Tionghoa dan Papua: Akar Diskriminasi Struktural di Indonesia

Segala bentuk rasisme tidak dibenarkan di Indonesia!

Jakarta, IDN Times- Kematian tragis George Floyd, warga kulit hitam Amerika Serikat (AS), korban kekerasan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, berujung demonstrasi bertajuk #BlackLivesMatter di Negeri Paman Sam. Aksi yang berujung kerusuhan di 16 negara bagian itu merupakan ekspresi kemarahan terhadap diskriminasi struktural yang menindas warga kulit hitam di AS selama bertahun-tahun.  

Dukungan untuk mengakhiri supremasi kulit putih di AS menyebar luas. Potret penindasan berbasis rasialisme di berbagai negara mulai mengisi laman media sosial. #BlackLivesMatter (BLM) menjadi slogan untuk mengakhiri praktik rasisme dalam bernegara.

Tagar itu mendunia. Warga lintas negara ikut berbagi foto hitam kelam dengan tagar #blackouttuesday. Semangat itu memicu sebagian warga Indonesia dan menjadi topik hangat ihwal diskriminasi terhadap warga Papua, yang juga berkulit hitam.

Perdebatan terkait apakah BLM relevan dalam konteks Papua mengudara di media sosial. BLM menuntut penghapusan diskriminasi struktural di AS, sementara gerakan Papua dianggap oleh sebagian kalangan, menuntut kemerdekaan atau pembebasan dari Indonesia. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda.

“BLM tidak menuntut kemerdekaan, tapi melawan rasisme gak? Kuncinya di situ. Kalau memang BLM melawan diskriminasi, saya pikir cocok-cocok saja (dengan kasus Papua). Saya pikir kami adalah korban, sama seperti kulit hitam di berbagai belahan dunia,” kata aktivis Papua, Cisco, dalam diskusi #BlacklivesMatter dan Papua yang diselenggarakan oleh FRI-WP Media, Minggu (31/5).

Perihal penanggulangan diskriminasi, Indonesia sebenarnya dirundung anomali dan ironi. Bagaimana tidak, negara yang selalu mempromosikan slogan Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-Beda Tapi Tetap Satu) dalam berbagai forum internasional ini masih belum bisa menghapuskan streotip dan citra negatif yang melekat kepada etnis Papua serta Tionghoa. 

Sepanjang periode 2015-2019, Human Rights Watch (HRW) menyoroti empat perkara hak asasi manusia (HAM) selalu gagal dipenuhi negara, salah satunya adalah penanganan permasalahan HAM di Papua. Karenanya, tidak jarang Indonesia menjadi bulan-bulanan dalam sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena kegagalan meredam kerusuhan imbas isu separatisme Papua.

Narasi anti-China yang menyerang Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama sepanjang perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 silam menandakan bahwa etnis Tionghoa masih menjadi sasaran diskriminasi, baik perkara politik ataupun ekonomi. Baru-baru ini, etnis Tionghoa kembali dirundung diskriminasi terkait konspirasi COVID-19 yang disebut-sebut sebagai senjata biologi asal Tiongkok.

Menarik untuk kemudian mempertanyakan kenapa dua etnis terebut menjadi korban praktik diskriminasi di Indonesia?

Baca Juga: Putri George Floyd: Ayahku Telah Mengubah Dunia

Diskriminasi etnis Papua: Kegagalan Indonesia mendengar aspirasi rakyat

Tionghoa dan Papua: Akar Diskriminasi Struktural di IndonesiaHumas Polda Papua

Masih terekam dengan jelas bagaimana momen kemerdekaan 17 Agustus 2019 disambut kemarahan masyarakat Indonesia, terkhusus warga Papua, di berbagai daerah. Berawal dari pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya terkait dugaan perusakan bendera Merah-Putih. Pada kejadian ini, para penghuni asrama juga dikatai monyet.

Di tengah situasi yang belum jelas akar masalahnya, polisi memaksa masuk dengan menembakkan gas air mata dan membobol pagar asrama. Sebanyak 43 orang dibawa ke Mapolrestabes Surabaya untuk menjalani investigasi. Beberapa hari sebelumnya, bentrokan antar-warga dengan mahasiswa Papua juga terjadi di Malang.

Imbas kerusuhan di dua kota tersebut, Jayapura menjadi “lautan api”. Ribuan orang memadati Manokwari, Sorong, dan Wamena untuk menolak diskriminasi yang dilakukan aparat. Di Manokwari, gedung parlemen dibakar. Di Sorong, fasilitas umum dirusak. Tercatat empat orang meninggal di Jayapura dan 33 korban tewas lainnya di Wamena.

“Terkait perilaku diskriminasi rasial terhadap kami orang Papua bukan hal baru. Sudah sejak pertama kali masuk ke Indonesia, seperti ada label di tubuh kami (yang sekolah atau kuliah di luar Papua) OPM, separatis, ada juga pemabuk, perusuh, tukang onar. Hal ini tidak terjadi begitu saja, bahkan dipelihara,” tambah Cisco, dalam webinar yang dimoderatori Veronica Koman, aktivis HAM yang kerap membela warga Papua.

Nino Viartasiwi dalam tulisannya berjudul The Politics of History in West Papua (2018) menjelaskan dua hal yang mendasari konflik Papua, yaitu perbedaan ras yang dimiliki warga Papua (Melanesia) dengan kebanyakan ras di Indonesia (Melayu/Astronesia) dan polemik mengenai integrasi Papua ke dalam Indonesia.

Pada 1949, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan dituntut untuk menyerahkan seluruh kedaulatan wilayahnya, Belanda enggan memasukkan Netherlands New Guinea (nama sebelum Papua) sebagai bagian integral Indonesia. Alasannya adalah perbedaan suku, ras, dan agama.

Sukarno kala itu berdalih bahwa Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Mereka sama-sama berjuang mengusir penjajah. Adapun perbedaan ras dan suku bukan alasan untuk memisahkan Papua.

Sementara, kebanyakan warga Papua tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Adapun perlawanan terhadap penjajah, sebagaimana dituliskan Nino, merupakan perjuangan untuk mengusir kolonial dari tempat tinggalnya. Tidak dilandasi semangat nasionalisme.

Atas dasar itulah pada 1 Desember 1961 Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai negara yang terpisah dari Indonesia. Bendera Bintang Kejora dikibarkan dan Hai Tanahku Papua disenandungkan sebagai lagu nasional.

Deklarasi Papua Barat dianggap ada campur tangan Belanda. Meski Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, mereka tidak serta-merta melepas Papua. Belanda berdalih akan memerdekakan Papua ketika mereka sudah siap. Kisruh politik antara Belanda-Indonesia terkait Papua harus ditengahi oleh PBB.

Pada 1962, seluruh pihak yang bertikai sepakat untuk melaksanakan New York Agreement. Di antara poin kesepakatannya adalah penyerahan Papua Barat kepada PBB yang kemudian akan diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Setelah itu Indonesia dituntut untuk menggelar referendum paling lambat 1969.

Referendum atau Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat ) diselenggarakan pada 1969. Dari 800 ribu populasi warga Papua kala itu, hanya 1.025 orang yang terlibat pemilihan. Sistem one man, one vote tidak diterapkan dengan alasan akses ke seluruh warga yang tidak memungkinkan. Hasilnya adalah perwakilan tersebut sepakat untuk mengintegrasikan Papua ke dalam Indonesia.

Bagi sebagian warga Papua, New York Agreement 1962 merupakan bentuk kesewenang-wenangan karena perwakilan Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam perundingan. Selain itu, mekanisme pengambilan suara Pepera dianggap tidak bisa mewakili seluruh suara warga Papua. Indonesia juga mengabaikan fakta bahwa Papua Barat pernah mendeklarasikan diri sebagai negara pada 1961.

Paul Antonopoulos dan Drew Cottle dalam Forgotten Genocide in Indonesia (2019) menjelaskan, terlepas dari perdebatan integrasi Papua, Jakarta hanya memperlakukan Papua sebagai ladang eksploitasi sumber daya alam (SDA).

Pada Februari 2020 lalu, bos Freeport, Tony Wenas, mengungkapkan bahwa keuntungan yang telah diberikan kepada Indonesia mencapai US$19,5 miliar. Artinya, tambang emas di Papua merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar Indonesia.

Soal ini, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony Wenas, mengatakan, "Tahun 1973 itu di Papua tidak ada apa-apa di sana. Jadi kita bangun semua. Bandara Mimika yang bangun Freeport. Dua air trip untuk membuka keterisolasian masyarakat juga dibangun Freeport."  Pria bernama lengkap Clayton Allen Wenas ini menyampaikannya di ajang Indonesia Millennial Summit 2020 yang diadakan IDN Times, 17 Januari 2020.

Tony juga membeberkan, sejak Freeport diambil alih Pemerintah Indonesia, kini perusahaan tambang emas ini berjalan lebih baik.

"Sejak 21 Desember 2018, sebanyak 51 persen (saham) sudah dimiliki Indonesia. Utang sudah lunas dibayar dan tidak ada yang nyinyir lagi, sudah berlangsung selama setahun dan berjalan lancar," ujarnya.

Kembali ke catatan sejarah, pada awalnya, komunitas internasional mendesak Belanda untuk menggelar referendum di Papua. Namun, AS di bawah kepemimpinan John F Kennedy justru mendukung Papua untuk menjadi bagian integral dari Indonesia. 

Paul dan Drew beranggapan bahwa dukungan AS terhadap Indonesia tidak lepas dari kekayaan SDA di Papua. Pada 1967 atau dua tahun sebelum Pepera, Indonesia menandatangani kerjasama dengan Freeport untuk eksploitasi tambang emas di Papua. Adapun salah satu petinggi perusahaan tersebut adalah Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger.

Di samping itu, sangat mudah bagi pemerintah untuk menutup akses informasi keluar Papua. Kasus terbaru, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutus Presiden Jokowi dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate melakukan perbuatan melawan hukum terkait pemblokiran atau pelambatan koneksi internet di Papua pada tahun 2019.

Selain eksploitasi SDA dan pelanggaran HAM, Kjell Anderson melalui Colonialism and Cold Genocide: The Case of West Papua (2015) menjelaskan bahwa program transmigrasi turut mencabut akar budaya Papua dari tanah leluhurnya.

Untuk mempersiapkan tempat tinggal para transmigran, sepanjang 1982-1990 sekitar 163 ribu hektare hutan dihancurkan setiap tahunnya. Bagi warga Papua yang hidup dengan nilai-nilai adat, kehilangan hutan berarti kehilangan “ibunya”. Mereka yang dipindah paksa juga tidak mendapat kepastian hukum.

Program transmigrasi juga dianggap sebagai upaya modernisasi atas perilaku warga Papua yang dianggap primitif dan terbelakang. Pada 1971, pemerintah disebutkan pernah menggelontorkan dana sekitar Rp205 juta bakal Operasi Koteka, yaitu memaksa warga Papua untuk mengganti koteka dengan celana dan pakaian namun melalui pendekatan militer.

Sejarah panjang diskriminasi inilah yang menyebabkan sebagian warga Papua geram sehingga ingin memerdekakan diri. Pada 2001, Pemerintah Pusat memberikan hak otonomi khusus (Otsus) sebagai upaya mengejar pembangunan di Papua, sekaligus meredam gerakan separatisme.

Hingga 2020, pemerintah sekurangnya telah menggelontorkan dana Otsus sebesar US$7,4 miliar dolar.  Sayangnya, upaya tersebut tidak efektif untuk meredam keinginan sebagian rakyat Papua untuk memisahkan diri. Tidak hanya itu, segala macam upaya pemerintah -seperti pemberian jalur khusus ketika mengajukan beasiswa dan pegawai negeri sipil hingga keberadaan staf khusus terkait isu kepapuaan- masih juga gagal menghapus diskriminasi rasial.  

“Semacam ada standar ganda. Ketika kami pelaku, cepat sekali diproses. Tapi kalau kami korban, paling sulit. Teman-teman ada yang mencoba melaporkan kasus ke kantor polisi, lalu polis bilang ‘kalian ke asrama saja, suruh senior kalian yang ngatur’. Perlakuan ini juga terjadi di ruang akademis. Diskusi kami selalu diintervensi. Makanya kami selalu kesulitan menyampaikan apa yang terjadi di Papua, termasuk di ruang akademis,” ungkap Cisco.

Cisco menjelaskan, selama ini pemerintah telah gagal dalam upaya merangkul masyarakat Papua. Pasalnya, pemerintah selalu menggunakan “kacamata” Jakarta untuk menyelesaikan masalah bukan dengan mendengar langsung apa keluhan masyarakat setempat. Karena itu, Cisco tidak heran bila keberadaan Trans Papua dan Jembatan Merah-Putih yang selalu dibangga-banggakan pemerintah tidak bisa menyudahi keinginan untuk memisahkan diri.

“Kalau negara saya pikir tidak ada hal baik, karena statusnya kolonial. Kita sekolah ke Jawa bukan hal baik, toh orangtua kita yang bayar. Dari ribuan orang (Papua) yang mati, mana baiknya? Coba lihat hutan Papua, masuk ke dalamnya ada penambangan yang legal dan ilegal. Hal baik apa yang Indonesia kasih? Tidak ada,” kata Cisco.

Dalam diskusi tersebut, menurut Veronica satu-satunya cara untuk menyudahi konflik di Papua adalah dengan menegakkan demokrasi sebenar-benarnya di Papua. Salah satu prinsip demokrasi adalah memberikan pilihan kepada warga Papua apakah ingin memisahkan diri dari Indonesia atau tidak.

“Saya betul-betul melihat tidak ada harapan. Sejak Pepera sampai sekarang. Pengalaman saya sebagai pengacara, di ruang pengadilan saja tidak ada keadilan bagi orang Papua. Otsus cuma pencitraan saja. Jakarta sama sekali gak ada itikad baiknya. Jadi saya sepakat dengan uprising Papua tahun lalu, berikut hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis,” kata dia.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, warisan kolonial yang dilestarikan

Tionghoa dan Papua: Akar Diskriminasi Struktural di IndonesiaIlustrasi perayaan Imlek (Istimewa)

Diskriminasi rasial juga dirasakan etnis Tionghoa. Patut disayangkan, marginalisasi terhadap ras yang identik dengan kulit putih dan mata sipit ini merupakan warisan kolonial Belanda yang “dirawat” oleh pemerintah Indonesia.

Yvonne Eifert dalam disertasinya berjudul Conflict Formation and Transformation in Indonesia: Chinese and Indigenous Indonesians on Their Way to Peace? (2012) memaparkan dengan gamblang bagaimana diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terjadi dari masa ke masa.

Penting untuk memahami peran etnis Tionghoa di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan guna memahami akar diskriminasinya. Mereka dikenal sebagai etnis yang memiliki etos kerja tinggi dan ulet dalam berdagang. Banyak dari mereka yang sukses merintis usaha, tidak terkecuali di Indonesia. Kesuksesan inilah yang dilirik Belanda ketika mendirikan kongsi dagang Hindia-Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1602.

Belanda kala itu memerlukan kelompok masyarakat yang mahir mengelola perdagangan lintas negara. Di sisi lain, Belanda juga memerlukan kelompok masyarakat yang mengerti adat lokal Indonesia. Oleh karena itu, etnis Tionghoa dipilih sebagai middleman (penghubung) antara Belanda dengan masyarakat lokal.

Belanda menghindari bekerja sama dengan masyarakat lokal karena khawatir mereka akan menjadi ancaman di kemudian hari. Mereka tentu mempertimbangkan karakter fisik dan sosial-budaya yang berbeda dari masyarakat lokal kebanyakan. Saking pentingnya peran etnis Tionghoa, dalam paradigma kelas sosial, mereka menempati urutan kedua, di bawah komunitas Eropa-Belanda dan di atas komunitas lokal.

Pada 1730, seiring perang saudara dan bencana kelaparan di Tiongkok, diperkirakan sekitar 80 ribu warga negara Tiongkok masuk ke Indonesia. Belanda yang mulai kesulitan memanipulasi, karena mereka tidak terpusat di Pulau Jawa, akhirnya mengeluarkan sejumlah aturan guna mencegah lahirnya kekuatan baru. Adapun aturan yang dianggap merugikan adalah pemberlakuan pajak, larangan memiliki tanah, dan pembatasan buruh Tionghoa pabrik-pabrik.

Perlahan, peran Tionghoa yang semula menjadi “economic helpers” berganti menjadi “competitor”. Tidak bisa dipungkiri, Belanda sulit mencegah perkembangan mereka. Alhasil, pada 1738, Belanda memberlakukan surat izin tinggal. Bagi mereka yang tidak memiliki surat, akan dideportasi ke Srilanka untuk menjadi budak.

Puncak kemarahan etnis Tionghoa terhadap kebijakan diskriminasi terjadi pada 7 Oktober 1740, ketika 50 buruh pabrik menyerang tentara Belanda. Penguasa tentu tidak tinggal diam, mereka membalas dengan membakar rumah, membunuh, dan menyebarkan rumor yang tidak benar supaya Belanda didukung oleh masyarakat lokal untuk menyerang etnis Tionghoa. Imbasnya, dikabarkan sekitar 10 ribu warga Tionghoa di Indonesia meninggal pada 22 Oktober 1740.

Meski terus terintimidasi, Belanda tetap membutuhkan jasa etnis Tionghoa. Untuk mencegah pemberontakan terjadi lagi, Belanda akhirnya membuat Kampung Cina. Hal ini guna mencegah akulturasi dengan warga lokal serta memarjinalkan etnis Tionghoa, sehingga tidak terjadi konsolidasi kekuatan antara dua pihak yang memusuhi Belanda. 

Setelah VOC bubar pada 1800, kepentingan Belanda yang semula berdagang menjadi mengeruk kekayaan alam. Stereotip terhadap etnis Tionghoa semakin buruk karena mereka dipekerjakan untuk menarik pajak warga lokal. Kemudian, mereka memiliki hak istimewa untuk memperkaya diri dan melakukan berbagai kegiatan ekonomi ilegal. Sebagian dari mereka bahkan menggilas kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh masyarakat lokal.

Kedatangan Jepang di tengah Perang Sino 2 menyebabkan etnis Tionghoa semakin terpojok. Jepang melemahkan komunitas Tionghoa dengan menangkap para pemimpin lokalnya dan membredel koran-koran berbahasa Tiongkok. Akibatnya, etnis Tionghoa tidak memainkan peran signifikan dalam proses kemerdekaan Indoensia. 

Narasi pribumi (warga lokal) kontra non-pribumi (etnis Tionghoa) mulai dimainkan oleh pemerintah di awal era kemerdekaan. Di satu sisi, Sukarno sadar bila non-pribumi memiliki andil penting dalam menunjang ekonomi negara. Di sisi lain, negara ingin memperkuat basis ekonomi lokal, salah satunya dengan menerbitkan Perpres No. 10, isinya melarang etnis Tionghoa yang bukan warga negara Indonesia untuk berdagang di luar perkotaan.

Ironisnya, pemerintah juga setengah hati untuk memperkuat ekonomi lokal. Mereka hanya ingin etnis Tionghoa yang memiliki kekuatan ekonomi karena dianggap bukan ancaman. Etnis Tionghoa tidak memiliki akses langsung terhadap pembuat kebijakan. 

Kemapanan ekonomi etnis Tionghoa di awal Orde Baru kian menguat. Sebagai minoritas dengan budaya-agama yang berbeda dari masyarakat lokal, kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa menjadi kebijakan yang populis. Di samping itu, komunisme sebagai sistem pemerintahan Tiongkok juga memperburuk citra etnis Tionghoa. Sebagaimana diketahui, komunisme merupakan musuh terbesar Orde Baru. 

Pada 1965, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan asimilasi yang diskriminatif. Organisasi, penggunaan bahasa, aktivitas keagamaan dan budaya, serta sekolah-sekolah berbasis Tionghoa dilarang. Bahkan, mendatangkan majalah impor dari Tiongkok hukumannya setara dengan mendatangkan senjata atau narkoba. 

“Kebijakan ini adalah contoh bagaimana kekerasan struktural terjadi karena menghilangkan kebebasan berekspresi dan berbudaya,” demikian tertuang dalam penelitian mahasiswa Universitas Giessen, Jerman.

Kekerasan struktural ini dirawat oleh negara supaya etnis Tionghoa menggantungkan keamananya kepada pemerintah. Untuk mendapatkan pengamanan yang lebih, tidak sedikit pengusaha Tionghoa yang menjalin relasi dengan pemimpin militer atau politik. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan istilah cukong.

Pada 1967, konflik antara etnis Tionghoa dengan suku Dayak, disebut juga sebagai peristiwa mangkuk merah, terjadi di Kalimantan Barat. Militer memperkeruh segregasi antara keduanya dengan menyebar propaganda bahwa komunisme tidak sepakat dengan sistem adat Dayak. Alhasil, kericuhan tidak lagi terhindarkan. Pemeritnah terpaksa merelokasi sekitar 50 ribu etnis Tionghoa ke Singkawang dan Pontianak.

Adapun bentuk diskriminasi struktural lainnya adalah mereka dipaksa untuk tinggal di perkotaan guna menghindari pernikahan dengan warga lokal. Kemudian, pemerintah sengaja menggunakan kata Cina supaya mereka teralienasi dan menegaskan bahwa mereka adalah non-pribumi, berasal dari luar Indonesia.

Pada 1970, pemerintah memberlakukan pendataan ulang bagi seluruh etnis Tionghoa. Mereka diberikan kartu tanda penduduk (KTP) namun tertera kode khusus yang menandakan bahwa mereka non-pribumi.

Laporan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia memuat bahwa 70 persen ekonomi Indonesia dikendalikan oleh 3 persen konglomerat Tionghoa memperkeruh relasi pribumi dan non-pribumi. Sebab, penghujung abad 20 banyak warga pribumi yang kelaparan, menjadi pengangguran, dan terjebak dalam kemiskinan

Akibat kesalahan intepretasi laporan tersebut -di samping stigma buruk yang sudah melekat kepada etnis Tionghoa bahwa mereka adalah etnis yang serakah, rakus, hanya peduli pada kepentingan ekonomi- masyarakat mencurahkan kemarahannya kepada etnis Tionghoa. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, mereka memang menyaksikan dengan mata sendiri bahwa banyak orang-orang Tionghoa yang membuka usaha, mulai dari toko properti hingga toko emas.

Evi Lina Sutrisno dalam The May 1998 Riot in Surabaya: Through Local People’s Perspective (2002) menceritakan bagaimana kerusuhan massa menyasar etnis Tionghoa. Salah satu kesimpulannya adalah kerusuhan 1998 merupakan upaya sistematis untuk menjatuhkan martabat etnis Tionghoa.

Indikasinya adalah penjarahan hanya terjadi di toko-toko yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa, bahkan di toko yang terletak di pedalaman sekalipun. Kemudian, penjarahan lebih menyerupai tindakan perusakan alih-alih perampasan. Sebab, barang-barang yang dijarah kebanyakan tidak memiliki nilai jual di pasaran.

“Ada tukang becak yang ambilin cat tembok, padahal dia cuma ngontrak satu kamar. Untuk apa? Jadi barang-barang yang dijarah itu bukan pilihan yang rasional,” terang Evi ketika dihubungi IDN Times.

Apa yang membedakan kerusuhan Mei 1998 dengan kekerasan terhadap etnis Tionghoa lainnya adalah pemerkosaan. Hingga akhir kinerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), mereka menemukan indikasi pemerkosaan namun tidak ada satupun korban yang berani memberikan kesaksian.

Sejak insiden mengerikan tersebut, pemerintah mulai membenahi relasi dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Misalnya, Inpres No 26 Tahun 1998 menghapuskan istilah pribumi dan non-pribumi. Kemudian, Inpres No 4 Tahun 1999 tidak lagi mewajibkan sertifikat kebangsaan sebagai syarat pernikahan dan mengajukan  warga negara.

Disusul dengan majalah berbasis Tionghoa yang sudah diizinkan masuk, diperbolehkannya melakukan kegiatan sosial-budaya, dan penggunaan kata Tionghoa untuk mengganti istilah Cina, serta hari libur untuk merayakan Tahun Baru Cina.

Meski kekerasan struktural perlahan dihapuskan, etnis Tionghoa masih menjadi sasaran diskriminasi pada kontestasi politik. Beberapa politisi Tionghoa yang ikut meramaikan panggung politik memiliki alasan bahwa mereka ingin menghilangkan stigma eksklusif dan apatis politik yang melekat kepada mereka.

Ironisnya, justru sebagian elit politiklah yang memanfaatkan narasi anti-Tionghoa atau anti-Cina dan masih mengaitkan Tinghoa/Cina sebagai komunisme untuk kepentingan elektoral. Dengan demikian, akan sulit menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa karena resistensi terhadap mereka masih menjadi kebijakan yang populer untuk mendulang suara pada momentum politik. 

Baca Juga: Pemerkosaan dan Sejarah Kelam Kerusuhan Mei 1998 di Surabaya

Kesejahteraan sosial, solusi untuk Papua

Tionghoa dan Papua: Akar Diskriminasi Struktural di Indonesia(IDN Times/Arief Rahmat)

Deputi V Kantor Staf Kepresidenan bidang Polhukam dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, apa yang terjadi di Papua merupakan akumulasi peristiwa berpuluh-puluh tahun silam. Menurutnya, di bawah kepemimpinan Jokowi inilah negara mulai berkomitmen menyudahi isu separatisme Papua melalui pendekatan kesejahteraan sosial.

“Papua tentu tidak lahir 5-10 tahun terakhir ini. Ia (isu separatisme) merupakan akumulasi dari berbagai persoalan. Urusan Papua bukan HAM dalam konteks politik saja. Kita tidak bisa mendikotomikan masalah keamanan saja,” kata Jaleswari dalam webinar yang diselenggarakan oleh Rumah Kebangsaan, senin (8/6).

Dia menambahkan, “Presiden Jokowi selalu mengatakan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia yang harus dimajukan bersama kesejahteraan sosialnya. Karena kesejahteraan sosial ini punya kontribusi terhadap gerakan ini (pemberontakan) setelah puluhan tahun terjadi diskriminasi.”

Dalam upaya memajukan kesejahteraan sosial, mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu membeberkan sejumlah kebijakan strategis Jokowi di Papua. Seperti, Inpres No 9/2017 tentang percepatan pembangunan di Papua.

Jaleswari bahkan mengklaim Inpres ini menjadikan kali pertama Papua masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kemudian, ada juga kebijakan BBM satu harga, divestasi saham 51 persen Freeport, hingga pemberian beasiswa ADIK/ADEM kepada ratusan putra-putri Papua.

“Permasalahan Papua menjadi perhatian khusus bagi 28 Kementerian/Lembaga. Ini mencerminkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh bangsa sedang diperjuangkan pemerintah. Kunjungan presiden ke Indonesia Timur sudah hampir 13-14 kali untuk memastikan pembangunan Papua benar-benar dilakukan,” ungkap dia.

Terkait pembangunan Trans Papua, Jaleswardi membantah bila tujuannya sekadar pembangunan fisik sehingga menelantarkan penduduk setempat. Adapun tujuan utama dari Trans Papua, kata dia, adalah membangun peradaban.

Menurut alumni Universitas Indonesia itu, seruan #BlackLivesMatter tidak relevan jika dikaitkan dengan #PapuanLivesMatter. Sebab, tidak seperti AS, tidak pernah ada regulasi yang mendukung terjadinya diskriminasi di Papua.  

“Selama 5 tahun ini, tidak ada satupun kebijakan yang sifatnya represif, tidak ada undang-undang yang harus ada operasi militer. Sehingga tuduhan yang mengaitkan dengan AS, saya kira harus berhati-hati dan melihat masalahnya dengan jernih. Kita tidak punya sejarah diskriminatif yang dilanggengkan dalam kebijakan, seperti perbudakan di AS,” tutup dia.

Baca Juga: Stafsus Papua: Yang Mau Hancurkan Jokowi Berhadapan dengan Kepala Suku

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya