Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang Puan

Dear anggota dewan, ada salam untuk meloloskan RUU PKS nih

Jakarta, IDN Times - Puan Maharani resmi menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia periode 2019-2024. Baginya, amanah baru tersebut merupakan suatu kebanggan karena sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia belum pernah ada perempuan berada di puncak tertinggi parlemen.

“Yang pasti, nantinya (setelah dilantik) ini akan pecah telor, baru ada perempuan pertama setelah 74 tahun Ketua DPR. Dan tentu saja hal itu saya berharap bisa membuat inspiratif-inspiratif bagi perempuan Indonesia,” ujar Puan dalam jumpa persnya di Jakarta, Selasa (1/10) kemarin.  

Usai dilantik, putri dari Megawati Soekarnoputri itu menuturkan bila DPR di bawah kepemimpinannya tidak akan menghasilkan banyak undang-undang. Dia berharap segenap wakil rakyat lebih fokus pada rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar pritoritas.

Puan tentu memiliki banyak pekerjaan rumah. Sebab, anggota dewan periode sebelumnya gagal mengakhiri masa jabatannya secara husnul khotimah setelah ramai-ramai masyarakat menolak sejumlah RUU yang dianggap kontroversial. Pendulang 404.034 suara dari Dapil Jawa Tengah 5 memiliki beban moral demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja DPR RI.

Terkait RUU prolegnas, #KamiTantangPuan sempat mencuat di media sosial. Warganet ramai-ramai menantang apakah Puan berani meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang merupakan RUU prolegnas sejak 2018. Desakan tersebut datang karena Puan merupakan Ketua DPR perempuan yang pernah menjabat Menko PMK, kementerian yang kerap bersinggungan dengan isu kemanusiaan dan keperempuanan.

“Tentu saja itu akan jadi prioritas Prolegnas ke depan, namun tentu saja mekanisme dan tata cara akan kami lakukan dalam tata tertib yang akan datang. Saya akan melihat dulu bagaimana hasil dari pelaksanaan UU yang kemudian ditunda, apakah akan kami bahas dalam tertib yang seperi apa,” demikian jawab Puan ketika ditanya soal RUU PKS dan RUU yang masuk dalam prioritas.

1. Mengenal RUU PKS, upaya melindungi korban kekerasan seksual

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Embrio substansi RUU PKS mulai ditekuni sejak 2010. Kemudian, pada 2014, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) mulai menggarap naskah akademik dan draf RUU ini. Dua tahun kemudian, draf RUU diserahkan kepada Komite III DPD RI dan masuk dalam Prolegnas 2015-2019.

RUU PKS memasuki babak baru pada 2017, ketika diputuskan sebagai inisiatif DPR RI. Pada tahun yang sama, drafnya telah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi VIII DPR RI bersama kementerian terkait. Kendati sudah masuk prioritas prolegnas sejak 2018, RUU PKS tak kunjung dibahas hingga hari ini.

Secara garis besar, tujuan dari RUU PKS adalah mencegah segala bentuk kekerasan seksual, melindungi serta memulihkan korban, dan menindak juga memidanakan pelaku. Banyak dari para pelaku kekerasan seksual melanggeng bebas tanpa menerima ganjaran pidana, selayaknya pada kasus yang menimpa mahasiswa UGM bernama Agni, karyawan di BPJS TK berinisial A, dan Baiq Nuril.

Urgensi dari RUU PKS tidak bisa lepas dari angka kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, tahun 2016 ada 259.150 laporan kekerasan, meningkat menjadi 348.466 pada 2017, dan terus bertambah menjadi 406.178 pada 2018.

Terkait kejahatan asusila, selama ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru mengatur soal pemerkosaan yang tertuang dalam Pasal 285-286 dan pencabulan dalam pasal 289-296. Itupun cakupannya sangat terbatas. Pemerkosaan diartikan sebagai penetrasi penis ke vagina yang disertai ancaman dan kekerasan fisik. Sedangkan pencabulan hanya berupa pelcehan seksual fisik disertai kekerasan dan ancaman fisik.

Lantas, bagaimana dalam kasus Agni, ketika pelaku memasukkan jarinya, bukan penis, ke vagina korban. Pada akhirnya, kasus tersebut berakhir damai lantaran si pelaku tidak terbukti melakukan pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Artinya, ada banyak macam pelecehan seksual yang belum diatur dalam undang-undang.

Dalam draf RUU PKS, Komnas perempuan setidaknya mengidentifikasi 15 jenis kekerasan seksual, termasuk perbudakan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan perkawinan serta pelacuran.

"Para korban ini tidak dapat akses keadilan, perlindungan, jaminan ketidak berulangan, kemudian pemulihan. Jadi urgensi RUU PKS adalah perhatian penuh pada korban (kekerasan seksual),” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni di Jakarta, Sabtu (5/10).

Baca Juga: Perempuan di Jalan: Minoritas di Tengah Tuntutan Pengesahan RUU PKS 

2. Komnas Perempuan minta maaf karena belum bisa meloloskan RUU PKS

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanIDN Times/Lia Hutasoit

Menanggapi pergantian anggota dewan, Komnas Perempuan melalui rilis tertulisnya menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh korban kekerasan seksual lantaran RUU PKS tak kunjung disahkan. Kekecewaan Komnas Perempuan terhadap DPR semakin menjadi-jadi, selain karena RUU PKS yang merupakan prolegnas tak kunjung dibahas, parlemen malah mengesahkan RUU KPK yang proses pembahasannya dalam kurun waktu dua minggu.

“Memperlihatkan kecenderungan keberpihakan Anggota DPR RI Periode 2014-2019, sesungguhnya bukan pada kelompok rentan, tetapi pada kepentingan politik Anggota DPR RI sendiri,” demikian tertulis dalam rilis Komnas Perempuan yang diterima IDN Times.

Menyambut anggota DPR RI baru, Komnas Perempuan meminta kepada seluruh pimpinan partai politik dan pimpinan fraksi supaya menugaskan anggota dewan terpilih yang memiliki kepakaran tentang hukum, HAM, dan Gender sebagai anggota Panja/Pansus RUU PKS. Kemudian, Baleg DPR RI periode 2019-2024 juga dituntut agar menetapkan RUU PKS sebgai RUU yang akan di-carryover untuk masa persidangan tahun 2020.

“Komnas Perempuan juga meminta Badan Musyawarah DPR RI agar menetapkan RUU PKS dibahas oleh Pansus Lintas Komisi, karena isu kekerasan seksual bukan semata isu perempuan tetapi isu lintas sejumlah komisi terkait.”

3. Komnas Perempuan berharap banyak kepada Puan Maharani

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Komnas Perempuan menaruh harapan besar kepada Puan supaya DPR bisa meloloskan RUU PKS. Bukan sekadar karena dia perempuan, tapi karena partai yang menaunginya juga mendukung RUU ini segera disahkan. Posisi tersebut merupakan sikap yang ditunjukkan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

“Kami tentu berharap dengan dipimpinnya DPR oleh Puan Maharani agenda tersebut bisa lolos. Karena dia itu perempuan, sudah sepatutnya dia membawa semangat keperempuanan,” tutur Komisioner Komnas Perempuan Mariana Aminuddin kepada IDN Times.

Tentu Puan tidak bisa bekerja sendiri. Mariana berharap seluruh perempuan di DPR memiliki perspektif yang sama dalam upaya melindungi korban pelecehan seksual. Hanya saja, posisi Puan sebagai pimpinan diharapkan bisa memberikan pengaruh kepada fraksi atau anggota lainnya.

“Jadi memang tergantung political will-nya ibu Puan. Akankah dia akan hadir sebagai orang yang melindungi kepentingan partai atau benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Karena memang banyak juga perempuan yang menentang isu ini (RUU PKS),” tambahnya.

Lantaran rekam jejaknya sebagai Menko PMK tidak terlalu menonjol, Mariana enggan menakar sejauh mana komitmen Puan terhadap RUU PKS. Akan tetapi, pengalaman tersebut merupakan modal berharga supaya RUU PKS terus diperjuangkan. Di bawah kementerian naungannya, Puan kerap bersinggungan dengan korban-korban kekerasan terhadap perempuan melalui Kemensos dan KemenPPPA.

“Beliau pasti sudah tahu itu (urgensinya RUU PKS),” tutur dia.

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanIDN TImes/Arief Rahmat

4. Dialog antara DPR dengan pegiat kemanusiaan diharapkan semakin mudah

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanIDN Times/Dini Suciatiningrum

Senada dengan Mariana, Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Nanda Dwintasari, juga berharap perempuan yang menduduki kursi parlemen periode 2019-2024 paham isu gender serta kemanusiaan luar dan dalam.

“Hambatan RUU PKS juga ada dari perempuan. Saya ingin bilang, dari dulu sebenarnya sudah ada perwakilan perempuan di DPR, tapi pertanyaannya apakah mereka semua memperjuangkan isu keperempuanan, ternyata gak juga tuh,” tutur Nanda kepada IDN Times pada Jumat (4/10).

Salah satu harapan Nanda kepada Puan adalah komunikasi antara rakyat dengan wakilnya semakin intensif dan semakin mudah. Nanda menceritakan, ketika YKP bersama pegiat kemanusian lainnya menggugat batas usia minimal pernikahan anak, Kementerian PMK sangat aspiratif dalam memperjuangkan suara rakyat. Nanda tentu berharap Puan menerapkan pendekatan serupa sebagai Ketua DPR RI.

“Waktu itu memang PMK membuka ruang diskusi. Dari awal memang terasa banget perbedaan perspektifnya, karena di sana ada KemenPPA ya. Tapi pada akhirnya terjadi dialog yang terbuka dan ada jalan kaluar. Kalaupun ada ketidaksetujuan, bisa diselesaikan. Itu hanya hampir 9 bulan hingga akhirnya MK mengubah batas usia pernikahan,” ungkapnya.

Nanda menambahkan, “dengan ibu Puan ada kepeduliaan saat itu (membahas batas usia pernikahan). Tetapi itukan perkawinan anak, gak tahu kalau RUU PKS karena dianggap sensitive bagi beberapa orang. Tapi justru itu yang akan kami kawal dan kami menanti terobosan-terobosan dia.”

Aktivis hak asasi manusia (HAM), Tunggal Pawestri, memiliki tanggapan berbeda terkait jabatan baru yang diemban Puan. Menurutnya, hanya karena dia perempuan, tidak sepatutnya dia memanggul beban lebih untuk meloloskan RUU PKS.

“Menurut saya itu gak fair. Kenapa dari dulu gak ada #KamiTantangSetnov atau #KamiTantang Bamsoet. Kok sekarang tiba-tiba karena dia perempuan seolah-olah dia punya beban yang beda gitu. Yang laki-laki harusnya memiliki kesadaran yang sama juga,” terang Tunggal kepada IDN Times, Jumat (4/10).

Kendati begitu, Tunggal tidak menapik bila keberadaan Puan di kursi kepemimpinan memberikan angin bagi lolosnya RUU PKS. “Saya sadar itu jadi satu peluang. Berangkat dari pengalaman waktu dia Menko PMK yang pernah berupaya menjangkau aktivis perempuan. Itu sinyal bagus kalau dia mau mendengarkan. Tradisi yang seperti itu yang harus diteruskan,” tutup Tunggal.

Baca Juga: Komnas Perempuan Berduka RUU PKS Batal Disahkan DPR

5. Isu perlindungan perempuan bisa memberikan efek elektoral

Perempuan dan Harapan: Titipan RUU PKS kepada Sang PuanANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Perkara kalkulasi politiknya, pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti memprediksi isu perlindungan perempuan akan menjadi tema yang populer beberapa tahun ke depan.

“Saya kira isu perempuan akan lebih banyak diperbincangkan di bawah kepemimpinan Puan. Karena isu ini menarik perhatian publik, maka isu keperempuanan bisa jadi kepentingan elektoral, untuk berebut suara ya,” kata pengamat politik itu kepada IDN Times, Jumat (4/10).

Bukan sekadar kehadiran Puan yang memperkuat isu-isu keperempuanan. Prosentase anggota dewan yang diisi oleh perempuan juga meningkat untuk periode ini. Berdasarkan data milik Perludem, untuk periode 2019-2024 sebelum Pergantian Antar Waktu (PAW), sekitar 118 dari 575 kursi DPR RI diisi oleh perempuan atau sekitar 21 persen. Angka tersebut meningkat sekitar 22 persen dari periode sebelumnya atau sekitar 97 kursi.

Ray turut mengkritisi keberadaan Puan di pucuk parlemen sebagai bukti menguatnya oligarki di Indonesia. “Secara makro, situasi ini tidak menggembirakan bagi demokrasi kita, karena oligarki semakin kuat. Tapi, kalau bicara penguatan isu perempuan, saya kira menguntungkan,” tutupnya.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Urgensi RUU PKS Adalah Perhatian Penuh pada Korban

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya