Vonis Bui bagi Pelaku Aborsi Korban Perkosaan Tidak Tepat

Berikut 3 saran dari ICJR terkait aturan aborsi

Jakarta, IDN Times - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuding keputusan Pengadilan Negeri (PN) Muarabulian terhadap WA (15) pelaku tindakan aborsi, setelah dihamili oleh kakaknya sendiri, adalah keputusan yang kurang tepat. WA divonis bui selama enam bulan karena terbukti menggugurkan bayi yang dikandungnya. 

ICJR mencatat, kasus di Jambi bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 2016, BL pekerja rumah tangga dituntut 8,5 tahun setelah membuang janin yang dihasilkan oleh laki-laki kenalan dari Facebook.

Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 346 KUHP serta Pasal 45A jo. 77A UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, aborsi adalah tindakan yang bisa dikenakan pidana. 

Sedangkan, menurut Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, aborsi diperbolehkan bagi mereka yang hamil karena diperkosa, apalagi kehamilannya mengakibatkan trauma. 

Kendati begitu, ICJR merasa pasal ini sangat sulit untuk terealisasi. Apa sih penyebabnya? Yuk simak penjelasannya di bawah.

1. Jarang ada perempuan yang tahu kalau dia hamil pada 40 hari pertama

Vonis Bui bagi Pelaku Aborsi Korban Perkosaan Tidak TepatIDN Times/Sukma Shakti

Berdasarkan undang-undang di atas, aborsi boleh dilakukan jika usia kehamilan paling lama 40 hari, terhitung sejak hari pertama haid. Namun, pada praktiknya, korban perkosaan kerap tidak mengetahui bahwa dirinya tengah hamil. Belum lagi persyaratan untuk aborsi yang haru menjalani proses panjang. Korban harus menjalani pemeriksaan dari polisi bahwa ia benar-benar diperkosa.

"Ketika mengetahui dirinya mengandung, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan aborsi yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat selama ini juga tidak pernah dilakukan evaluasi terhadap ketatnya aturan batas waktu 40 hari ini," papar Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui keterangan tertulis yang diterima oleh IDN Times, Sabtu (21/7). 

Baca juga: Spanyol Pertegas Undang-undang Soal Perkosaan

2. Pengadilan tidak bisa memutuskannya dari satu pasal saja

Vonis Bui bagi Pelaku Aborsi Korban Perkosaan Tidak TepatIDN Times/Sukma Shakti

Terkait kasus di Jambi, ICJR menyayangkan putusan PN Muarabulian yang menentukan vonis berdasarkan KUHP dan undang-undang kesehatan semata. Anggara menyampaikan, seharusnya hakim juga berpedoman terhadap Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 jo. Pasal 31 PP No. 61 Tahun 2014 dan Peraturan MA No 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. 

"Selain itu, pengadilan juga wajib mempertimbangkan hak-hak korban kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban," sambungnya. 

3. Berikut rekomendasi dari ICJR soal aturan yang mengatur aborsi

Vonis Bui bagi Pelaku Aborsi Korban Perkosaan Tidak TepatIDN Times/Sukma Shakti

Fenomena seperti ini sudah terjadi beberapa kali di Tanah Air. Sayangnya, ketentuan menenai aborsi dengan alasan korban perkosaan justru tidak diakomodir oleh Tim Perumus RKUHP. Ke depannya, ICJR khawatir akan banyak kriminalisasi terhadap korban perkosaan akibat aborsi. 

Oleh sebab itu, ICJR memberikan tiga rekomendasi perihal undang-undang yang mengatur aborsi, yaitu:

Pertama, ICJR meminta agar Mahkamah Agung secara konsisten mendorong para hakim yang memeriksa perkara untuk selalu memperhatikan ketentuan Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam menangani perkara-perkara yang melibatkan perempuan korban kekerasan seksual. Hak-hak korban juga tidak boleh diabaikan. 

Kedua, ICJR mendorong agar Pemerintah dan DPR segera membentuk sistem layanan dan penanganan korban kekerasan seksual yang terpadu agar penanganan korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang komprehensif.

Ketiga, ICJR meminta agar pemerintah dan DPR untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang ada termasuk dalam R KUHP, yang mengatur dan terkait dengan pengguguran kandungan ketentuan agar korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan yang proporsional alih-alih menjadi korban yang kedua kali dari sistem peradilan pidana.

Baca juga: Hari Anak Nasional, "Dear Pak Jokowi Kami Ingin Bapak Hadir"

Topik:

  • Sugeng Wahyudi

Berita Terkini Lainnya