Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di Indonesia

Ancaman sejatinya adalah siapa pun bisa jadi teroris

Jakarta, IDN Times- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, mendapat perawatan intensif di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, setelah menerima dua tusukan di perutnya pada Kamis (10/10).

Mantan Panglima ABRI itu diserang oleh lelaki berinisial SA alias Abu Rara di tengah kunjungan kerjanya ke Pandeglang, Banten, sekitar pukul 11.30 WIB. Selain Wiranto, Kapolsek Menes, Kompol Daryanto, dan ulama setempat, Fuad Syauqi, turut menjadi korban akibat serangan yang dilancarkan oleh Fitria, istri dari SA.

Tidak butuh waktu lama bagi aparat untuk membekuk dua pelaku. Setelah diamankan dan diinterogasi, polisi memastikan bahwa pasangan suami-istri tersebut merupakan simpatisan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok teror yang berafiliasi dengan Islamic State Iraq and Syria (ISIS). Artinya, keduanya terpapar paham radikalisme.

“Afiliasinya yang ke JAD, tidak secara eksplisit bahwa dia (SA) itu JAD,” kata Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, di Mabes Polri, Jumat (11/10). Lebih jauh, Dedi menyampaikan bila Abu Rara memiliki hubungan dengan tokoh JAD Bekasi, Abu Zee, yang ditangkap pada 23 September lalu.

Perlu digarisbawahi, menurut Dedi, Wiranto bukanlah target utama. Pelaku bahkan tidak mengenali Wiranto. Abu Rara memutuskan untuk menyerang politikus Partai Hanura itu setelah melihat helikopter mendarat di sekitar kawasan Menes, dengan asumsi siapa pun yang turun dari helikopter adalah pejabat negara.

“Kemudian ada helikopter, istilahnya dia kapal mendarat. Abu Rara ngomong ke istrinya, itu sasaran kita. Dia gak tahu siapa itu,” sambung Dedi.

“Saya akan serang bapak yang turun dari heli, kamu serang polisinya,” demikian Dedi menirukan percakapan Abu Rara dengan istrinya.

1. Penyerangan terhadap aparat negara juga terjadi di Surabaya Agustus lalu

Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di IndonesiaDok.IDN Times/Istimewa

Tepat 17 Agustus lalu, Mapolsek Wonokromo, Surabaya, juga diserang oleh seorang lelaki kelahiran Sumenep bernama Imam Musthofa. Dia membacok dua anggota SPKT dengan golok dan celurit. Beruntung tidak ada korban jiwa pada insiden di malam kemerdekaan itu.

Setelah berhasil dilumpuhkan, polisi mendapati pelaku memakai kaus hitam dengan sablonan kalimat tahlil bergaya (font) ISIS. Ketika tasnya digeledah, dia juga membawa kertas yang sudah difotokopi dengan lambang ISIS.

“Dari keterangan dan kami lakukan interogasi, ya (pelaku menggunakan pakaian logo ISIS). Ingin melakukan amaliyah sendirian,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol. Frans Barung Mangera.

Serupa dengan Abu Rara, menurut Kapolri, Imam Musthofa merupakan simpatisan JAD Surabaya, yang merupakan dalang pemboman tiga gereja pada Mei 2018 lalu.

“Ada campuran self radicalism, belajar dari online tapi juga tergabung dengan jaringan orang per orang. Yang jelas masih berkaitan dengan jaringan yang ada di bom gereja,” kata Kapolri, Jenderal Pol. Tito Karnavian, saat mengunjungi Surabaya, Jawa Timur.

Kesamaan lain antara dua pelaku tersebut adalah radikalisme keluarga, sekalipun istri Imam tidak terlibat penyerangan Mapolsek Wonokromo. IDN Times mendatangi indekos Imam Musthofa yang berada di Jalan Sidosermo IV Gang 1, Surabaya. Berdasarkan pengakuan warga, Imam dan istrinya kerap menghindari sosialisasi dengan tetangganya. Imam bahkan enggan beribadah di musala yang terpaut 50 meter dari tempat tinggalnya.

“Dia lebih milih salat yang jauh, di dekat sekolah anaknya di MI Baiturrahman. Sejak di sana dia tiba-tiba jadi berubah, jadi pendiam, cuma ikut pengajian yang di sana, gak mau lagi ikut tahlilan, istrinya juga satu tahun terakhir sudah pakai cadar dan kerudung panjang. Dulunya belum,” tutur Ainun Arif (43), ketua RT setempat.

Baca Juga: Polri Periksa Istri Anggota TNI AU yang Nyinyir Soal Penusukan Wiranto

2. Pejabat, aparat negara, dan PNS menjadi target serangan terorisme

Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di IndonesiaANTARA FOTO/Didik Suhartono

Menjadikan pejabat atau penyelenggara negara sebagai target operasi terorisme sebenarnya bukan hal baru. Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahkan sempat mengatakan bahwa ada empat pejabat negara yang hendak diserang di tengah gegap-gempita kericuhan pasca Pemilu. Mereka adalah Menko Polhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Stafsus Presiden Gories Mere.

Tiga tahun silam, usaha Dian Yuli Novi yang hendak meledakkan diri di Istana Negara dengan bom pancinya juga berhasil digagalkan oleh aparat kepolisian. Lebih jauh lagi, pada 2009, upaya penyerangan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berhasil digagalkan.

“Teroris itu gak percaya demokrasi, gak percaya pemilu. Siapa pun yang menerapkan dan mendukung demokrasi akan dianggap melanggar syariat Islam, dianggap syirik,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global (PSTPG) FISIP UIN Jakarta, Badrus Sholeh.

Seruan untuk membunuh mereka yang dianggap kafir atau syirik dipertegas oleh Abu Bakar al-Baghdadi, pimpinan tertinggi ISIS, melalui fatwa yang dikeluarkannya pada 17 Mei 2017. Berdasarkan laporan Institute for Policy Analysist of Conflict (IPAC) No. 51, fatwa tersebut mengkategorikan pegawai negeri sipil (PNS) orang-orang kafir yang halal untuk dibunuh, tanpa pengecualian.

“Fatwa tersebut dianggap jauh bertentangan dari ajaran Aman Abdurrahman (pendiri JAD). Kafir tidak bisa disematkan berdasarkan pekerjaannya semata. Namun, ada juga faksi JAD yang mendukung fatwa tersebut,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Esensi daripada terorisme adalah menyebarkan rasa takut. Sekalipun dalam pelaksanaannya mereka siap untuk mengorbankan nyawa, perkara teknis amaliyah seperti kapan, di mana, dan siapa yang akan diserang harus mempertimbangkan dampak pasca serangannya. Inilah yang turut mendasari kenapa penyelenggara negara menjadi target operasi terorisme.

Pasca penyerangan Wiranto, muncul suara publik yang mempertanyakan kapasitas aparatur keamanan terkait kontra-terorisme. Kemudian, beredar juga wacana soal penambahan pasukan pengamanan pejabat negara. Untuk meredam spekulasi publik, Polri memastikan bila tidak ada istilah “kecolongan” ketika Wiranto diserang.

3. Strategi senyap terorisme

Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di IndonesiaIDN Times/Sukma Shakti

Sebenarnya, Abu Rara sudah berada dalam pantauan intelijen selama tiga bulan terakhir. Namun, polisi tidak bisa menangkap Abu Rara karena yang bersangkutan dianggap belum menunjukkan tanda-tanda akan melakukan amaliyah.

“Baru di tahap keempat dan kelima Polri menggunakan bukti permulaan bisa melakukan (penangkapan). Ini (Abu Rara) masih tahap ketiga. Belum ada perbuatan melawan hukum di situ terjadi. Dia tidak melakukan I’dad (persiapan),” terang Dedi.

Pola serangan yang dilakukan oleh Abu Rara, seperti penggunaan kunai dan kejadian yang mendadak, juga bukan hal baru di Indonesia. Terlepas dari apakah Abu Rara mempelajari kitab-kitab jihad atau tidak, taktik yang ia gunakan telah diperkenalkan dalam dokumen berjudul Firaqatul Maut wal Ightiyalat (Kelompok-Kelompok Pembawa Kematian dan Pembunuh Senyap) yang sudah beredar sejak 2004.

Laporan International Crisis Group (2011) berjudul Indonesian Jihadism: Small Groups, Big Plans mengindikasikan tentang perubahan lanskap terorisme di Indonesia. Kebijakan kontra-terorisme yang berujung terhadap pelemahan kelompok-kelompok radikal, seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), mengubah gerakan teror menjadi basis individu, tidak lagi bersifat struktural atau terorganisir.

Dokumen Firaqatul Maut wal Ightiyalaat menawarkan solusi bagi sel-sel terorisme atau individu-individu yang ingin melakukan amaliyah namun tidak ingin agendanya dipatahkan oleh aparat keamanan. Dokumen tersebut banyak membahas soal teknis aksi terorisme. Misalnya, aksi tidak harus menggunakan bom bunuh diri, membunuh korban secara sembunyi-sembunyi dalam senyap juga dibenarkan.

Ada tiga target yang menjadi prioritas utama, yaitu polisi (karena mereka banyak menangkap teroris), muslim yang dianggap sebagai thagut, dan orang-orang kafir. Dokumen tersebut turut membahas kapan waktu yang tepat hingga senjata apa yang efektif untuk melumpuhkan korban.

Strategi ightiyalaat sulit dibendung oleh polisi lantaran kurangnya informasi terkait kapan aksi akan dilancarkan. Demikian yang dijelaskan oleh Dedi, bahwa pihaknya belum melihat gelagat teror akan dilancarkan.

“Kalau dia (Abu Rara) ikut pengajian ke sana, ke sini, tidak bisa dilakukan preventive strike. Kalau Abu Zee dan delapan orang kelompoknya jelas ikut i’dad, beli TATP, barus bisa ditangkap. Kalau dia (Abu Rara) sudah aktif, beli peralatan yang diduga untuk merakit bom, baru itu harus segera ditangkap,” papar Dedi.

Lebih buruk lagi, sejak dokumen Firaqatul Maut wal Ightiyalaat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2009, sangat memungkinkan mereka yang terpapar radikalisme mempelajarinya untuk merencanakan amaliyah.

4. Amaliyah tidak harus dilakukan oleh anggota struktural kelompok teror

Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di IndonesiaANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Perlu digarisbawahi, strategi Ightiyalaat (secara sembunyi-sembunyi) diterapkan dalam kondisi terdesak. Itulah yang dirasa Abu Rara. Berdasarkan keterangan Dedi, dia merasa tertekan dan khawatir lantaran Abu Zee sudah ditangkap oleh polisi.

“Baru dua hari ini sebetulnya Abu Rara merasa takut, stres, dan tertekan setelah mendengar ketuanya, Abu Zee, tertangkap. Maka dia bilang ke istrinya, kita harus melakukan persiapan, kita melakukan amaliyah,” terang Dedi.

Pada penyerangan hari itu, Abu Rara juga berharap petugas keamanan segera menembak mereka berdua. “Harapan saya akan ditangkap, saya akan melakukan perlawanan semaksimal mungkin sampai ditembak mati,” tutur Dedi menirukan pelaku.

“Itu (ditembak mati) artinya jihadnya berhasil. Istrinya juga (berharap) sama,” sambung dia.

Berdasarkan analisis Karolina Wojtasik dan Vit Horak dalam tulisannya berjudul Do-It-Yourself-Terrorism (2019), aksi yang dilangsungkan oleh Abu Rara tergolong sebagai inspired attack. Walaupun tidak memiliki ikatan langsung dengan kelompok teror, Abu Zee dan JAD berhasil menginspirasi Abu Rara, sehingga dia bersama istrinya secara sukarela melakukan amaliyah.

Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang terinspirasi untuk melakukan teror. Di antaranya adalah propaganda ISIS, “janji manis” jihadisme, dan tersulut untuk melakukan teror setelah melihat serangan yang berhasil. Perlu ditekankan, ketika seseorang telah memiliki niat untuk melakukan amaliyah, maka tingkat radikalisme orang tersebut sudah sangat tinggi.

Inspired attack tidak bisa dipandang sebelah mata dibanding kategori lainnya, direct attack atau serangan yang dilakukan oleh kelompok teror secara langsung (seperti Bom Surabaya). Sebab, orang seperti Abu Rara tidak dituntut untuk melakukan teror. Dia hanya akan melakukan aksi ketika sudah merasa yakin, tidak bisa dipaksa pihak lain. Begitu juga serangannya, mereka tidak harus menggunakan bom bunuh diri.

Dengan kata lain, jika di Indonesia ada banyak orang seperti Abu Rara, maka negara ini tengah menghadapi leaderless terrorism atau teroris yang berasal dari sel-sel independen tanpa pemimpin.

“Bahayanya, mereka yang terinspirasi tidak akan mempertimbangkan hati Nurani dan refleksi pemikiran apa pun. Sehingga, pada saat yang sama, kesalahan akan dicurahkan kepada mereka yang dianggap kafir atau mereka yang dianggap bersalah dalam membuat keputusan,” demikian tertulis jurnal tersebut.

5. Serangan cukup bersifat simbolis, tidak harus berdampak besar

Penusukan Wiranto dan Ancaman Do It Yourself Terrorism di IndonesiaIDN Times/Candra Irawan

Aksi yang dilakukan oleh Abu Rara hanyalah satu dari sekian sel-sel terorisme yang bisa aktif seketika, tergantung situasi dan kondisinya. Menurut Badrus, sel-sel tersebut akan terus berkembang seiring kondisi Indonesia yang sarat akan ketegangan politik dan etnis.

“Ada juga ancaman di luar ISIS. Sel-sel kecil sebenarnya menyiapkan serangan dengan belajar melalui internet. Mereka dan juga lonewolf berkembang memanfaatkan kelengahan pihak keamanan. Situasi chaos menjadi celah untuk mereka,” terangnya.

Perkara serangannya, Badrus menegaskan bila banyaknya korban atau besarnya kerugian materi tidak lagi menjadi tujuan utama. Serangan dilakukan semata-mata untuk menunjukkan eksistensi serta mendapat pengakuan dari ISIS pusat.

“Serangan (dari sel-sel mandiri) tidak harus masif, yang penting ada satu atau dua. Yang penting ada serangan simboliknya. Indonesia kan sudah sejak lama ingin diakui oleh ISIS pusat,” tutup pengamat terorisme itu.

Baca Juga: Densus 88 Tangkap Dua Terduga Teroris Jaringan JAD di Bali

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya