Sejarah Halal Bi Halal, Alat Politik Soekarno untuk Menyatukan Bangsa

Saat ini halal bi halal sudah menjadi budaya Indonesia

Jakarta, IDN Times- Halal bi halal hampir menjadi kegiatan wajib masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim, yang dilakukan pada bulan Syawal. Istilah itu sendiri merujuk pada kegiatan dimana masyarakat saling mengajukan maaf dan turut memberikan maaf. Bentuknya cenderung berbeda di setiap daerah. Ada warga yang singgah dari satu rumah ke rumah lainnya dan ada pula yang dikumpulkan di satu tempat, biasanya disebut open house.

Bertolak dari sejarah, sebenarnya halal bi halal adalah bentuk kepentingan politik Soekarno untuk mencegah perpecahan bangsa. Seiring berjalannya waktu, halal bi halal telah menjadi budaya khas Indonesia. Kini, halal bi halal dilakukan oleh setiap elemen masyarakat tanpa mengenal strata sosial, suku, ras, dan agama.

Lantas, bagaimana sesungguhnya gagasan halal bi halal pertama kali muncul di Indonesia? Kemudian, bagaimana halal bi halal yang berawal dari kepentingan elit politik menjadi tradisi unik bangsa Indonesia?

Yuk simak, biar gak lupa sejarah guys!

1. Halal bi halal pertama kali digagas oleh KH Wahab Chasbullah

Sejarah Halal Bi Halal, Alat Politik Soekarno untuk Menyatukan BangsaANTARA FOTO/Septianda Perdana

Dilansir dari www.nu.or.id, istilah halal bi halal pertama kali digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sekitar tahun 1948, disintegrasi bangsa menjadi ancaman terbesar Indonesia. Elite politik saling bertengkar, pemberontakan menjamur di banyak daerah, hingga ancaman ideologi komunis. Lebih buruknya, para pemangku kekuasaa yang memiliki beda pandangan enggan duduk bersama di satu forum diskusi.

Pada tahun 1948, bertepatan dengan bulan Ramadan, bapak proklamator bangsa itu memanggil Kiai Wahab ke istana. Sang pemuka agama dimintai pendapat soal cara yang efektif untuk mengatasi situasi bangsa yang tidak kondusif. Alhasil, ulama kelahiran Jawa Timur itu menyarankan Bung Karno untuk menggelar silaturahmi. Mendengar saran tersebut, Soekarno menjawab "Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain."

Mendengar jawaban Soekarno, Kiai Wahab membalas, "Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halal bi halal."

Setelah mendengar saran tersebut, bersamaan dengan merayakan Idul Fitri, Bung Karno menggelar halal bi halal untuk mengkumpulkan seluruh elite politik. Dan benar saja, setelah berkumpulnya seluruh pemangku kebijakan, babak baru integrasi bangsa dimulai.

2. Soekarno di jajaran elite negara, Kiai Wahab di masyarakat

Sejarah Halal Bi Halal, Alat Politik Soekarno untuk Menyatukan BangsaANTARA FOTO/Yusran Uccang

Selepas itu, berbagai instansi pemerintahan yang notabennya diisi oleh pendukung Soekarno turut melakukan hal yang sama. Halal bi halal mulai menjadi tradisi bagi pemerintah. Peran Kiai Wahab tidak berhenti sampai di situ. Halal bi hala juga dia terapkan di kalangan masyarakat. Buntutnya, masyarakat muslim di pulau Jawa turut meniru hal yang dilakukan oleh ulama-ulamanya.

Dengan kata lain, peran Bung Karno dan Kiai Wahab dalam menyelanggarakan halal bi halal berhasil menyentuh seluruh elemen masyarakat. Sehingga, dampaknya yang dirasa positif menjadikan halal bi halal sebagai tradisi bangsa Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri hingga saat ini.

3. Argumentasi Kiai Wahab untuk meyakinkan Soekarno

Sejarah Halal Bi Halal, Alat Politik Soekarno untuk Menyatukan BangsaANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Kegiatan halal bi halal, secara substansinya, telah ada sejak zaman Pangeran Sambernyawa pada abad ke-18. Kala itu, halal bi halal masih dikenal dengan istlah sungkeman. Sebab, pada masa itu, Idul Fitri dirayakan dengan pertemuan antar prajurit dengan raja di balai istana. Setiap prajurit secara tertib melakukan sungkem atau meminta dukungan dari para raja dan permaisuri.Tradisi yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa menggambarkan bahwa esensi halal bi halal sudah ada jauh sebelum masa Soekarno.

Ada dua argumentasi yang digunakan oleh Kiai Wahab untuk memperkenalkan istilah halal bi halal kepada Soekarno. Pertama, dia meyakini bahwa mencari penyelesaian masalah harus diawali dengan cara mengampuni kesalahan atau dalam bahasa Arab dibaca thalabu halal bi thariqin halal. Kedua, Kiai Wahab meyakinkan Bung Karno bahwa pembebasan kesalahan harus dibalas cara saling memaafkan. Dalam bahasa Arab dibaca halal yujza'u" bi hall.

Meski hukum halal bi halal masih diperdebatkan di kalangan ulama karena tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya (bid'ah). Halal bi halal dianggap sebagai momentum yang baik agar setiap muslim saling memaafkan.

So, tradisi kampung halaman kamu ada halal bi halal gak guys?

Topik:

  • Sugeng Wahyudi

Berita Terkini Lainnya