Inisiasi 'Urban Farming' Demi Tambah Lahan Hijau di Kota

Bertani di kota, kenapa enggak?

Jakarta, IDN Times - Setidaknya sebuah kota membutuhkan 30 persen lahan hijau, salah satunya untuk paru-paru kota. Namun, lahan-lahan tersebut di kota besar seperti Jakarta kini hanya tersisa 9 persen. Hal ini merupakan salah satu dampak urbanisasi yang membuat penataan kota di Jakarta tidak terkendali dan tidak teratur.

Berbagai cara pun dilakukan untuk menambal kekurangan lahan hijau di kota-kota besar. Salah satunya dengan gerakan urban farming. Gerakan tersebut mulai tumbuh sejak 2011 di Jakarta yang diinisiasi co-founder Indonesia Berkebun, Sigit Kusumawijaya dan kawan-kawannya.

"Saya ingin menjelaskan bahwa tidak jauh dari tempat kita beraktivitas di kota besar seperti Jakarta, sebetulnya kita masih mempunyai lahan-lahan hijau yang masih murni dan alami yang belum banyak diintervensi manusia," tutur Sigit dalam acara diskusi Strategi Adaptasi Iklim di Perkotaan dengan Urban Farming, Kamis (11/4), di Ruang Rimbawan 3B, Gedung Manggalawana Bakti Kementerian KLHK.

1. Awalnya gerakan ini bekerja sama dengan swasta

Inisiasi 'Urban Farming' Demi Tambah Lahan Hijau di KotaIDN Times/Ezri TS

Melalui Indonesia Berkebun, Sigit yang juga berprofesi sebagai arsitek, bersama rekan-rekannya menginisiasi gerakan komunitas dengan berfokus pada urban farming. Saat itu mereka juga berkolaborasi dengan pihak swasta untuk memulai gerakan tersebut

"Kami mencoba mengoptimalisasi sebuah lahan yang tidak terpakai atau lahan sisa dari properti milik developer. Saat itu 2011, istilah urban farming belum terkenal. Kami pun meminjam lahan tersebut dan mengajak warga jakarta beraktivitas bersama pada sebuah weekend," tutur sigit.

Anak-anak muda dan masyarakat kota pun ramai mengikuti gerakan tersebut. Mereka banyak mengunggah foto keasyikan berkebun ke media sosial sehingga gerakan ini makin besar dan menginspirasi anak-anak muda dari kota-kota lain untuk mengikutinya.  

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Drs. Herizal M.SI mengatakan bahwa keterbatasan lahan hijau di kota besar bukan masalah selama kita masih mengusahakan daerah tersebut menjadi daerah hijau.

"Urban farming ini menarik karena memang betapa pun terbatasnya lahan kita, kalau kita bisa menyiasati, daun-daun hijau itu bisa mengurangi co2 yang bertebaran di udara kita. Kita coba melengkapi kampung-kampung kita menjadi kampung hijau ini patut kita dorong," tutur Herizal.

2. Semakin ke sini, lahan hijau terbatas

Inisiasi 'Urban Farming' Demi Tambah Lahan Hijau di Kotaagritecture.com

Gerakan urban farming yang Sigit dan kawan-kawannya lakukan bukan tanpa ancaman. Mereka dan komunitas urban farming yang banyak terbentuk di berbagai kota di Indonesia harus menerima bahwa lahan-lahan yang pihak swasta pinjami sebelumnya harus dijual pemiliknya. Sigit mengatakan bahwa lahan-lahan tadi yang sangat potensial dan asri untuk pertanian makin habis.

“Hal tersebut kita anggap bukan ancaman, tapi kita harus ubah menjadi tantangan. Akhirnya lahan-lahan hijau pertanian akhirnya dijual owner-nya. Yang tiba-tiba karena secara regulasi tata ruangnya kurang kuat atau kurang tegas, di tengah sawah ada bangunan rumah atau perniagaan, ruko, hotel, bengkel,” ujar Sigit.

3. Urbanisasi banyak munculkan masalah baru, urban farming sebagai salah satu solusi

Inisiasi 'Urban Farming' Demi Tambah Lahan Hijau di KotaIDN Times/Ezri TS

Sigit mengatakan bahwa berkenaan dengan urbanisasi, tahun 1950 manusia yang tinggal di area perkotaan hanya 30 persen dan di desa ada 70 persen. Tahun 2010 angka penduduk yang tinggal di perkotaan dan pedesaan seimbang, yakni 50 persen. Menurut data dari Kementerian PUPR tahun 2010, ada 52 persen populasi penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan.

“Diperkirakan 2030 sekitar 60 persen tinggal di area urban. Sebagian besar itu ada di Asia Timur, Selatan, Tenggara. Sangat padat ya, termasuk di wilayah Jabodetabek,” tutur Sigit

Hal tersebut akan banyak memunculkan masalah baru misalnya kemiskinan dan kesenjangan sosial, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata karena masih terkonsentrasi di kota, dan nilai lahan yang makin tinggi. Di desa sendiri kini ada fenomena petani tidak ingin anak-cucunya menjadi petani atau bahkan anak-anak petani tersebut tidak ingin meneruskan usaha orang tuanya.

“Berkenaan dengan ini, kita mungkin harus berpikir jauh ke depan mengenai masa depan soal bagaimana anak-cucu kita mendapat sumber makanan dari mana karena sudah tidak ada lagi yangg bertani. Negara lain sudah mengatasi global food crisis, tetapi negara kita belum,” tutur Sigit.

Melalui urban farming itulah kita dapat memulai untuk menjadikan lahan yg awalnya tidak produktif di kota menjadi public space yang menjadi alternatif. Tujuan ke depan urban farming ialah ketahanan pangan untuk generasi selanjutnya.

Topik:

  • Ezri T Suro

Berita Terkini Lainnya