BRIN: Jabatan Politik Tak Lepas dari Uang, Maju Pilkada Habiskan Rp30 M

Politik transaksional marak jelang pemilu

Jakarta, IDN Times - Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN, Moch Nurhasim mengungkap maraknya politik uang jelang pemilihan umum (pemilu).

Menurut dia, jabatan politik tak terlepas dari modal berupa uang yang harus digelontorkan. Sistem pemilihan langsung juga dianggap jadi salah satu faktor membukanya ruang biaya yang tinggi bagi politikus supaya memenangkan kontestasi politik.

"Seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan penting di dalam sistem demokrasi seperti legislatif, presiden, kepala daerah itu butuh modal. Sistem pemilihan langsung memang di mana-mana membuka ruang biaya yang sangat tinggi, apalagi negara kita cakupannya sangat luas," kata Nurhasim kepada IDN Times usai menghadiri acara diskusi di kawasan Jakarta Selatan, dikutip Senin (14/11/2022).

Baca Juga: Begini Kata Pengusaha Muda soal Pemilu 2024, Banyak yang Golput?

1. Berdasarkan penelitian, Pilkada habiskan puluhan miliar

BRIN: Jabatan Politik Tak Lepas dari Uang, Maju Pilkada Habiskan Rp30 MDirektur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Moch Nurhasim (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Nurhasim menuturkan, berdasarkan riset yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi bersama lembaga lainnya, calon bupati yang maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa menghabiskan biaya hingga Rp30 miliar.

"Bisa bayangkan misalnya, orang yang kalah saja hasil studi yang dilakukan teman-teman KPK bersama lembaga lain, itu kisarannya antara lima sampai dengan Rp30 miliar itu untuk yang di tingkat kabupaten ya. Tingkat provinsi jauh lebih itu. Kemudian saat elektoral DPR dan DPRD juga sama, rata-rata ada yang habis 15 miliar, ada yang Rp5 miliar," ucap dia.

Baca Juga: Prabowo Ikut Amini Pernyataan Jokowi Soal Jatah Pemilu 2024

2. Fenomena politik transaksional kian marak

BRIN: Jabatan Politik Tak Lepas dari Uang, Maju Pilkada Habiskan Rp30 MIlustrasi politik. (Unspalsh/Maarten van den Heuvel)

Nurhasim lantas menjelaskan, politik uang merupakan salah satu praktik dari jenis politik transaksional yang marak terjadi jelang pemilu.

Menurut dia, sistem politik yang ada saat ini tidak menawarkan program, namun justru ikut dalam arus politik transaksional, baik berupa uang, barang, hingga jabatan.

"Karena memang sistem politik kita masih sangat tidak menjual program, tetapi mereka politisi masih terjerembab dalam pola politik transaksional yang bentuknya beragam, bisa uang ataupun barang," tutur dia.

Baca Juga: Survei: Mayoritas Publik Tak Setuju Pemilu Ditunda, Siap Pemilu 2024 

3. Sistem politik harus dibenahi

BRIN: Jabatan Politik Tak Lepas dari Uang, Maju Pilkada Habiskan Rp30 MIlustrasi partai politik. Foto: Ist.

Nurhasim menegaskan, fenomena politik transaksional jadi salah satu catatan penting perkembangan demokrasi elektoral di era reformasi. Dia berharap jelang pemilu serentak yang baru pertama kali digelar pada 2024 mendatang, politik transaksional bisa ditekan.

Dia mengatakan, politik transaksional semacam ini menjadi tugas bersama seluruh elemen masyarakat.

"Kalau di teman-teman yang di luar disebut sebagai democracy for sale. Saya kira harus dibenahi bagaimana mendorong sistem politik, pemilu bekerja dengan baik, suara rakyat tak bisa diperjualbelikan, transaksi politik uang bisa dikurangi," jelas Nurhasim.

"Ini menjadi PR kita semua, dari pemilu ke pemilu. Mulai dari Pemilu 2004 sampai dengan 2019 kemarin isu ini jadi isu yang terus menerus terjadi," imbuh dia.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya