[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis Baru

Aksi teror oleh perempuan tak terjadi pada era 2000-an

Yogyakarta, IDN Times - Aksi teror oleh perempuan berinisial ZA yang terjadi di Markas Besar Polri (Mabes Polri) pada Rabu (31/3/2021) dinilai pakar tergolong ke jenis yang baru. Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Najib Azca, menyebut aksi teror tersebut tidak pernah terjadi saat era awal 2000-an.

"Pelibatan perempuan ini memang sesuatu yang baru. Apalagi seperti bom Surabaya pada 2018, yaitu suami istri dengan anak-anaknya. Itu tak terjadi sebelumnya," ujar Najib kepada IDN Times (1/4/2021).

Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Muhammad Najib Azca.

Baca Juga: 7 Fakta Aksi Terorisme di Mabes Polri

1. Apa perbedaan aksi teror di awal 2000-an dengan saat ini?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruIlustrasi teroris. IDN Times/Mardya Shakti

Perbedaan yang pertama adalah jejaring aktornya berbeda. Jejaring aktor pada 2000-an awal adalah aktor Jamaah Islamiyah. Kelompok itu biasanya relatif terorganisasi dan terkoordinasi. Ada koordinasi struktur kelembagaannya. Lalu, mereka biasanya memiliki kapasitas kemiliteran atau pengalaman dalam jihad di Afghanistan dan sebagian lagi di Mindanao, Filipina.

Mereka memang memiliki kemampuan "kemiliteran". Misalnya, dalam merakit sebuah bom akan lebih dahsyat. Lalu, mereka juga mampu menggunakan senjata, seperti AK-47. Jika seperti yang kita lihat, dampak destruksinya lebih dahsyat. Misalnya, bom bali yang terjadi pada 2002. Kejadian itu dilakukan beberapa orang dan efeknya luar biasa. Ratusan orang meninggal dunia dengan kemampuan bom yang mereka buat dan strategi serangan yang mereka lakukan.

Kira-kira pada 2007, Jamaah Islamiyah mengalami kemerosotan luar biasa, karena pasca bom bali sebagian mereka sudah tergulung oleh pemerintah. Pemerintah melakukan aksi pemberantasan, penangkapan dan lain-lain.

Lalu, muncullah gerakan baru yang bernama Ansharut Daulah. Sebagian dari mereka, bahkan pimpinan utamanya, Aman Abdurrahman tidak memiliki kapasitas dan pengalaman kemiliteran. Berbeda dengan yang tergabung di Jamaah Islamiyah, seperti Abu Tholut di Afghanistan, Ali Imran dan lainnya. Sementara Ansharut Daulah tidak memiliki pengalaman khusus, sehingga kemampuannya lebih sedikit.

Jika kita lihat yang dilakukan gerakan Ansharut Daulah memang dampak destruksi, kerusakan dan kematiannya tidak terlalu besar.  Sama halnya yang kita lihat kemarin di Makassar atau di Thamrin pada 2016, di Surabaya, termasuk di Mabes Polri. Namun, kesamaan dari semuanya adalah pengalaman mereka dalam bidang kekerasan dan kemiliteran lebih terbatas dibanding Jamaah Islamiyah.

Terdapat satu hal lagi yang membedakan Jamaah Islamiyah dengan Ansharut Daulah. Jamaah Islamiyah berafiliasi global dengan Al Qaeda, sedangkan Jamaah Ansharut Daulah afiliasinya ke ISIS. Secara umum, mereka sama-sama menghendaki berdirinya khilafah Islamiyah atau daulah Islamiyah, baik itu di level bangsa maupun global. Mereka juga menghalalkan penggunaan kekerasan, teror dan bom di tempat umum.

2. Mengapa semakin banyak perempuan yang terlibat dalam kelompok teror saat ini?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruIlustrasi Teroris (IDN Times/Arief Rahmat)

Terdapat perbedaan antara kedua jamaah tersebut. Salah satunya pelibatan perempuan. Memang menarik belakangan ini kelompok ISIS sejak beberapa tahun terakhir banyak menggunakan perempuan untuk aksi-aksi terornya. Jadi, mereka memang membangun suatu konstruksi keagamaan baru yang membolehkan dan menghalalkan perempuan untuk ikut berjihad.

Jika biasanya perempuan hanya membantu saja, varian Jamaah Ansharut Daulah dan turunannya ini membolehkannya. Saya kira di satu sisi ada kebutuhan taktis, karena semakin sempit ruang untuk beroperasi. Laki-laki semakin terbatas dan ketat. Sedangkan perempuan kadang-kadang cenderung dilonggarkan, misalnya mau dicek, tetapi tidak dicurigai.

Oleh karena itu, pelibatan perempuan efek taktis dalam melakukan aksi menjadi lebih mudah. Setidaknya pada fase awal, sebab sekarang mungkin karena semakin banyak, jadi laki-laki dan perempuan sama-sama dicurigai.

Kedua, ini memperkuat aksi. Sebab sebelumnya tidak banyak laki-laki ikut aksi. Ketika kemudian perempuan dibolehkan, ini menjadi kekuatan baru bagi mereka. Jadi, ini faktor pembeda lainnya. Pelibatan perempuan ini memang sesuatu yang baru. Di jamaah Islamiyah tidak terjadi. Apalagi seperti yang dilakukan di bom Surabaya. Jadi, suami istri dengan anak-anaknya. Itu tidak terjadi sebelumnya.

Baca Juga: Ini Motif Fenomena Anggota Keluarga Lakukan Aksi Terorisme

3. Apa studi yang sudah dilakukan UGM tentang terorisme?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruIlustrasi. IDN Times/Sukma Shakti

Sekarang kami sedang melakukan riset tentang peranan perempuan dalam ekstemisme maupun kontra ekstremisme di beberapa daerah, seperti Poso, Bima dan Deli Serdang. Namun, terkendala karena COVID-19. Jadi, kami tahun lalu belum bisa ke lapangan, hanya bisa studi pustaka dan kontak lewat telepon. Belum sempat kunjungan lapangan yang sebetulnya sangat penting dalam riset. Kalau mau lebih mendalam, kami harus ketemu dengan orangnya, karena tidak semua orang punya akses komunikasi yang baik.

Belakangan ini memang menarik, yaitu meningkatnya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme, itu temuan awal kita. Hal itu terjadi di beberapa tempat, termasuk di Poso. Misalnya, dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang bergerilya di atas Gunung Biru. Di sana ada juga perempuannya.

Saat ini pimpinannya Ali Kalora yang juga mengajak istrinya. Di Bima juga begitu, beberapa tokoh di Poso itu adalah orang Bima. Termasuk istrinya Santoso, pemimpin MIT yang sudah tewas, yakni Umi Delima. Dia adalah orang Bima kemudian berjihad di Poso.

Lalu, di Deli Serdang juga begitu. Kemarin sempat terjadi operasi penangkapan laki-laki di sebuah rumah. Lalu, polisi ingin memeriksa rumahnya. Laki-laki sudah ditangkap di luar rumah. Sedangkan di dalam rumahnya ada istri dan anak-anaknya. Istrinya tidak mau ditangkap dan memutuskan meledakkan diri. Jadi, aksi kekerasan oleh perempuan sudah banyak. Kejadian belakangan ini sesungguhnya bukan sesuatu yang sama sekali baru, itu masih rangkaian dari yang sebelumnya.

4. Apa penyebab jaring terorisme menyasar kaum muda dan millennial, alih-alih memilih kelompok yang sudah mature?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruNarapidana kasus terorisme saat hendak dipindahkan ke lapas Kediri, IDN Times/ istimewa

Kelompok yang relatif lebih mudah untuk dipengaruhi dan direkrut itu memang kelompok muda dibanding orang tua. Seiring bertambah umur, orang yang semakin tua akan semakin konservatif. Sementara anak muda kecenderungannya untuk melakukan transformasi perubahan besar itu tinggi.

Dalam kajian psikologi, dilihat bahwa fase anak muda itu adalah fase yang paling rentan terjadinya krisis identitas. Anak muda itu sudah bukan anak-anak, tapi juga belum dewasa. Kira-kira fase transisi. Jika anak-anak semua hal dari orang tuanya. Ketika remaja, mereka sudah punya otonomi sendiri, misalnya punya selera baju dan rambut sendiri hingga punya aspirasi berbeda. Namun, mereka juga belum mandiri, belum punya pekerjaan tetap dan ekonomi masih tergantung orang tua. Itulah fase kritis.

Ketika fase itulah seseorang mengambil tindakan yang dramatis dan radikal. Misalnya, karena krisis identitas, sehingga melibatkan diri pada gerakan radikal dan ekstremis. Anak muda militansinya masih tinggi, sehingga jika berjuang akan habis-habisan dan siap mati.

Faktor variabel itu yang membuat remaja lebih rentan dan potensial untuk mengalami rekrutmen dalam gerakan radikal yang bisa jadi sangat berbeda dengan orang tuanya. Kadang-kadang itu bagian dari perlawanan terhadap orang tuanya.

5. Selain itu, mengapa kelompok teror ini juga menyasar kaum intelektual, seperti profesional dan mahasiswa?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruPexels.com/roxanne-minnish-2936023

Hal tersebut sebenarnya lebih sering merupakan lanjutan dari rekrutmen di masa remaja. Katakanlah saat SMA atau awal kuliah. Beberapa riset saya menyebut tentang sebagian orang-orang yang ikut jihad di Ambon merupakan aktivis mahasiswa. Kemudian ikut jihad, lalu drop out (DO) dari kampus. Hal itu memang terjadi dan ditemukan. Setelah itu, mereka bertransformasi menjadi bermacam-macam profesi. Jadi, proses radikalisasi yang sudah berlangsung sejak remaja, kemudian lanjut ketika mereka sudah menetap pada satu profesi.

Kemungkinan kedua, kelompok-kelompok ini sudah ada dalam kelompok profesional, misalnya pekerja BUMN dan lainnya. Lalu, mereka menebarkan pengaruh pada komunitasnya, sehingga akan semakin kuat. Sebagian lagi karena pengaruh rekrutmen di masa remaja.

Kadang-kadang ada temuan riset lain yang menunjukkan kalau secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat kita meningkat. Akibatnya kelas menengah lebih banyak. Kemudian mereka ini lebih terdidik dan sejahtera, namun sikap hidupnya lebih konservatif.

Jadi, pilihan-pilihan keagamaan dan politik mereka cenderung konservatif, alih-alih semakin progresif. Saya kira itu memberi penjelasan tentang mereka yang berada dalam kelompok profesional itu. Mereka cenderung merasa terwakili atau gampang terpengaruh oleh orang-orang yang punya kemampuan persuasi untuk mengajak mereka terlibat dalam gerakan radikal.

6. Apakah hal itu sudah menjadi strategi aktor terorisme untuk mendoktrin kalangan ASN, bahkan TNI dan Polri?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruIlustrasi ASN (ANTARA FOTO/Akbar Aprilio)

Mungkin iya, mungkin tidak. Bisa jadi itu dirancang secara khusus atau memang itu bagian dari perjalanan dalam hidup mereka saja. Meskipun itu biasanya sudah ada simpul-simpul awal sejak remaja. Radikalisme itu bergradasi. Gradasi yang paling rendah misalnya adalah intoleransi. Mereka tidak ekstrem, namun mereka tidak nyaman berteman dalam komunitas yang berbeda dan suka hidup dengan komunitas yang homogen.

Skala berikutnya adalah konservatisme. Misalnya, tidak boleh bergaul dengan kelompok lain atau pilihan hidup yang konservatif. Skala konservatif itu kemudian bisa jadi radikal. Radikal pun belum tentu kekerasan, bisa saja masih dalam pikiran. Kemudian tahap yang paling akhir, yaitu ekstremisme.

Jadi, proses orang menjadi teroris itu bergradasi. Tidak serta merta langsung menjadi ekstrem. Awalnya tidak mau berteman dengan komunitas yang berbeda, hingga akhirnya mengkristal dan bisa jadi membolehkan penggunaan kekerasan.

Baca Juga: Moeldoko: Terorisme Itu Nyata, Dekat, dan Berbahaya

7. Mengapa aksi teror masih marak terjadi meski sudah ada program deradikalisasi oleh BNPT?

[WANSUS] Serangan ke Mabes Polri Menambah Deretan Teror Jenis BaruIlustrasi korban terorisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Perlu diklarifikasi bahwa sementara ini ada dua pola program. Pertama, deradikalisasi. Kedua, kontra radikalisasi. Itu dua hal yang berbeda. Kalau deradikalisasi, sasarannya adalah orang yang sudah radikal. Dalam hal ini adalah radikal terorisme, sebab radikal tidak serta merta kekerasan. Bisa juga radikal demokratis.

Program BNPT ini deradikalisasi terorisme. Tujuannya adalah orang yang sudah terlibat terorisme, misalnya narapidana terorisme dan keluarganya. Mereka dipengaruhi agar tidak lagi menganut radikalisme dan meninggalkan ekstremismenya.

Kedua, kontra radikalisasi. Targetnya bukan orang yang sudah radikal, namun masyarakat umum saja. Jadi, counter wacana dalam isu terorisme. Sasarannya lebih luas, semacam pencegahan dan perang wacana dalam menghadapi terorisme.

Belakangan ini ada frame baru yang dikembangkan beberapa kalangan, termasuk Muhammadiyah yang diketuai Haedar Nashir. Mereka sering mengampanyekan program yang disebut moderasi keagamaan. Jadi, kalau deradikalisasi dan kontra radikalisasi kesannya reaktif, maka yang ini kesannya lebih memperkuat moderasi.

Orang-orang Indonesia sebetulnya moderat, namun seringkali tidak proaktif di ruang publik. Hal ini yang saya kira lebih dikuatkan. Bagaimana menonjolkan cara hidup yang moderat di ruang publik dan diskursus publik. Tidak harus deradikalisasi dan kontra radikalisasi yang seolah-olah menyasar kelompok tertentu. Hal ini lebih kepada mainstreaming moderat Islam dan pengarusutamaan dari Islam yang moderat.

Baca Juga: Ternyata Ini Alasan Kelompok Teroris Rekrut Perempuan Lakukan Teror

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya