memutuskan bahwa kepentingan administratif, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, surat nikah, para penghayat kepercayaan harus diakomodasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
 
Sayangnya, aturan tersebut tidak menghapuskan stigma buruk terhadap penghayat kepercayaan. Masih banyak masyarakat yang menganggap mereka sebagai penganut ajaran sesat. Praktik diskriminasi terhadap mereka juga masih banyak terjadi.
 
Stigma negatif juga dirasakan oleh para penganut Yahudi. Tokoh Yahudi di Indonesia, Benjamin Meijer Verbrugge, menceritakan bahwa penganut ajaran yang dibawa Musa ini menghadapi diskriminasi dari dua kelompok besar, yaitu Islam dan Kristen.
 
Kebanyakan orang Islam tidak bisa membedakan istilah Yahudi, Zionisme, dan Israel. Alhasil, aneksasi Israel terhadap Palestina, yang didukung oleh Zionsime, dianggap sebagai kesatuan sikap umat Yahudi.
 
“Gak semua Yahudi itu mendukung Zionisme. Saya mendukung solusi dua negara (two state solution) Israel-Palestina,” kata lelaki yang karib disapa Rabbi Ben kepada IDN Times.
 
Adapun umat Kristen meyakini bahwa sosok yang mengakhiri hidup Yesus adalah penganut Yahudi. “Dulu saya Kristen, terus saya convert ke Yahudi, sejak itu saya dipandang sinis sama orang Kristen, sama orang Gereja. Teman-teman juga menjauhi saya. Ya, karena ajaran kami sangat bertentangan,” ungkap penganut Yahudi di Manado, Vecky Ashalom, kepada IDN Times.
 
Aksi Bela Palestina 2018 menjadi momentum yang menunjukkan betapa masih banyak muslim Indonesia yang belum siap hidup berdampingan dengan Yahudi. Meski muatan demonstrasi tersebut adalah menolak pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerussalem, tapi aksi tersebut menjadi ajang untuk mencela Yahudi.
 
Banyak poster-poster yang berisikan kutukan terhadap Yahudi. Bahkan, tokoh-tokoh bangsa, salah satunya adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang kala itu menjabat Ketua MUI, hadir di panggung utama dengan ujaran-ujaran kebencian terhadap Yahudi.
 
Rabbi Ben juga bercerita, jemaahnya di Ambon pernah dipukul oleh empat anggota Gereja Presbiterian pada 2014 silam. Dia melaporkan insiden tersebut ke Komnas HAM. Namun, sekalipun Komnas HAM menuntut supaya pelaku meminta maaf, permohonan maaf tidak pernah diterima korban. Kasusnya kemudian menguap begitu saja.
 
Keluhan Rabbi Ben dan Vecky selaras dengan temuan Kementerian Agama (Kemenag). Hasil survei Kemenag menunjukkan bahwa Yahudi masih menempati posisi pertama sebagai musuh yang paling mengancam. Temuan lainnya, eskalasi kebencian terhadap umat Yahudi di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh dinamika Timur Tengah.
 
Artinya, dalam situasi tertentu, kemarahan terhadap umat Yahudi yang jumlahnya sekitar 200 orang di Indonesia mudah sekali dipantik. Hal ini bisa berujung aksi saling pukul.
 
“Seandainya Yahudi menjadi agama yang diakui negara, terus saya terbuka kalau saya Yahudi, apakah negara bisa menjamin keamanan saya 24 jam? Jadi substansi masalahnya bukan Yahudi diakui atau tidak, tapi intoleransi, bagaimana menghormati perbedaan keyakinan,” ungkap penganut Yahudi yang berdomisili di Jakarta, Yaakov van Praag, kepada IDN Times.
 
Rabbi Ben menambahkan, “kalau mereka paham Yahudi, seharusnya gak perlu ada yang ditakuti. Kami bukan agama dakwah, hanya keturunan Yahudi yang bisa menganut agama Yahudi.”

Baca Juga: Saya Yahudi dan Saya Sangat Cinta Indonesia  

2. Umat Baha’i akan sulit memiliki rumah ibadah di Indonesia

Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan KitaIlustrasi rumah ibadah umat Baha'i (Instagram/@bahai)

Tantangan beragama juga dirasakan oleh sekitar lima ribu penganut Baha’i di Indonesia. Agama yang berasal dari Iran ini dikira oleh banyak kalangan sebagai sempalan Islam atau bagian dari syi'ah. Padahal, pada 2014 lalu, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, Baha’i merupakan agama yang berdiri sendiri, terpisah dari enam agama besar lainnya.
 
Ketika Lukman bersurat kepada Kemendagri supaya mengakomodasi kepentingan administratif penganut Baha’i, MUI malah mendesak Menag menarik pernyataan tersebut. MUI menilai Baha’i merupakan ajaran sesat yang menyeleweng dari koridor Islam.
 
Anggota humas dan Pemerintahan Baha’i Indonesia, Rina Tjua Leena, menyangkal bila ajaran yang dianutnya dianggap sebagai sempalan Islam. Menurutnya banyak orang salah paham karena tidak bisa membedakan budaya Arab dengan praktik keislaman.
 
“Memang Bahá'u'lláh (pembawa ajaran Baha’i) keluarganya berlatar belakang Islam. Jadi tidak heran secara kultur, cara berpakaiannya terlihat seperti Islam, tapi sebenarnya itu middle east culture yang tidak melekat pada agama tertentu. Yang perlu ditegaskan, Bahá'u'lláh itu membawa iman yang beda. Jadi kami sepenuhnya berbeda dengan Islam,” kata Rina kepada IDN Times.
 
Resistensi terhadap Baha’i memang tidak terlalu besar. Rina bercerita, Baha’i sering mengadakan kegiatan-kegiatan di ruang publik yang mengundang pejabat, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat. Salah satu tokoh yang kerap mendukung acara Baha’i adalah Sinta Nuriyah Wahid, istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
 
Hingga hari ini, Baha’I belum memiliki rumah ibadah di Indonesia. Karena salah satu prinsip ajaran Bahá'u'lláh adalah keesaan Tuhan dan tidak ada perbedaan agama, maka rumah ibadah Baha’i juga bisa digunakan oleh umat lainnya untuk bermeditasi. Ada sejumlah syarat yang harus dihendaki sebelum mendirikan rumah ibadah, yaitu penerimaan dari masyarakat sekitar serta bantuan dari mereka juga untuk proses pembangunannya.
 
“Rumah ibadah baru bisa berdiri kalau masyarakat secara budaya sudah bisa hidup rukun, sehingga pembangunannya gotong-royong. Tapi ya karena kita belum kondusif budayanya, maka kami belum bisa mendirikan rumah ibadah di Indonesia,” kata Rina.

3. Umat Sikh berjuang untuk kemerdekaan bergama yang hakiki

Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan KitaIlustrasi penganut Sikh (Instagram/sikhsewaindonesia)

Diskriminasi juga dirasakan penganut Sikh, meski skalanya tidak separah tiga ajaran di atas.  Perkara rumah ibadah, Sikh tidak menghadapi banyak hambatan karena keberadaannya dinaungi oleh Ditjen Bimas Hindu Kemenag.

Arsitektur Gurdwara, rumah ibadah umat Sikh, yang menyerupai masjid juga mengurangi resistensi dari penganut ajaran lain. Saat ini, ada 11 Gurdwara tersebar di seluruh Indonesia. Begitu pula dengan pencatatan kependudukan. Kemenag mengategorikan Sikh masih satu rumpun dengan Hindu.
 
Pemuka agama Sikh, Prem Sighn, mengatakan bahwa apa yang dia perjuangkan hari ini adalah kemerdekaan beragama yang hakiki. Dia berharap eksistensi Sikh diakui sebagai agama yang terpisah dari Hindu.
 
“Tentu ada harapan supaya kami diakui sebagai agama yang berdiri sendiri ya. Memang ada beberapa ajaran atau nilai yang sama dengan Hindu atau Islam, tapi kami agama yang berbeda,” kata Prem kepada IDN Times.
 
Prem juga memperjuangkan supaya umat Sikh bebas mengekspresikan ajaran agamanya. Seperti penggunaan turban, penutup kepala, dalam aktivitas sehari-hari. Sebab, merawat rambut dan jenggot merupakan salah satu anjuran utama dalam Sikh.
 
“Turban itu esensial di Sikh. Kami sedang memperjuangkan kalau bawa motor, foto paspor misalnya, supaya diizinkan memakai turban, gak harus dilepas. Di Medan sudah diizinkan ya menggunakan turban sambil berkendara, tapi di daerah lain belum,” ujarnya. 

Baca Juga: Sering Dikira Gabungan Islam dengan Hindu, Ini 5 Fakta Agama Sikh

4. Miskonsepsi relasi negara dengan agama hingga keterbatasan pelayanan publik

Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan KitaIlustrasi pelayanan publik. (IDN Times/Larasatii Reyma)

Ada empat bentuk diskriminasi terhadap agama yang belum diakui negara. Pertama, diskriminasi pencatatan sipil. Sejauh ini undang-undang administrasi kependudukan hanya mengatur pencatatan enam agama yang telah diakui negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebenarnya, MK telah mengakomodasi penghayat kepercayaan, tapi putusan itu tetap tidak mengatur agama minoritas seperti Baha’i, Sikh, dan Yahudi. 
 
“Sampai sekarang belum ada perubahan undang-undang dan juga belum ada putusan MK yang memberikan perintah kepada negara untuk memasukkan agama apapun di luar enam agama itu,” kata Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri, Zudan Arif, kepada IDN Times.
 
Aturan itu menyebabkan para penganut agama minoritas tidak bebas untuk mengekspresikan ajarannya. Vecky bercerita, meski pernikahannya dilakukan dengan ritual Yahudi, tapi pencatatan sipilnya dituliskan dengan prosesi Kristen.
 
“Jadi saya minta ke gereja supaya mengeluarkan surat nikah untuk didaftarkan ke pencatatan sipil. Jadi gak bisa menurut saya pure melakukan pernikahan dengan adat Yahudi,” kata Vecky.
 
Begitu pula pada kolom KTP. Rabbi Ben bertutur, meski di Surabaya ada sekelompok orang yang sudah menganut Yahudi sejak lahir, tapi pencatatan sipilnya tetap ditulis Kristen atau Islam.
 
Permasalahan lainnya, sebagaimana penuturan Rita, ada beberapa penganut Baha’i yang kolom agamanya dituliskan sebagai Penghayat Kepercayaan. “Padahal di 200 negara lainnya Baha’i itu telah diakui sebagai agama yang berdiri sendiri. Ini jadi masalah lagi kalau malah dianggap Penghayat (Kepercayaan).”
 
Diskriminasi kedua adalah tidak disediakannya fasilitas pendidikan bakal penganut agama minoritas. Kemenag berdalih, sebaran penganut agama minoritas yang tidak merata menyebabkan mereka kesulitan untuk menyediakan guru-guru agama.
 
“Misalnya Yahudi, kan gak semua sekolah ada penganut Yahudinya. Makanya kita harus tahu persis jumlahnya berapa dulu. Karena kewajiban negara itu memberikan fasilitas,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemenag, Muhammad Adlin Sila, kepada IDN Times.
 
Lebih buruk lagi, negara belum memiliki aturan yang rigid supaya sekolah-sekolah diizinkan melakukan transkrip nilai dari institusi keagamaan terkait.
 
“Gurdwara juga kami manfaatkan untuk sekolah, tempat belajar anak-anak. Ada sekolah yang menerima transkrip nilai dari kami, ada yang tidak. Nah yang tidak akhirnya mau tidak mau harus ikut sesuai pelajaran agama yang diterapkan,” papar Prem.
 
Bentuk ketidakadilan yang ketiga adalah pembangunan rumah ibadah. Selama ini, langkah-langkah untuk mendirikan rumah ibadah diatur dalam Surat Keterangan Bersama (SKB) atau Peraturan Bersama (Perber) Kemenag dan Kemendagri mengenai pembangunan rumah ibadah.
 
Aturan tersebut mensyaratkan terkumpulnya 90 KTP pengguna rumah ibadah, 60 KTP dari penduduk sekitar rumah ibadah, serta rekomendasi dari kantor departemen agama kabupaten/kota dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebelum mendirikan rumah ibadah.

Menurut Beka, aturan itu memberatkan minoritas karena belum tentu penganut agamanya berjumlah 90 orang. “Terus rekomendasi (FKUB) juga harus bersinggungan dengan kepentingan politik pribadi atau golongan. Ya inilah, kadang-kadang negara kalah dengan kepentingan politik dan agama,” terang dia.
 
Pada kasus tertentu, kehadiran FKUB di tengah polemik rumah ibadah malah membuat masalah semakin runyam. “Ada masalah IMB salah satu rumah ibadah di Jakarta Selatan, ya itu FKUB diam saja, malah lebih sering Satpol PP yang menengahi ketimbang FKUB,” tambah Prem.
 
Diskriminasi yang terakhir adalah stigma sebagai penganut ajaran sesat. Hal itu disebabkan putusan MK yang memungkinkan penganut di luar enam agama yang “diakui” untuk mengosongkan kolom agama KTP. Sebenarnya, putusan itu bagus supaya penganut agama minoritas tidak dipaksa mengaku sebagai agama lain.
 
Akan tetapi, Ketua Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Febionesta, melihat pengosongkan kolom KTP bisa berujung aksi intoleransi. Sebab, pemilik KTP akan dikira ateis atau penganut ajaran sesat.
 
Lebih jauh, dia mempermasalahkan miskonsepsi banyak pihak tentang penyebutan enam agama di dalam undang-undang. UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama hanya melindungi lima agama yang banyak dianut orang Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha) dari penistaan agama.
 
Kemudian, ada juga UU Administrasi Kependudukan No 23/2006, yang direvisi menjadi No 24/2013, mengatur soal enam agama yang bisa dituangkan dalam dokumen pencatatan sipil.
 
Dua aturan itu tidak menjelaskan bahwa pemerintah memiliki otoritas untuk memverifikasi suatu agama. Sayangnya, telah terjadi miskonsepsi berjamaah yang membaca dua regulasi itu sebagai landasan hukum atas eksistensi suatu agama di Indonesia.
 
“Pemahaman tentang agama yang diakui ini kemudian diadopsi ke dalam produk legislasi dan praktik birokrasi. Pemahaman ini ternyata berimplikasi pada pengecualian hak-hak kewarganegaraan para penganut agama yang dinilai tidak diakui,” tulis Febi dalam laman YLBHI.or.id.

Baca Juga: [WANSUS] Zionisme, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di Indonesia

5. Negara belum memiliki kebijakan strategis untuk mengakomodasi agama minoritas

Mereka yang Belum Merdeka Beragama, Ironi 75 Tahun Kemerdekaan KitaIlustrasi Agama (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Zudan turut menyayangkan terjadinya miskonsepsi terkait penulisan enam agama di dalam undang-undang. Kendati begitu, penyebutan itu dianggap sebagai langkah politik yang tepat guna menghindari klaim-klaim agama baru.
 
“Tugas adminduk (administrasi kependudukan) adalah mencatat, bukan mengakui agama atau bukan. Kami bukan melegalkan atau menganggap suatu agama ilegal,” tutur dia.
 
Hingga hari ini, kata Zudan, negara belum terlihat ingin merevisi undang-undang yang lama supaya agama-agama minoritas bisa diakomodir dalam pencatatan sipil. “Kami belum ada bahasan terkait administrasi kependudukan di luar enam agama itu.”
 
Sementara, Kemenag mengklaim tengah menggarap RUU Kerukunan Umat Bergama sebagai langkah politik untuk mengakomodir kepentingan kelompok minoritas. Dalam rancangan itu, pemerintah bisa mengakui keberadaan agama-agama minoritas sepanjang pengusulnya bisa membuktikan sejumlah syarat, seperti siapa tokoh agamanya, apa kitab sucinya, di mana kantor pusatnya, hingga berapa jumlah pengikutnya.
 
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag, Nifasri, juga menyampaikan bahwa institusinya tidak bisa memberikan pelayanan kepada agama minoritas sepanjang belum ada regulasi yang jelas.

Upaya untuk mengakomodasi kelompok minoritas sepertinya belum menjadi skala prioritas. Sebab, Zudan mengaku pihaknya belum pernah duduk bersama dengan Kemenag untuk mambahas revisi undang-undang ataupun RUU Kerukunan Umat Beragama.
 
“Kami belum pernah diajar bicara (Kemenag) ya untuk itu. Tapi yang penting kalau undang-undang sudah jadi, kami akan melaksanakan, karena undang-undang itu satu bahasa ya,” tutup Zudan.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalaman unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Dikira Sempalan Syiah dan Ajaran Sesat, Ini 5 Fakta Agama Baha’i

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya