Perpanjangan Jabatan Kades Dinilai seperti Zaman Feodal

Harus ada payung hukum yang mengatur setiap masa jabatan

Jakarta, IDN Times - Peneliti Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengkritisi rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades). Dia mengatakan jika perpanjangan masa jabatan kades diberlakukan, Indonesia sama saja kembali ke zaman feodal.

Dia merujuk ke masa di mana sebuah sistem dikuasi oleh kelompoknya tertentu. Menurutnya, jabatan kades sembilan tahun terlalu lama.

"Kalau di langsung 9 tahun, dipilih lagi 9 tahun, itu namanya sama saja dengan era feodal gitu," ujar dia kepada awak media saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (24/1/2023).

Baca Juga: Peneliti BRIN: Revisi UU Desa Harus Ada Naskah Akademik

1. Sistem kepemimpinan yang ideal harus bergilir

Perpanjangan Jabatan Kades Dinilai seperti Zaman FeodalPeneliti Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Padahal idealnya setiap jabatan harus diisi secara bergantian. Sehingga estafet kepemimpinan tak hanya dikuasi oleh pihak tertentu.

"Jabatannya terus menerus. Tidak seperti itu. Biar aja bergilir. Itu yang namanya ada leadership bergilir, tidak itu itu saja," ucap Siti Zuhro.

Baca Juga: DPR Bantah Perpanjang Masa Jabatan Kades Terkait Presiden 3 Periode

2. Sistem kepemimpinan Indonesia dikritisi

Perpanjangan Jabatan Kades Dinilai seperti Zaman FeodalPeneliti Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Siti Zuhro lantas mengkritisi sistem kepemimpinan yang ada di Indonesia. Di mana ada kelompok tertentu ingin berkuasa seumur hidup. Oleh sebabnya dia mengingatkan pentingnya payung hukum untuk membatasi kekuasaan.

"Kekhasan orang Indonesia itu kalau tidak dipayungi dengan sungguh-sungguh itu maunya terus-menerus for live untuk seumur hidup gitu," imbuh dia.

Dia menilai, masa jabatan yang terlalu lama justru menimbulkan kejenuhan masyarakat. Padahal dalam iklim demokrasi yang baik sirkulasi kepemimpinan harus dibarengi dengan kesempatan masyarakat untuk mencalonkan diri.

"Itu kan kekuasaan. Dia kan berarti tidak memberikan warga lain untuk juga ikut memimpin. Dalam demokrasi itu harus ada sirkulasi elite. Masih itu diberikan untuk semua warga negara yang memiliki kualifikasi kualitas untuk mencalonkan diri," imbuh Siti Zuhro.

Baca Juga: Peneliti BRIN Nilai Polemik Jabatan Kades Terkait Balas Budi di 2024

3. Mendes sebut perpanjangan jabatan untungkan rakyat, kades tak harus jabat sembilan tahun

Perpanjangan Jabatan Kades Dinilai seperti Zaman FeodalMenteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, saat memberikan penghargaan pada 73 Desa di Sidoarjo yang telah menyelesaikan data SDGs Desa, Minggu (6/6/2021). (Dok. Kemendes PDTT)

Sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan perpanjang masa jabatan kades itu justru memberikan manfaat bagi masyarakat desa.

Dasar pernyataan Halim, karena dia menganggap dengan jabatan yang lebih lama maka kepala desa bisa lebih leluasa membangun desa dan tidak terpengaruh oleh dinamika politik akibat pilkades.

"Yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah warga masyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah warga masyarakat tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif. Karena yang enggak produktif enggak cuma kepala desanya tapi juga warganya," ujar Halim dalam keterangannya di laman resmi Kemendes PDTT.

Selain itu, Halim juga menjawab kekhawatiran masyarakat soal lamanya jabatan tak dibarengi dengan kualitas kinerja kepala desa. Dia menegaskan, kepala desa yang kinerjanya buruk bisa secara tiba-tiba diberhentikan. Karena Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) punya kewenangan memberhentikan Kepala Desa yang kinerjanya sangat buruk. Artinya, warga desa tidak perlu menunggu selama sembilan tahun untuk mengganti Kepala Desa yang kinerjanya sangat buruk.

"Ada mekanisme bahwa Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden itu berhak memberhentikan Bupati atau Wali Kota ketika kinerjanya sangat buruk. Nah, kalau Bupati dan Wali Kota saja bisa diberhentikan di tengah jalan apalagi Kepala Desa," ucap Halim.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini lantas menjelaskan, pertimbangan lain perpanjangan jabatan kepala desa ialah fenomena gelaran pilkades yang kerap menimbulkan konflik dan polarisasi nyaris di seluruh desa. Akibatnya, berbagai pembangunan di desa justru akan terganggu.

Oleh sebab itu Halim menilai, ketegangan konflik pasca pilkades mudah diredam jika masa baktinya ditambah.

"Artinya apa yang dirasakan kepala desa sudah saya rasakan bahkan sebelum saya jadi Ketua DPRD. Saya mengikuti tahapan politik di pilkades. Saya mencermati bagaimana kampanye yang waktu itu," tutur dia.

"Tapi menjawab kebutuhan menyelesaikan konflik pasca Pilkades," imbuh dia.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya