Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode Pertama

Skor demokrasi Timor Leste lebih baik daripada Indonesia

Jakarta, IDN Times - Terhitung sejak 20 Oktober 2019 nanti, Joko “Jokowi” Widodo resmi menjalankan mandatnya sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua. Jokowi mengantongi 85.607.362 suara pada Pilpres 2019. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan didampingi Wakil Presiden Ma’ruf Amin hingga 2024.

Pada Pilpres 2019, melalui berbagai forum kampanye dan debat capres, Jokowi berjanji akan menegakkan hukum setegak-tegaknya, memberantas korupsi setuntas-tuntasnya, hingga mereformasi birokrasi sesingkat-singkatnya. Pada Pilpres 2014, Jokowi juga menyampaikan pernyataan serupa.

Bahkan, setelah dinyatakan menang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menegaskan dirinya tidak lagi memiliki beban, demi mengambil kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan bangsa.

“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah gak ada beban. Saya sudah gak bisa nyalon lagi. Jadi, apa pun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan,” ujar Jokowi pada Kamis, 9 Mei 2019.

Jalan Jokowi menuju Istana tak begitu mulus. Sebab banyak pihak yang meragukan kemampuannya mengelola negara. Perkara hukum dan perlakuan diskriminatif masih marak terjadi. Sederet kasus HAM juga tak kunjung selesai. Soal demokrasi, juga tidak sedikit orang yang dipidana karena berbeda pendapat.

Begitu juga masalah pemberantasan korupsi, Jokowi bahkan terlihat bimbang menentukan sikap, untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), untuk menolak berlakunya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Jokowi dianggap 'bermain aman' dalam menanggapi kritikan, dengan alasan segala masalah sudah ada aturan hukumnya. Perkara inilah yang menyebabkan The Guardian menyebut Jokowi sebagai “Obama-nya” Indonesia yang gagal.

“Kesuksesan Jokowi yang dulunya penjual mabel kemudian menjadi presiden, bagaikan dongeng politik di usia demokrasi Indonesia yang masih sangat muda. Jokowi telah merusak citranya sebagai sosok yang dianggap mengembangkan demokrasi,” tulis jurnalis The Guardian, Kate Lamb, dalam artikelnya yang diterbitkan pada 4 April 2019.

1. Jokowi pernah menghiasi sampul depan Majalah Time

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode Pertamatime.com

Kemenangan Jokowi pada periode pertamanya dianggap sebagai babak baru demokrasi abad ke-21. Bagaimana tidak, sulit membayangkan seseorang yang bukan elite politik mengalahkan purnawirawan jenderal yang disebut-sebut mewakili kepentingan oligarki.

Kharisma Jokowi didapatnya dengan hadir bersama rakyat di pasar bahkan di gorong-gorong, sementara lawannya dikenal sebagai komandan pasukan elite militer. Jokowi hanyalah pengusaha mabel di satu kota, sementara Prabowo adalah pemilik usaha di banyak kota di berbagai negara. Karena itulah kemenangan Jokowi disebut-sebut sebagai “keajaiban” demokrasi.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, negara dengan demokrasi terbaik di kawasan Asia Tenggara, kemenangan Jokowi tentu mencuri perhatian masyarakat internasional. Sebab, apa pun keputusan yang diambilnya nanti tentu berdampak terhadap dinamika global.

Pilpres 2014 disimbolkan sebagai kemenangan sipil atas militer, kemenangan rakyat atas elite, sekaligus menandakan kematangan demokrasi Indonesia. Simbol-simbol itu diwakili oleh Jokowi.

Sehingga, tidak heran bila wajah Jokowi mengenakan batik dengan tatapan tajamnya berada di sampul depan Majalah Time, salah satu majalah terkemuka di Amerika Serikat, edisi 16 Oktober 2014. Bersanding dengan foto Jokowi adalah penggalan kalimat “A New Hope: Indonesian President Joko Widodo Is A Force for Democracy”.

Baca Juga: Pak Jokowi, Jangan Puas Dulu dengan Capaian Penurunan Angka Kemiskinan

2. Evaluasi di bidang HAM, Jokowi seperti tidak belajar dari tahun-tahun sebelumnya

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaIDN Times/Vanny El Rahman

Pasca-Pilpres 2019, menarik kemudian untuk mempertanyakan ke mana gegap gempita kemenangan Jokowi seperti lima tahun silam? Salah satu jawabannya mungkin bisa ditemukan dalam laporan tahunan Human Right Watch (HRW) periode 2015-2018.

Pada 2015, HRW seolah meyakini bahwa Jokowi merupakan solusi bagi permasalahan HAM yang selama ini menghantui Indonesia. “Tahun pertama kepemimpinannya, Jokowi memiliki catatan beragam. Tapi, pemerintahannya mengisyaratkan akan lebih aktif membela hak-hak minoritas walau hanya sedikit membuat perubahan kebijakan yang konkret,” demikian tertulis dalam laporan.

IDN Times mempelajari catatan HRW pada periode pertama kebijakan Jokowi. Sekurangnya 12 topik yang mendapat perhatian HRW. Ironisnya, ada 4 topik yang terus menjadi sorotan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan berasosiasi, pemenuhan hak disabilitas, serta permasalahan di Papua. Empat hal tersebut seolah memperlihatkan Jokowi tidak belajar dari tahun-tahun sebelumnya.

Sepanjang 2015-2018, HRW mengkritisi soal kebebasan beragama. Mengutip data milik SETARA Institute, ada 194 kasus kekerasan terhadap etnis minoritas pada 11 bulan pertama tahun 2015. HRW mengapresiasi langkah progresif negara ihwal pengakuan penganut kepercayaan sebagai salah satu aliran kepercayaan di Indonesia. Kendati begitu, negara tetap dianggap gagal melindungi etnis minoritas dari kekerasan.

“Pada 2016, pasukan keamanan terlibat dalam pengusiran 7 ribu komunitas Gafatar dari rumah mereka di Kaltim dan Kalbar. Hingga 2019, ada sejumlah etnis minoritas yang dipidana karena dianggap menistakan agama. Belum lagi kesulitan dalam pembangunan rumah ibadah,” demikian catatan di bidang kebebasan beragama.

Terkait isu perempuan, HRW turut menyoroti peraturan daerah yang mewajibkan perempuan berpakaian syariah. “Untuk masuk kepolisian, calon polwan harus melakukan tes keperawanan. Padahal publik sudah menolaknya karena dianggap diskriminatif.”

Konflik di Papua tak luput dari pengawasan HRW. Walaupun Jokowi sempat memberikan grasi terhadap sejumlah tahanan politik asal Papua, pendekatan represif dari aparat bersenjata hingga penghalang-halangan jurnalis untuk meliput di sana masih tetap terjadi.

Pada Juni 2018, komisioner UNHCR, Zeid Ra’ad Al Hussein, bahkan mempertanyakan apa yang sebenarnya pemerintah Indonesia sembunyikan karena dia sekalipun tidak mendapat akses masuk ke Papua.  

“Meskipun ada keterlibatan positif oleh pihak berwenang (di Papua) dalam banyak hal, tapi undangan Pemerintah (Indonesia) ke kantor saya untuk mengunjungi Papua tetap belum diindahkan (belum ada tindak lanjut),” kata dia sebagaimana tertulis dalam laporan HRW tahun 2018.

Di akhir jabatannya, HRW seolah mengutarakan kekecewaannya terhadap Jokowi karena janji kampanye yang diutarakannya tak lebih dari bualan belaka. “Pemerintahan Jokowi gagal menerjemahkan retorika dukungan hak asasi manusia menjadi kebijakan yang berarti pada periode pertamanya.”

3. Skor hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia tidak lebih baik dari Timor Leste

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

IDN Times juga mengamati laporan demokrasi Indonesia yang dirilis oleh Freedom House untuk periode 2015-2019. Metode yang digunakan oleh lembaga ini adalah membandingkan hak politik (HP) dan kebebasan sipil (KS) yang terjadi di sejumlah negara dengan Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ada tiga kategori yang digunakan Freedom House sebagai penilaian, yaitu Free, Partly Free, dan Not Free. Adapun Indonesia sepanjang empat tahun terakhir masih berada pada kategori Partly Free, artinya hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia sudah dijalankan sebagaimana mestinya walaupun ada sejumlah catatan.

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaLaporan Freedom House 2015-2019

Sepanjang 2015 hingga 2018, skor HP Indonesia mandek pada angka 2 dan skor KS mandek pula pada angka 4. Semakin rendah skornya, maka semakin bagus. Adapun skor agregat atau akumulasi dari dua kategori tersebut adalah 65. Untuk skor agregat, semakin tinggi semakin bagus. Sementara, pada 2019, skor agregatnya turun menjadi 62.

Freedom House tidak menjelaskan secara spesifik apa yang menyebabkan skor agregat Indonesia menurun. Namun, IDN Times menggarisbawahi kondisi HP dan KS yang terjadi di Timor Leste ternyata lebih baik daripada Indonesia. Timor Leste dulunya merupakan bagian dari Indonesia yang kemudian memilih untuk memisahkan diri.

Sepanjang lima tahun terakhir, Timor Leste berhasil naik tingkat dari kategori Partly Free menjadi Free. Dari 2015-2017, dengan skor HP 3 dan KS juga 3, skor agregatnya mandek pada angka 65. Pada 2018, agregatnya naik menjadi 69 dan masuk kategori Free. Skor agregatnya meningkat drastis menjadi 77 pada 2019.

Freedom House menjelaskan, kenaikan tingkat Timor Leste disebabkan berjalannya proses Pemilu yang lancar dan transisi pemerintahan yang mulus. Sistem demokrasi Timor Leste yang memungkinkan partai baru dan politisi muda menduduki parlemen merupakan nilai tambah. Tren HP dan KS Timor Leste berada pada trek yang positif.

“Timor Leste adalah salah satu negara termiskin di Asia Pasifik. Namun proses konsolidasi yang terjadi menyebabkan mereka patut mendapat sorotan di kawasan Asia Pasifik,” demikian tertulis dalam laporan Freedom House 2018.

4. Demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi dinilai semakin ruwet

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaIDN Times/Fadli Syahputra

Ihwal indeks demokrasi, IDN Times menggunakan laporan milik The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2018 untuk mengamati lanskap pemerintahan Jokowi pada periode pertama. Secara garis besar, EIU menilai Jokowi kurang bisa menunjukkan performanya pada lima tahun pertama.

“Dalam kampanye periode keduanya, Jokowi tidak lagi diuntungkan seperti 2014 ketika dia menjadi pendatang baru. Jelang berakhirnya periode yang pertama, potret demokrasi Indonesia menjadi semakin rumit,” demikian tertulis dalam laporan bertemakan Democracy Index 2018: Me too? Political Participation, Protest, and Democracy.

Ada lima hal yang dinilai oleh EIU, yaitu proses pemilu, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Ada empat kategori yang dihasilkan, yaitu full democracy, flawed democracy, hybrid regime, dan authoritarian regime.

Baca Juga: Ini Catatan & Koreksi untuk Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Jilid 2  

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaLaporan The Economist Intelligence Unit 2019

Pada 2018, Indonesia menempati peringkat ke-65 dengan agregat skor 6,39. Dari lima hal yang dinilai, kebebasan sipil menempati nilai terendah dengan skor 5,59. Secara peringkat, Indonesia tidak lebih baik dari Filipina (53), Malaysia (52), dan Timor Leste (42). Indonesia bahkan hanya terpaut 1 peringkat dari Singapura (66) yang dikenal sebagai negara otoriter.

Jika melihat lima tahun ke belakang, skor demokrasi Indonesia pada 2018 adalah yang paling terendah. Pada 2014, skor demokrasinya 6,95. Setahun kemudian naik menjadi 7,03. Pada 2016, skornya turun menjadi 6,97 dan terus turun hingga 6,39 pada 2017 dan 2018.

Dengan demikian, Indonesia berada pada kategori Flawed Democracy. Artinya, walaupun negara sudah melaksanakan pemilu yang adil dan kebebasan sipil sudah dipraktikkan, tapi masih ada banyak pelanggaran dan pengekangan media. Di sisi lain, kategori ini menandakan fungsi pemerintahan yang tidak optimal dan kultur politik yang kurang bagus.

“Pada 2014, Jokowi disimbolkan sebagai ‘man of the people’. Dia mendapat dukungan dari kelompok pemuda yang membawa wajah baru politik. Karena itu harapan kepada Jokowi sangat tinggi. Tapi, pekerjaan dia lima tahun terakhir tidak merata. Ekonomi Indonesia masih terjebak pada angka 5 persen,” demikian penggalan laporan EIU.

5. Moeldoko tekankan pentingnya stabilitas di atas demokrasi

Rapor Merah Jokowi di Mata Internasional: Catatan Periode PertamaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, justru menampik berbagai laporan internasional yang terksesan menyudutkan pemerintahan Jokowi. Menurutnya, mengelola stabilitas negara lebih penting daripada menerapkan nilai-nilai demokrasi secara utuh dan bebas.

“Tuntutan demokrasi luar biasa, sulit mengelola stabilitas dengan demokrasi. Begitu kita ingin demokrasi berjalan, maka perlu aturan-aturan. Kenapa? Karena stabilitas tidak bisa diabaikan. Dengan stabilitas diabaikan, mengutamakan demokrasi, ada resiko. Resiko ini yang kadang tidak bisa dibaca teman-teman,” kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jumat (18/10).

Karena Jokowi dinilai tidak bisa menyikapi situasi yang dihadapi bangsa ini, akhirnya banyak pihak yang mengatakan Jokowi telah “membangkitkan” kembali Orde Baru.

“Kami betul-betul melihat situasinya, yang satu bicara tuntunan, yang satu haknya hanya sedikit. Begitu kami pelihara stabilitas, langsung otoriter, seolah-olah keras sekali zaman Pak Jokowi,” papar mantan Panglima TNI itu.

Dia menyambung, “Mengelola dua sumbu (demokrasi dan stabilitas) itu yang harus dipahami. Sebelum api membesar, harus dikelola dengan baik. Kami betul-betul mengeola dua sumbu itu dengan baik dan cermat.”

Menanggapi laporan HRW, menurut Moeldoko, sulit bagi negara untuk mengungkap pelaku pelanggaran HAM yang kejadiannya sudah berpuluh-puluh tahun silam. Oleh sebab itu, akan lebih efektif apabila kasus-kasus yang sudah lama ditagih masyarakat diselesaikan di luar jalur hukum.

“Persoalan masa lalu yang cukup lama kebutuhan-kebutuhan yang bisa mendukung atas terlaksananya hukum berjalan baik, (seperti) bukti dan saksi, unsur-unsur inilah yang menghambat penyelesaian secara tuntas. Untuk itu perlu ada upaya baru, dikedepankan juga non-judicial,” tutup dia.

Baca Juga: Periode Pertama Jokowi, Pertumbuhan Ekonomi Masih Jauh dari Angan

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin
  • Dwi Agustiar
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya