UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat Adat

Ini 6 masalah inti UU Minerba yang merugikan masyarakat adat

Jakarta, IDN Times - DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada 12 Mei 2020. Sekjen Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menilai, UU Minerba menunjukkan keberpihakan elite negara terhadap kepentingan investor tambang, alih-alih masyarakat adat.

“Pemerintah dan DPR sangat sigap dalam menyusun undang-undang yang melayani kepentingan investasi tambang, meski sangat berbahaya bagi keselamatan dan masa depan masyarakat adat dan lingkungan hidup. Di sisi lain, pemerintah terkesan sangat lambat dalam merespons tuntutan masyarakat adat untuk mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi undang-undang,” kata Rukka melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Rabu (24/6).

Secara lebih spesifik, Rukka menggarisbawahi enam masalah utama dalam UU Minerba yang sangat merugikan masyarakat adat. Apa saja?

Baca Juga: Walhi: UU Minerba Ancam Ekosistem Kawasan Selatan Jatim

1. UU Minerba dibahas diam-diam ketika masyarakat adat fokus hadapi COVID-19

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatMasyarakat Sipil Tolak RUU Minerba (Dok. WALHI Nasional)

Menurut Rukka, permasalahan mendasar terkait UU Minerba adalah pembahasannya yang dilakukan secara diam-diam, tidak sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 yang mensyaratkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan regulasi.

Patut disayangkan, lanjut Rukka, pemerintah bersama DPR memanfaatkan momen pandemik COVID-19 untuk mengesahkan UU Minerba.

“Banyak kelompok masyarakat sipil yang memusatkan perhatiannya pada usaha menyelamatkan diri dari wabah COVID-19, sehingga pantauan terhadap proses pembahasan UU di DPR mengendur. Tahapan pembahasan seharusnya dibuka kepada publik. Akan tetapi, DPR dan pemerintah telah mengabaikan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum,” katanya.

2. UU Minerba mempercepat kehancuran ruang hidup masyarakat adat

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatIlustrasi lahan di calon Ibu Kota Negara, Kabupaten Penajam Paser Utara (IDN Times/Vanny El Rahman)

Masyarakat adat menggantungkan kehidupannya kepada lingkungan tempat tinggal mereka. Rukka khawatir, UU Minerba ini mempercepat hancurnya ruang hidup masyarakat karena memberlakukan norma sapu jagat tanpa pengecualian, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (28a) perubahan UU Minerba. Adapun bunyi ayat tersebut adalah:

Wilayah Hukum Pertambangan mencakup ruang darat, laut, bawah bumi di kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan dan landasan kontinen

“Tanpa norma sapu jagat sekalipun, sudah banyak masyarakat Adat yang harus kehilangan wilayah adat yang berkontribusi langsung terhadap pelemahan identitasnya.

Contohnya pada PT. Newmont Nusa Tenggara yang berbubah menjadi PT. AMNT. Kerusakan yang ditimbulkan tak terkira, makam leluhur, kebun, sungai, dan tempat-tempat keramat menjadi rusak karena proyek tambang emas tersebut,” beber dia.

3. Melanggengkan praktik korupsi di wilayah adat

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatMasyarakat Sipil Tolak RUU Minerba (Dok. WALHI Nasional)

Berdasarkan data AMAN, hingga 2019 luasan konsesi tambang di seluruh Indonesia mencapai 19.224.576 hektare. Sebanyak 77 persen dari luasan tersebut adalah konsesi ilegal. Sementara, berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) hingga Januari 2018, masih terdapat 8.710 tambang di Indonesia yang sarat masalah dan pelanggaran.

Hal tersebut menandakan morat-maritnya perizinan pertambangan di Indonesia. Kemudian, pada 2018, AMAN menemukan bahwa terdapat potensi korupsi sumber daya alam sebanyak 262 kasus di atas wilayah adat, termasuk tambang. Bahayanya, UU Minerba yang baru justru abai terhadap berbagai persoalan yang terjadi dan menjadikannya sebagai acuan dalam melakukan revisi terhadap UU Minerba yang lama.

“UU Minerba yang baru justru melindungi kesalahan dan pelanggaran dari jerat hukum. Hal ini dibuktikan dengan dihapusnya sanksi pidana yang sebelumnya terdapat di dalam UU Minerba yang lama, bagi pejabat negara yang berwenang mengeluarkan izin-izin pertambangan. Keistimewaan ini membuka peluang korupsi yang lebih besar lagi,” papar Rukka.

4. Menghilangkan desentralisasi wewenang pengelolaan tambang

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatInfografis UU Minerba (IDN Times/Arief Rahmat)

Lebih jauh, potensi kerusakan sangat mungkin terjadi mengingat UU Minerba yang baru ini menghilangkan wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan, yang sebelumnya diatur dalam UU Minerba No. 4 Tahun 2009.

“UU Minerba justru melemahkan hal tersebut. Melalui UU Minerba yang baru, kewenangan untuk melakukan pengelolaan anggaran, sarana-prasarana, serta operasional inspektur tambang maupun pejabat pengawasan ditarik ke pusat untuk pelaksanaan IUP, IUPK, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan, dan IUJP. Pembinaan dan pengawasan yang harusnya dilaksanakan Pemerintah Daerah pun digugurkan dengan perubahan tersebut,” katanya.

5. Potensial meningkatkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatMasyarakat Sipil Tolak RUU Minerba (Dok. WALHI Nasional)

Di penghujung 2018, AMAN mencatat 262 masyarakat adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya. Lantaran UU Minerba yang baru justru melindungi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara dalam memberikan izin tambang, Rukka khawatir kriminalisasi terhadap masyarakat adat akan meningkat seiring pemberlakuan UU ini.

“Pasal 162 dan 164 sebagai kesatuan yang dapat digunakan untuk menyeret masyarakat adat ke penjara. Apalagi ketentuan ini tidak dijelaskan sehingga memungkinkan multi-tafsir dalam implementasinya. Sifat UU Minerba yang di satu sisi melindungi pejabat negara dan di sisi lain represif terhadap masyarakat adat, jelas menunjukkan bahwa UU Minerba ini adalah instrumen yang melayani kekuasaan semata,” terang Rukka.

6. Memberikan wewenang yang berlebih kepada pemegang konsesi

UU Minerba, Masa Depan Kelam Masyarakat AdatSekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi (IDN Times/Kevin Handoo)

Terakhir, UU Minerba yang baru memberikan keistimewaan bagi pemegang konsesi tambang. Salah satu bentuknya adalah pengaturan mengenai perpanjanga Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dilakukan tanpa melalui lelang.

“Hal ini akan menambah panjang penderitaan masyarakat adat, terutama komunitas-komunitas yang wilayah adatnya sedang menghadapi konflik dengan konsesi tambang,” tutup Rukka.

Oleh sebab itu, AMAN mendesak agar pemerintah pusat dan DPR RI segera mencabut UU Minerba yang baru ini sekaligus mendesak untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU.

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya