Perang Kamerun Kembali Pecah, 15 Orang Dikabarkan Tewas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yaounde, IDN Times – Aksi pemberontakan tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai bagi Presiden Paul Biya. Setelah memenangkan pemilu pada Oktober lalu, presiden yang kembali berkuasa untuk ketujuh kalinya itu langsung memerintahkan penyerangan terhadap kamp-kamp pemberontak. Rentetan aksi saling serang antara pasukan militer pemerintah dan kelompok pemberontak terus terjadi sepanjang dua bulan terakhir.
1. 15 Jenazah ditemukan di area perang
Baru-baru ini, tepatnya Selasa (waktu setempat), perang antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak pecah di Kota Ndu. Sementara ini, belum ada kepastian terkait jumlah korban tewas dalam pertempuran tersebut karena masing-masing pihak menyebut angka yang berbeda. Namun, sedikitnya ditemukan 15 jenazah di area pertempuran.
2. Pemerintah dan pemberontak saling klaim terkait jumlah korban
Juru bicara pemerintah, Issa Tchiroma Bakary mengklaim, pasukan pemerintah menewaskan sekitar 30 orang pemberontak dalam pertempuran Selasa pagi dan membebaskan 16 sandera yang ditahan oleh pemberontak. Di lain pihak, kelompok pemberontak mengatakan bahwa angka itu terlalu kecil, jika dibandingkan dengan korban tewas akibat aksi penyerangan oleh pemerintah selama ini.
Kelompok pemberontak menuduh pemerintah telah membakar desa-desa, membunuh warga sipil yang tidak bersenjata, dan memaksa ribuan orang melarikan diri ke daerah-daerah berbahasa Perancis atau negara tetangga, Nigeria.
Editor’s picks
“Selama dua bulan terakhir, rezim telah menyerang kamp-kamp kami. Sedikitnya, kami telah kehilangan tujuh orang dan beberapa lainnya terluka,” kata Cho Ayaba, Kepala Pasukan Pertahanan Pemberontak, seperti dikutip dari African News.
3. Dua tahun perang, pemberontak berusaha dirikan negara Ambozonia
Aksi saling serang antara pasukan pemerintah Kamerun dan kelompok pemberontak telah berlangsung selama dua tahun. Kerusuhan bermula pada November 2016, ketika para guru dan pengacara berbahasa Inggris dari wilayah Barat Laut dan Barat Daya Kamerun turun ke jalan menyerukan otonomi dan reformasi, melansir Reuters.
Protes itu mendapat tanggapan keras dari pemerintah. Beberapa aktivis dipenjara dengan berbagai tuduhan. Peristiwa ini sekaligus menjadi awal pecahnya konflik antara pemerintah dan kelompok pemberontak.
Negara di Afrika Tengah ini memang menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan Perancis. Penduduk Anglophone Kamerun (penduduk berbahasa Inggris), sebagai kaum minoritas merasa keberatan dengan dominasi bahasa Perancis dalam kegiatan pemerintahan dan menganggap pemerintah sengaja melakukan marginalisasi terhadap penduduk Anglophone.
Pada Oktober 2017, kelompok pemberontak mendeklarasikan kemerdekaan dengan menyebut negara Ambazonia, bahkan The Ambazonians telah mencetak paspor, merancang mata uang, mendesain bendera, membuat lagu kebangsaan dan mendirikan TV satelit sendiri.
Baca Juga: Perang Saudara di Yaman Tewaskan 150 Orang Selama Akhir Pekan
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.