KLHK Bantah Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia yang Buruk 

Bantahan itu disampaikan Direktur IPSDH KLHK

Jakarta, IDN Times - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut efektif mengurangi angka deforestasi. Karena itu, deforestasi Indonesia yang memburuk, seperti dikatakan Greenpeace dalam pernyataan persnya, tidak benar.

Bantahan KLHK terhadap pernyataan Greenpeace tersebut disampaikan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) KLHK, Belinda Arunawati Margono, Minggu (11/8). Belinda mengungkapkan laju deforestasi Indonesia sebelum dan sesudah moratorium. Dikatakannya, luas Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) ialah 66 juta ha atau sebesar 35% dari luas daratan Indonesia, dan berada baik di dalam maupun luar kawasan hutan.

"Perlu juga dipahami bahwa di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut, dan hutan alam primer. Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga, seperti rawa gambut, savana, ataupun semak belukar alami. Total areal bertutupan hutan di dalam PIPPIB adalah 52,3 juta ha, atau 79% dari luas PIPPIB,” papar Belinda.

1. Pernyataan Greenpeace tidak benar karena tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya

KLHK Bantah Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia yang Buruk (Ilustrasi) IDN Times/Toni Kamajaya

Belinda menjelaskan, setelah moratorium diberlakukan pada 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi di 2014-2015 karena kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun, bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik nonkawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, serta berhutan maupun tidak.

Sebelumnya, Greenpeace melalui Kiki Taufik menyatakan bahwa deforestasi lebih buruk setelah moratorium. Pernyataan Greenpeace ini tidak benar karena tidak berdasarkan fakta yang sesungguhnya.

"Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk dasar statement itu. Begitu pun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi citra atau apa yang mereka lakukan. Harus jelas rule base untuk interpretasi citra. Di situlah metodis atau tidaknya sebuah analisis spasial. Tidak sembarangan. KLHK menggunakan data resmi di bawah sistem pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi suatu sistem pemantauan," ujar Belinda. 

2. Total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20%

KLHK Bantah Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia yang Buruk https://www.bpdp.or.id

Lebih lanjut, Belinda mengatakan, untuk mengetahui efektivitas moratorium, dengan menggunakan periode yang sama, yaitu 8 tahunan, atau periode 2003-2010 untuk periode sebelum moratorium dan 2011-2018 untuk periode setelah moratorium, maka total deforestasi periode sebelum moratorium ialah 7 juta ha (atau +0,88 ribu ha per tahun), dan setelah periode moratorium adalah sebesar +5.6 juta ha (atau +0,7 ribu ha per tahun). 

"Dengan informasi ini, maka total deforestasi Indonesia untuk periode sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20%. Sedangkan apabila hanya fokus pada areal moratorium saja (di dalam PIPPIB), analisis yang dilakukan dengan menggunakan sistem pemantauan yang sama, memberikan hasil bahwa terjadi penurunan angka deforestasi di dalam moratorium (PIPPIB) sebesar 38%, dari periode 2003-2010 seluas +1,9 juta ha (sebelum moratorium) ke periode berikutnya (2011-2018)," ujarnya.

3. Yang disampaikan Greenpeace tentang moratorium cenderung tendensius

KLHK Bantah Greenpeace Terkait Deforestasi Indonesia yang Buruk (Ilustrasi) ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Sementara itu, mengenai karhutla, Belinda mengungkapkan, pada 2019 KLHK tidak hanya melakukan pemantauan menggunakan sebaran dan akumulasi titik panas api (hot spot) sebagai informasi, tetapi juga sudah langsung melakukan penghitungan luas.

Total areal terbakar sampai dengan Juli 2019 ialah kurang lebih 135 ribu ha. Sebesar 77% dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Sebagian besar atau 71 ribu dari 135 ribu ha (53%) terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dominasi savana.

Belina pun mengatakan bahwa kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam PIPPIB bisa ditekan hingga mencapai 0,8% khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99.2% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu lahan gambut dan kawasan yang merupakan ekosistem alami tidak berhutan.

"Bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap karhutla, karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang. Bahkan saat ini hingga mencapai 1% dari total areal terbakar," kata Belinda.

Sebelumnya, terutama pada 2014-2015 yang merupakan tahun El Nino kuat, total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta ha, dan 69% dari luas itu terjadi di luar area moratorium (PIPPIB). Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, tetapi hanya 3% yang terjadi pada areal berhutan. Sisanya 97% terjadi pada areal yang memang tidak berhutan, yaitu  lahan gambut dan kawasan yang 7 ‘ekosistem’ alami tidak berhutan seperti savana atau semak belukar. Jadi, tidak benar yang disampaikan oleh Greenpeace tentang moratorium dan cenderung tendensius.

Topik:

  • Marwan Fitranansya

Berita Terkini Lainnya