Pesan Jokowi untuk Menlu: Fokus Kudeta, tapi Jangan Lupa Isu Rohingya

Indonesia yakin isu Rohingya bisa terselesaikan

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, mengungkapkan pesan presiden kepada dirinya terkait krisis domestik yang terjadi di Myanmar. Meski Indonesia harus fokus mencari solusi pascakudeta militer, Indonesia juga tidak boleh lupa untuk menuntaskan isu Rohingya.

“Waktu 1 Februari muncul krisis, 5 Februari Presiden (Joko Widodo) sudah bicara, walaupun situasi politik seperti saat ini, maka perhatian terhadap penyelesaian masalah Rohingya harus tetap mendapatkan perhatian,” kata Retno dalam dalam diskusi virtual Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bersama IDN Times, Sabtu (6/3/2021).
 
Bukan tanpa alasan, Menlu Retno melihat bahwa masih ada harapan untuk menyelesaikan isu yang mendiskriminasi etnis muslim di negara bagian Rakhine itu. Sehingga, kudeta militer bukan alasan bagi Jakarta untuk menghentikan upaya tersebut.

“Kelihatan ada secercah sinar di ujung lorong, untuk penyelesaian masalah Rohingya ini juga,” tambah dia.

Baca Juga: Pesan Haru Ma Kyal Sin, Demonstran Myanmar yang Mati Ditembak Militer

1. Fokus utamanya adalah repatriasi

Pesan Jokowi untuk Menlu: Fokus Kudeta, tapi Jangan Lupa Isu RohingyaEtnis Rohingnya di Myanmar telah menjadi korban atas perlakuan kejam militer Myanmar (twitter.com/The Rohingnya Post)

Sebelum kudeta, ASEAN selaku organisasi regional yang memayungi negara-negara Asia Tenggara berfokus untuk memulangkan etnis Rohingya yang telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Bangladesh dan Indonesia.

Rencana itu semakin sulit sebab mereka tidak mau kembali ke Burma, apalagi negaranya sedang dipimpin oleh rezim militer yang menjadi alasan mereka mengungsi. Di sisi lain, stabilitas politik dan ekonomi juga menjadi tantangan tersendiri.

“Kondisinya di Rakhine State harus kondusif. Kegiatan ekonomi, kemudian situasi hubungan sosial horisontalnya juga harus kita bangun secara baik. Kalau kita melihat suku yang banyak sekali, itu sama dengan kita. Jadi unless, ada rasa ingin menjadi satu,” terang menlu dua periode itu.

2. Myanmar sulit maju jika tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan

Pesan Jokowi untuk Menlu: Fokus Kudeta, tapi Jangan Lupa Isu RohingyaWarga menginjak poster yang memperlihatkan foto yang diduga sebagai penembak jitu Tentara Myanmar saat protes terhadap kup militer di Yangon, Myanmar, Senin (22/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Pada kesempatan yang sama, Retno juga mengkhawatirkan ihwal Myanmar yang sulit maju karena ada berbagai macam isu yang, selama ini, berlarut-larut untuk diselesaikan.

“Ada isu Rohingya, ada isu ethnic armed groups, ada NLD (Liga Nasional Demokrasi), ada elemen Tatmadaw dan elemen lain-lain. Yang sekali lagi, tanpa niat kuat, komitmen kuat bahwa mereka mau maju sebagai satu negara itu akan sulit lagi,” papar dia.

Salah satu cara untuk menuntaskan instabilitas domestik di Naypyidwa adalah dengan dialog. Pendekatan itu diyakini bisa mengakomodir kepentingan seluruh pihak. Sehingga, penyelesaian bisa diterima oleh elemen terkait, meski keuntungannya tidak proporsional.

“Dalam situasi seperti ini, akan sangat sulit terjadi perubahan kalau memang tidak terjadi komunikasi, dialog di antara mereka terutama sekali lagi, pemimpin dari Tatmadaw maupun pemimpin dari NLD. Hasilnya pasti tidak seideal yang masing-masing inginkan,” jelasnya.

Baca Juga: Diduga Disiksa, Pejabat NLD Myanmar Tewas Usai Disergap Polisi-Militer

3. Perubahan harus didorong oleh kemauan dari pihak terkait

Pesan Jokowi untuk Menlu: Fokus Kudeta, tapi Jangan Lupa Isu RohingyaTwitter.com/Myanmar Now

Apa yang bisa dilakukan Indonesia saat ini hanyalah mengakomodir aspirasi dari pihak-pihak eksternal, termasuk menjembati agar dua pihak yang saling berebut kekuasaan di Myanmar bisa duduk satu meja. Sebab, perubahan yang substansial hanya bisa direalisasi jika elemen terkait di Myanmar yang menginginkannya.

“Semakin banyak masukan yang kita peroleh semakin dapat kita memetakan atau berusaha berkontribusi. Kita-kita ini adalah pihak luar yang hanya bisa membantu. At the end, yang menentukan adalah mereka,” ungkap dia.

Retno mencontohkan Indonesia sebagai negara yang bisa mewujudkan perubahan dari dalam. Contoh spesifiknya adalah reformasi pada 1998 yang mengembalikan militer ke barak.

“Kita harus akui bahwa militer merupakan bagian dari proses Indonesia menjadi negara demokrasi. Kalau di 1997-1998 katakanlah, militer tidak let it happened, maka mungkin sejarah akan berbeda,” katanya.

Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menutup, “Tatmadaw bisa menjadi bagian dari proses atau restorasi atau apapun lah. Kalau Sekjen PBB menyatakan, ‘return to democracy’ di situ sebenarnya Tatmadaw bisa menjadi bagian dari proses itu.”

Baca Juga: Serikat Buruh Myanmar Mogok: Bekerja hanya Menguntungkan Militer!

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya