Omnibus Law Tanpa Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dianggap Omong Kosong

Kurikulum SMK terkadang tak sesuai kebutuhan industri 

Jakarta, IDN Times - Pemerhati pendidikan Indra Charismiadji menyebut Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) akan menjadi 'bumerang' bagi angkatan kerja muda, apabila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan.
 
“Teorinya memang omnibus law menarik investor untuk membuka usaha, kemudian membuka lapangan pekerjaan. Itu positifnya, ya. Tapi pemerintah harus tahu juga bidang pekerjaan apa yang menarik untuk investor. Kalau tidak, itu malah jadi bumerang,” kata Indra kepada IDN Times, Senin (19/10/2020).

Baca Juga: Kritisi Surat Kemendikbud, BEM SI: Kontra dengan Merdeka Belajar!

1. Pastikan SDM Indonesia memenuhi kebutuhan industri

Omnibus Law Tanpa Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dianggap Omong KosongSuasana belajar praktik di SMKN 2 Jogja menerapkan protokol kesehatan/dokumentasi SMKN 2 Jogja

Indra mengatakan omnibus law yang digadang-gadang sebagai senjata utama pemerintah untuk meningkatkan lapangan pekerjaan, hanya menguntungkan tenaga kerja asing, apabila pemetaan lapangan kerja tidak dilakukan secara optimal.
 
Begitu investasi asing datang dan jutaan lapangan kerja dibuka, Indra khawatir lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak akan terserap. Sebab kemampuan mereka tidak memenuhi kualifikasi.
 
“Pertanyaannya, apakah SDM Indonesia sudah terkualifikasi untuk bidang tersebut (yang diminati investor)? Kalau tidak, akhirnya investor asing akan bawa SDM mereka sendiri dari negaranya atau rekrut orang asing lain. Orang Indonesia malah bengong,” kata dia.

2. Lulusan SMK harus mendapat perhatian lebih

Omnibus Law Tanpa Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dianggap Omong KosongIlustrasi Pencari Kerja, IDN Times/ istimewa

Kenapa lulusan SMK harus mendapat perhatian lebih? Menurut Indra karena Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang paling tinggi berasal dari SMK, yaitu 8,49 persen.
 
Di samping itu, Indra juga menyoroti kapasitas pendidikan SMK yang hampir menjawab kebutuhan industri. Permasalahannya adalah sekolah vokasi di Indonesia tidak sinergi dengan dunia kerja (miss and match), sehingga sering kali metode pendidikannya 'kedaluwarsa'.
 
“Kalau mau win-win solution, SMK itu harus jadi semacam tempat training perusahaan. Sekarang ini SMK dan industri jalan sendiri-sendiri. Misalnya, ada SMK otomotif, praktiknya pakai mobil tipe lama, eh begitu di dunia industri perangkat mobil itu sudah gak digunakan,” kata dia.
 
Indra menambahkan, “banyak komentar dan keluhan pengusaha yang begitu mereka lulus (SMK), gak siap mereka, akhirnya mereka investasi lagi untuk training.”

3. Pemerintah tidak ada upaya membenahi SMK

Omnibus Law Tanpa Tingkatkan Kualitas Pendidikan Dianggap Omong KosongSuasana belajar praktik di SMKN 2 Jogja menerapkan protokol kesehatan/dokumentasi SMKN 2 Jogja

Indra menyayangkan upaya pemerintah yang tidak optimal dalam pembenahan kurikulum SMK. Padahal, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menjanjikan sumber daya manusia yang unggul sebagai batu loncatan untuk Indonesia maju 2045.
 
“Pemerintah sadar (harus ada pembenahan) tapi tidak tahu caranya. Adanya pandemik ini kelihatan betapa jadulnya kualitas pendidikan Indonesia. Padahal sekarang era digital, jadi tukang ojek aja butuh gadget,” ujar dia.
 
Terakhir, Indra berpesan, supaya pemerintah memiliki pemikiran yang futuristik. Dia tidak ingin lulusan SMK hanya dipersiapkan untuk buruh pabrik sebagai pelengkap industri manufaktur.
 
“Anak-anak SMK ini malah butuh (persiapan kerja) yang lebih bersifat jasa. Bukan sekadar bekerja untuk perusahaan, itu yang keliru. Karena nanti pabrik sudah bakalan diisi sama robot,” tutup Indra.

Baca Juga: Resmikan Guru Penggerak, Nadiem Ingin Pembelajaran Berpihak pada Murid

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya