PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!

Jika tidak berubah, butuh 3 tahun bagi Jabar melawan corona

Jakarta, IDN Times - Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia yang menyerang warga Depok, pada 3 Maret 2020, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil belum mengambil suatu kebijakan guna mencegah meluasnya penyebaran virus corona.

Berdasarkan hasil penelusuran, Kasus 1 dan Kasus 2 tertular SARS-CoV-2 saat melakukan kontak langsung dengan warga negara Jepang di sebuah klub dansa di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, pada 14 Februari 2020.

Seiring penambahan pasien COVID-19, warga mulai berburu masker dan pembersih tangan (hand sanitizer), sehingga keduanya langka di pasaran. Emil, sapaan hangat Ridwan Kamil, mengimbau agar masyarakat tidak panik kemudian memborong masker.

Kala itu, Emil mengingatkan warga terkait arahan World Health Organization (WHO) bahwa masker hanya diperuntukkan bagi mereka yang sakit. Imbauan untuk mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan baru diserukan oleh Emil pada 8 April 2020.

Pada 30 Maret 2020, Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, rencananya untuk menerapkan karantina wilayah atau lockdown di Depok tidak direstui oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov). Padahal, jumlah kasus terkonfirmasi kala itu mencapai 40 orang dengan 4 di antaranya meninggal dunia.

Salah satu kebijakan yang diputuskan Emil pada bulan Maret adalah alih lokasi kegiatan belajar-mengajar di rumah. Keputusan itu diambil berlaku sejak 16 Maret 2020. Sepekan kemudian, mantan Wali Kota Bandung itu meminta supaya sejumlah perkantoran di Jawa Barat, salah satunya di Bekasi, menerapkan work from home (WFH).

Kendati sudah mengambil beberapa keputusan, jumlah kasus positif COVID-19 masih terus meningkat di Jawa Barat. Hingga 31 Maret 2020, jumlah kasus terkonfirmasi di Jawa Barat mencapai 182 dengan 20 di antaranya meninggal dunia.

Pada saat yang sama, akumulasi di tingkat nasional mencapai 1.528 kasus dengan angka kematian mencapai 136 orang. Dengan kata lain, sekitar 14,7 persen kematian imbas corona berasal dari Jabar.  

Salah satu arahan WHO untuk menurunkan kurva COVID-19 adalah melakukan pembatasan gerak dengan cara karantina wilayah. Pemprov berada dalam kondisi dilematis ketika hendak memutuskan karantina wilayah. Pada 16 Maret 2020 misalnya, Jokowi mengingatkan kepala daerah untuk tidak menerapkan karantina wilayah secara sepihak. Dia menegaskan bahwa karantina wilayah merupakan otoritas pemerintah pusat.

Arahan WHO lainnya adalah memperbanyak jumlah tes spesimen. Lagi-lagi, Pemprov tidak bisa berbuat banyak karena SK Kemenkes yang ditandatangani tanggal 16 Maret 2020 hanya mengizinkan 12 laboratorium dari seluruh Indonesia untuk melakukan uji spesimen.

Adapun laboratorium yang bertanggung jawab untuk uji spesimen di Jabar adalah Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Jakarta. Selain Jabar, wilayah kerja laboratorium tersebut mencakup Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Banten.

Sampai di sini, bisa dilihat bila Pemprov Jabar tidak bisa berbuat banyak untuk mengurangi penyebaran virus corona.

Baca Juga: PSBB Dievaluasi, Ridwan Kamil: 50 Persen Jabar Masih Masuk Zona Merah

1. Empat fase PSBB di Jawa Barat

PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!Data diolah dari berbagai sumber (IDN Times/Vanny El Rahman)

Pada 10 April 2020, karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) resmi berlaku di DKI Jakarta. Setiap perusahaan dan perkantoran di Ibu Kota wajib menerapkan WFH. Kebijakan ini dianggap efektif untuk membatasi pergerakan 5 juta warga kota penyangga –berbasis Banten dan Jabar– yang setiap harinya bekerja di DKI Jakarta.

Menurut Kepala Lembaga Biologi Mokuler Eijkman, Amin Subandrio, PSBB di DKI Jakarta akan merugikan Jabar selama Pemprov tidak bisa menekan pergerakan manusia di kawasannya sendiri.

“Tapi konsekuensinya di daerah-daerah penyangga itu pada siang hari menjadi lebih padat. Kalau mereka tidak diarahkan dengan baik, maka bukan tidak mungkin malah di daerahnya sendiri akan terjadi peningkatan jumlah yang positif,” kata Amin saat dihubungi IDN Times, Jumat (17/4).  

Adapun kebijakan PSBB di Jawa Barat –daerah yang pertama menerapkannya adalah Bodebek: Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, serta Kota Depok– pertama kali berlaku pada 15 April 2020.

Periode 3 Maret-14 April 2020, disebut dalam artikel ini, sebagai fase pertama lantaran belum diterapkannya PSBB. Selama itu, berdasarkan data pikobar.jabarprov.go.id, terjadi penambahan 548 kasus terkonfirmasi COVID-19, dengan 23 di antaranya dinyatakan sembuh, dan 53 pasien lainnya meninggal dunia.

Satu hari sebelum PSBB di Bodebek, Emil membeberkan bila Jawa Barat telah membeli sejumlah alat tes swab Polymerase Chain Reaction (PCR) dari Korea Selatan. Dari situ, Emil mengatakan bahwa jumlah sampel yang diuji meningkat dari sebelumnya 140 menjadi 2.000 sampel per hari. Atas restu pemerintah pusat, laboratorium yang berhak melakukan pengujian juga ditambah di Depok, Bogor, Kota Bekasi, dan Cirebon.

Rentan periode 15-21 April 2020 disebut sebagai fase kedua. Selama tujuh hari, terjadi penambahan 580 kasus terkonfirmasi, dengan 52 di antaranya sembuh dan 15 pasien lainnya meninggal dunia. Perlu digarisbawahi, peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi juga selaras dengan peningkatan spesimen yang diuji setiap harinya.

Adapun fase ketiga terjadi sepanjang periode 22 April-5 Mei 2020 lantaran diberlakukan juga PSBB di Bodebek dan Bandung Raya, mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Raya, Cimahi, dan Kota Sumedang. Pada tingkat nasional, pemerintah menutup penerbangan dalam negeri. Pada saat yang sama, pengawasan guna mencegah lonjakan pemudik juga ditingkatkan.

Selama 14 hari PSBB di Bodebek dan Bandung Raya, jumlah terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah 541 kasus, dengan 90 di antaranya sembuh dan 16 lainnya meninggal dunia. Selama 21 hari PSBB diterapkan, indikasi penurunan kurva belum juga terlihat. Namun, catatan positifnya adalah, untuk kali pertama, pada 21 April 2020 angka kesembuhan lebih tinggi daripada angka kematian.

Fase keempat dimulai ketika PSBB berlaku untuk skala Provinsi Jawa Barat, sejak 6-19 Mei 2020. Data yang digunakan pada artikel ini terbatas hingga 16 Mei 2020 karena ada sebagian daerah yang belum memperbarui data.

Sepanjang periode ini, proses uji spesimen dilakukan di 9 laboratorium utama --Labkesda Jabar, UNPAD Jatinangor, RSHS, RSUI, Labkesda Kota Bekasi, Labkesda Kabupaten Bekasi, IPB, VET Subang, BBTKL Jakarta-- ditambah 11 laboratorium satelit --LIPI, BB Vet Bogor, RS Cibinong, Citra Arafik, RS Hewan Cikole, Unswagati Cirebon, RSUD Pelabuhan Ratu, RS Waled, Al-Ihsan dengan Unisba, Poltekes, RSP Karawang--.

Sayangnya, target pemprov untuk menguji 5.838 spesimen per harinya belum tercapai. Hingga 14 Mei 2020, Pemprov Jabar hanya mampu menguji 2.999 spesimen setiap harinya, hanya 60 persen dari target awal. Hal ini disebabkan oleh performa yang tidak optimal dan ekstraksi sampel yang manual.

Bersamaan PSBB Jabar, larangan mudik mulai digalakkan sejak 9 Mei 2020. Penjagaan check point dilakukan di 15-25 titik di provinsi dan 232 titik pengecekan di kabupaten/kota. Emil bahkan mengklaim bahwa PSBB Jabar berhasil mencegah gelombang pemudik dari berbagai kota.

Intervensi lainnya, sejak 9 Mei 2020 juga, beberapa daerah di Jabar mulai memberlakukan tes swab masif menggunakan 15.500 test kit yang dibagikan Pemprov.

Pada 13 Mei, Emil mengklaim bahwa rata-rata pasien di rumah sakit imbas corona berkurang, dari yang sebelumnya 430 pada April menjadi sekitar 350-an. Terkait jumlah kematian, angka rata-ratanya juga berkurang dari 7 pasien menjadi 4 pasien per hari. Tingkat kesembuhannya juga hampir meningkat dua kali lipat. 

Tidak hanya itu, Emil juga menyampaikan pengurangan indeks penularan virus corona. Sebelum PSBB indeksnya 3, yang berarti 1 pasien bisa menularkan corona kepada 3 pasien dalam sehari. Setelah PSBB indeksnya menjadi 0,86, yang berarti 1 pasien kemungkinan menularkan 1 orang dalam dua hari.

Kendati begitu, grafik PSBB belum menunjukkan penurunan. Pada fase keempat, terjadi penambahan 301 kasus dalam 11 hari, dengan 85 pasien sembuh dan 10 pasien meninggal.

2. Belum saatnya relaksasi PSBB di Jabar

PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!Ilustrasi PSBB. IDN Times/Mia Amalia

Epidemiologis Universitas Padjadjaran (Unpad), Panji Fortuna Hadisoemarto, tidak menapik bila PSBB Jabar memberikan pengaruh positif, meskipun pencapaiannya belum sesuai harapan.

Menurutnya, intervensi yang dilakukan Pemprov Jabar berhasil mengurangi transmisi hingga 50 persen.

“Kalau dibanding dari level awal, dengan intervensi Jabar itu bisa mengurangi penularan sampai 50 persen. Tapi kalau target minimal 80 persen, ya target kita belum sesuai harapan,” terang Panji saat dihubungi IDN Times, Rabu (20/5).

PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!Data diolah dari berbagai sumber (IDN Times/Vanny El Rahman)
PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!Data diolah dari berbagai sumber (IDN Times/Vanny El Rahman)

3. Efektivitas PSBB: kurva kasus COVID-19 belum menurun

PSBB Jabar Belum Optimal: Pergerakan Manusia Harus Lebih Ditekan!IDN Times/ Muchammad

Walaupun upaya Pemprov Jabar patut diapresiasi, Panji mengingatkan bila kurva kasus terkonfirmasi COVID-19 di Jabar belum mengalami penurunan. Hal ini terbilang meresahkan apalagi di Bodebek yang sudah menerapkan PSBB selama 32 hari (15 April-16 Mei 2020). Grafik di Bandung Raya juga menunjukkan hal yang sama, belum terjadi penurunan kasus terkonfirmasi setelah 25 hari penerapan PSBB (22 April-16 Mei 2020).

Padahal, alumni Georgia State University School of Public Health menerangkan bahwa hasil dari PSBB seharusnya terlihat setelah 14 hari atau satu kali masa inkubasi. Sekalipun terjadi peningkatan kasus selama masa PSBB, menurut Panji, kasus itu didapat dari hasil pemeriksaan orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP)

“PSBB dikerjakan supaya orang gak berkeliaran, jadi kasus-kasus yang ada terdeteksi, dan tidak ada kasus penularan baru di luar yang sudah terdeteksi,” beber dia.

Terkait kurva COVID-19 di Bodebek dan Bandung Raya yang tak kunjung menurun, menurut dia, hal itu disebabkan karena terjadi “kebocoran” atau masih banyak warga yang tidak patuh dengan seruan PSBB.

“Setelah dua minggu hasilnya baru kelihatan. Nah kalau di Bodebek kenapa gak turun-turun? Itu berarti PSBB-nya bocor. Kalau kondisi (Jabar) yang kayak begini, ya pasti akan ada kebocoran terus,” tambah dia.

Panji juga membuat permodelan COVID-19. Bila Jabar mempertahankan skema yang ada sementara pergerakan manusianya tidak lebih ditekan, maka virus ini baru bisa teratasi tiga tahun ke depan. Sebaliknya, jika pergerakannya bisa lebih ditekan, perhitungannya pandemik ini bisa berakhir dalam kurun waktu satu bulan.

Oleh sebab itu, Panji kurang sepakat dengan ide relaksasi PSBB atau PSBB proporsional yang sempat diwacanakan oleh Emil. Menurutnya, relaksasi hanya berpotensi memindahkan episentrum virus.

“Katakanlah ada dua kota berbatasan, yang satu PSBB sehingga tidak boleh salat id, tapi kota sebelahnya boleh, kira-kira apakah orang-orang gak pindah ke kota sebelah? Secara teori sebenarnya gak salah, tapi tergangung praktiknya. Kalau saya lebih baik menyeragamkan saja, karena sulit mengaturnya,” papar dia.

Untuk lebih mengoptimalkan PSBB, Panji berharap Pemprov lebih gencar untuk mengedukasi masyarakat tentang kondisi new normal di tengah pandemik. Di samping itu, menurut dia, sudah sepatutnya insentif dan disinsentif diterapkan.

“Perlu mengedukasi masyarakat melibatkan tokoh agama dan masyarakat. Terus juga insentif buat mendukung PSBB. Insentif itu misalnya bansos, supaya orang gak keluar rumah. Ada juga disinsentif, yang bandel-bandel (tidak mematuhi PSBB) ini harus dihukum,” tutupnya.

Baca Juga: Pemprov Jabar Serahkan Aturan PSBB ke Masing-masing Daerah

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya