Sepuluh Tahun Mengajar di Tengah Hutan, Guru Ini Digaji Rp800 ribu

Guru honorer di Samarinda ini mengajar tiga kelas

Samarinda, IDN Times - Fajar belum merekah tatkala sang jago berkokok nyaring membangunkan Bertha Bua'dera yang tertidur lelap. Setelah terjaga, guru honorer alias pegawai tidak tetap harian (PPTH) itu segera bersiap-siap menuju sekolah.

Saban pagi Senin hingga Sabtu dia berjalan kaki sejauh dua kilometer lebih demi bertemu murid-muridnya. Perjalanan makan waktu satu jam dari rumah menuju sekolah.

"Setiap pagi bangunnya jam setengah lima. Kalau tidak begitu bisa terlambat," ujarnya saat ditemui di SD Filial 004, di kawasan Berambai, Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara. Sekolah itu merupakan anak dari SD 004, Jalan Padat Karya. Jaraknya dari sekolah utama sekitar 13 kilometer.

1. Lewati hutan tiap ke sekolah, terkadang bertemu ular

Sepuluh Tahun Mengajar di Tengah Hutan, Guru Ini Digaji Rp800 ribuPotret murid-murid SD Filial 004 yang berada pinggiran Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Perempuan 56 tahun ini kemudian kembali berkisah mengenai suka dukanya mengajar di pinggiran kota yang dikelilingi belantara hutan. Medan yang dilaluinya tak mudah sebab, jalurnya yang dilalui bukan aspal terbentang lurus, namun jalan tanah naik turun bukit.

Di sebelah kiri dan kanan hanya ada pepohonan rimbun. Jika hujan jalan begitu susah dilewati karena licin, motor pun sulit melintasi medan ini. Bila dihitung, ada lima tanjakan dan turunan yang harus dilalui Bertha sebelum bertemu murid-muridnya.

"Kadang saya juga ketemu ular. Kan kiri-kanan masih hutan," akunya. Itu sebab, perempuan beranak satu itu selalu membawa payung sebagai senjata darurat.

Baca Juga: Bandara APT Pranoto Samarinda Tutup 26 Hari, Penerbangan Pindah Lokasi

2. Mengajar tiga kelas hanya terima gaji Rp800 ribu per bulan

Sepuluh Tahun Mengajar di Tengah Hutan, Guru Ini Digaji Rp800 ribuBertha saat mengajar murid-muridnya di SD Filial 004. Letaknya di tengah hutan pinggiran Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Satu dekade mengajar hingga sekarang, Bertha belum juga naik status menjadi pegawai negeri sipil (PNS/ASN). Pangkatnya tetap guru honorer dengan upah pas-pasan. Per bulan dia menerima Rp800 ribu, bahkan sepuluh tahun lalu dia sempat merasakan upah Rp150 ribu. Syukur kini jumlahnya bertambah. Tapi tetap saja tak cukup selama sebulan.

"Ya, mau bagaimana lagi dicukup-cukupkan saja. Belum ada peningkatan (gaji) buat honorer," terangnya.

Saat ditemui, Bertha bersama Herpina. Dia juga guru honorer di SD Filial 004. Keduanya berbagi tugas mengajar di sekolah tersebut. Jika Bertha mengajar di kelas 1,2 dan 3 sementara Herpina kelas 4,5 dan 6.

Maklum gedung sekolah hanya punya tiga ruangan. Satu untuk ruang guru, sisanya bilik kelas. Awalnya, beban keduanya tak seberat sekarang sebab, setahun lalu ada Hamka. Guru paling senior di antara ketiganya. Dia masuk 2007, menyusul Bertha pada 2009 lalu Herpina pada 2014. Namun, Hamka telah ditarik kembali ke sekolah induk.

"Jadi kami berdua saja sekarang," timpal Herpina.

Menurut wikipedia, filial adalah kata lain dari kelas jauh, yaitu kelas yang dibuka di luar sekolah induk. Sekolah filial ini diperuntukan untuk siswa-siswi yang tidak tertampung di sekolah induk baik karena keterbatasan kursi (ruang kelas) atau jarak tempat tinggal siswa-siswi yang jauh.

3. Jauh dari upah UMK, pilih berkebun untuk menutupi biaya hidup

Sepuluh Tahun Mengajar di Tengah Hutan, Guru Ini Digaji Rp800 ribuHerpina saat mengajar murid-muridnya di SD Filial 004. Letaknya di tengah hutan pinggiran Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Herpina, 23 tahun, adalah mantan murid SD Filial. Dia kemudian kuliah dan kembali ke sekolah tersebut untuk mengabdi. Tak seperti Bertha, dirinya lebih beruntung karena menggunakan motor menuju sekolah.

Rumahnya berada di Jalan Poros L3, Kecamatan Tenggarong Seberang. Waktu tempuhnya menuju ke sekolah hanya 20 menit. Selama mengajar dari 2014 lalu hingga sekarang upahnya Rp700 ribu sebelumnya Rp400 ribu.

Dengan penghasilan jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), keduanya harus bertahan. Demi menutup lubang tersebut, Bertha harus berkebun. Hasilnya dijual ke pasar malam.

"Saya hanya mengabdi saja. Gaji yang saya dapat untuk bensin saja," paparnya.

Meskipun demikian, besar harapan keduanya untuk mendapat kenaikan upah. Maklum bertahun-tahun keduanya memperoleh upah jauh dari harapan.

Baca Juga: Kumuh, DPRD Samarinda Minta Balai Kota Pindah ke Kegubernuran Kaltim

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya