Partai Buruh Gugat Sejumlah Pasal UU Pemilu ke MK

Masa kampanye 75 hari jadi sorotan Partai Buruh

Jakarta, IDN Times - Koordinator Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin memastikan pihaknya melayangkan gugatan terhadap sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Tadi Partai Buruh telah memasukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang UU Pemilu ke MK," ujar Said di kantor MK RI, Senin (25/7/2022).

Said menurutkan pihaknya mengajukan judicial review terhadap sejumlah pasal yang ada di UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Dalam permohonan tersebut kami menguji Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 Huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2)," ucap Said.

Baca Juga: [BREAKING] Presiden Partai Buruh: 3 Tuntutan Buruh, Revisi SK Upah Minimum

1. Verifikasi administrasi dinilai memberatkan parpol

Partai Buruh Gugat Sejumlah Pasal UU Pemilu ke MKKoordinator Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin di Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Said menjelaskan Pasal 173 ayat (1) merupakan norma yang mengatur mengenai ketentuan verifikasi parpol calon peserta pemilu. 

"Kami memohon kepada Mahkamah agar seluruh parpol hanya diwajibkan lolos verifikasi  administrasi sebagai syarat untuk ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024," kata Said.

Dia mengklaim sudah memiliki berbagai alat bukti yang bisa meyakinkan MK bahwa verifikasi administrasi dinilai cukup berat bagi parpol calon peserta Pemilu. 

"Buktinya, pada pelaksanaan Pemilu 2014, hanya ada satu parpol yang lulus verifikasi administrasi. Ini fakta yang tidak banyak diketahui umum," ucap Said.

Baca Juga: Partai Buruh Gugat UU Pemilu ke MK Hari Ini

2. Sistem administrasi KTP jadi sorotan Partai Buruh

Partai Buruh Gugat Sejumlah Pasal UU Pemilu ke MKIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Adapun Pasal 177 Huruf f merupakan norma yang mengatur mengenai syarat minimal anggota parpol yaitu paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota.

"Nah, kami uji norma itu untuk meminta Mahkamah memberi tafsir bahwa yang dimaksud penduduk pada setiap kabupaten/kota adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kabupaten/kota bersangkutan, sekalipun Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) mereka diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota yang lain," ujar Said

Hal itu sesuai dengan definisi penduduk menurut Pasal 26 ayat (2) UUD 1945. Pihaknya mengatakan, borma itu terpaksa diuji ke MK karena KPU dan Bawaslu tidak bersedia mengakomodir usulan Partai Buruh agar status anggota partai semestinya tidak boleh dibatasi oleh syarat administratif KTP semata. 

"Ini yang sangat kami sayangkan. Kebebasan masyarakat untuk menjadi anggota partai pada suatu kepengurusan partai dibatasi oleh penyelenggara Pemilu," tutur Said.

Sedangkan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) mengenai norma yang mengatur mengenai kewajiban bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam setiap membuat peraturan.

"Kami uji norma itu karena konsultasi tersebut dimaknai mengikat. Sehingga, Penyelenggara Pemilu diharuskan tunduk pada kehendak DPR dan Pemerintah. Padahal, KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah organ independen sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945," kata Said.

Partai Buruh menjelaskan, dalam perspektif hukum tata negara modern, Penyelenggara Pemilu seharusnya ditempatkan sebagai cabang kekuasaan keempat disamping Eksekutif, Legislatif, dan kekuasaan Judicial (yudikatif). 

Sehingga, kata Said, kekuasaan KPU, Bawaslu, dan DKPP semestinya tidak bisa diintervensi oleh tiga cabang kekuasaan yang lain. Hal itu sesuai rujukan teori quadru politica sebagai kritik atas teori usang trias politica.

"Nah, konsultasi yang diwajibkan mengikat itu sudah terjadi. Beberapa Peraturan yang dibentuk oleh KPU, harus ikut maunya DPR. Padahal DPR adalah representasi partai calon peserta Pemilu 2024," tutur dia.

Baca Juga: Partai Buruh Akan Gugat KPU ke MA soal Kampanye 75 Hari

3. Masa kampanye 75 hari merugikan Partai Buruh

Partai Buruh Gugat Sejumlah Pasal UU Pemilu ke MKIlustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)

Said menyontohkan, terkait pengaturan masa kampanye 75 hari yang telah ditetapkan oleh KPU dan kelak akan dituangkan dalam Peraruran KPU (PKPU). Aturan itu disebut lahir karena KPU dipaksa tunduk oleh DPR alias partai-partai calon Peserta Pemilu. 

Menurut dia, masa kampanye 75 hari itu jelas merugikan masyarakat dan Partai Buruh. Sebab, kampanye harus juga dipandang sebagai hak masyarakat untuk memilah dan memilih partai atau calon sebelum pada akhirnya mereka putuskan didalam bilik suara. 

"Kalau masa kampanye diperpendek, maka itu artinya ada hak konstitusional masyarakat yang dikurangi," tutur Said.

Masa kampanye 75 hari juga dinilai merugikan Partai Buruh sebab pendeknya waktu akan mengurangi hak serta kesempatan kami untuk menawarkan gagasan perubaham kepada masyarakat. 

"Lebih dari itu, dengan diperpendeknya masa kampanye, maka ada sanksi pidana pemilu yang bisa mengancam Partai Buruh ketika kami melakukan sosialisasi di masyarakat setelah ditetapkan sebagai peserta Pemilu," kata Said.

"Sebab, dalam UU Pemilu terdapat ketentuan pidana bagi parpol yang melakukan kampanye diluar jadwal, baik sebelum (pra) maupun sesudah (pasca) masa kampanye. Disini masalahnya," sambungnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya