Perusahaan AS Diduga Terlibat Kebijakan China Soal Kerja Paksa Uighur

China bantah ada kerja paksa di negaranya

Jakarta, IDN Times – Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) Universal Electronics Inc (UEIC.O) mencapai kesepakatan dengan otoritas Xinjiang, untuk mengangkut ratusan pekerja Uighur ke pabriknya di kota Qinzhou, China selatan. Kesepakatan itu menjadi contoh pertama yang dikonfirmasi terkait keterlibatan perusahaan AS dalam program transfer, yang digambarkan oleh beberapa kelompok HAM sebagai kerja paksa.

UEIC.O, perusahaan yang terdaftar di Nasdaq, telah menjual berbagai peralatan dan perangkat lunaknya ke Sony, Samsung, LG, Microsoft, dan banyak perusahaan teknologi lainnya. UEIC.O sedikitnya telah mempekerjakan 400 orang Uighur dari Xinjing. 

Melalui laporan eksklusif yang dirilis Reuters, otoritas China mengatakan bahwa pemindahan merupakan bagian dari perjanjian transfer. Pemerintah Xinjiang membayar penerbangan sewaan menuju kota Hotan. Perjalanan mereka juga dikawal oleh polisi. Rencana pemindahan juga dijelaskan dalam pemberitahuan yang diunggah di akun media sosial resmi kepolisian Qinzhou pada Februari 2020.

Juru bicara UEIC.O membantah tuduhan melakukan kerja paksa kepada ratusan warga Uighur, saat ini masih ada sekitar 365 orang Uighur yang masih aktif bekerja di pabrik Qinzhou. Mereka semua diperlakukan sama seperti warga China dari etnis lain.

1. UEIC.O berpotensi kehilangan mitranya jika terbukti terlibat dalam kerja paksa

Perusahaan AS Diduga Terlibat Kebijakan China Soal Kerja Paksa UighurSejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur (ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie)

Juru bicara UEIC.O menyampaikan, perusahaan menanggung biaya transfer pekerja ke pabrik Qinzhou dari bandara lokal atau stasiun kereta api di Guangxi, wilayah yang menaungi Qinzhou. Dia mengatakan, perusahaan tidak tahu bagaimana para pekerja dilatih di Xinjiang atau siapa yang membayar transportasi mereka ke Guangxi.

Reuters tidak dapat mewawancarai pekerja pabrik, sehingga tidak memperoleh keterangan apakah mereka menjalani kerja paksa di UEIC.O. Namun, kondisi yang mereka hadapi hampir mirip kerja paksa, seperti bekerja dalam isolasi, diawasi polisi, dan ruang gerak terbatas.

Program seperti ini telah memindahkan ribuan buruh Uighur ke pabrik-pabrik di Xinjiang dan daerah lain. Amnesty International, Human Rights Watch dan kelompok hak asasi lainnya, mengutip bocoran dokumen pemerintah China dan kesaksian dari para tahanan, menyampaikan bahwa mereka dipaksa untuk bekerja.

Kemudian, program pemindahan juga disebut sebagai salah satu upaya China untuk mengendalikan populasi Uighur, yang menjadi etnis mayoritas di Xinjiang.

Perusahaan mitra UEIC.O berjanji akan mengambil tindakan apabila pemasoknya terbukti melakukan kerja paksa.

“Sony akan mengambil tindakan balasan yang sesusai, termasuk permintaan untuk menerapkan tindakan korektif dan pengentian bisnis,” demikian keterangan Sony terkait laporan yang dirilis Reuters.

Microsoft juga memastikan akan mengambil tindakan apabila pemasoknya terbukti melakukan pelanggaran kode etik pekerja, sekalipun mereka telah menghentikan pemesanan dari UEIC.O sejak 2016.

Baca Juga: Erkin Tuniyaz, Gubernur Baru Xinjiang Mantan Politikus Komunis Uighur

2. Tanggapan dari Kementerian Luar Negeri China dan AS

Perusahaan AS Diduga Terlibat Kebijakan China Soal Kerja Paksa UighurIlustrasi muslim Uighur di Xinjiang (IDN Times/Uni Lubis)

Kementerian Luar Negeri China membantah laporan soal kerja paksa terhadap etnis Uighur.

"Yang disebut 'kerja paksa' ini adalah kebohongan yang sepenuhnya dibuat-buat," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

"Pekerja migran Xinjiang di bagian lain China, seperti semua pekerja, menikmati hak untuk bekerja sesuai hukum. Hak untuk menandatangani kontrak kerja, hak atas remunerasi tenaga kerja, hak untuk beristirahat dan berlibur, hak untuk bekerja, perlindungan keselamatan dan kesehatan, hak untuk memperoleh jaminan dan hak kesejahteraan dan hak-hak hukum lainnya,” tambahnya.

Otoritas Xinjiang tidak memberi tanggapan.

Departemen Luar Negeri (Deplu) AS, berdasarkan laporan yang diklaim dapat dipercaya, mengkritik pemerintahan China karena melakukan kerja paksa terhadap etnis Uighur.

Deplu juga menyampaikan, tidak menutup kemungkinan UEIC.O mengambil keuntungan dari kebijakan kerja paksa di China, sekalipun mereka tidak terlibat langsung atau mereka memilih untuk mengabaikan fakta seputar terjadinya kerja paksa. Jika benar demikian, maka perusahaan melanggar UU Perlindungan Korban Perdagangan AS.

Baca Juga: Dibangun di Atas Masjid Uighur, Muslim Amerika Boikot Hotel Hilton

3. UU Antisanksi Asing, cara China lawan negara-negara Barat

Perusahaan AS Diduga Terlibat Kebijakan China Soal Kerja Paksa UighurANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter

Data peneliti dan pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, China telah menahan lebih dari 1 juta orang Uighur dalam sistem kamp sejak 2017. Laporan lainnya termasuk sterilisasi dan penghilangan paksa.

China membantah telah melakukan genosida terhadap etnis muslim tersebut. Terkait kamp, alih-alih disebut sebagai penjara, China menyebutnya sebagai sekolah vokasi, tempat di mana mereka menjalani pelatihan, pendidikan nasionalisme, dan pendidikan deradikalisasi.

Negara barat telah menjatuhkan berbagai sanksi supaya China menghentikan diskriminasi terhadap etnis Uighur.

Sebagai tindakan balasan, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia, pada Juni lalu China mengesahkan UU Antisanksi Asing. UU ini mengizinkan penolakan visa, deportasi, dan penyitaan aset terhadap perusahaan atau individu yang mendukung sanksi negara-negara barat.

UU ini memberi kekuasaan terhadap pemerintah, tidak hanya menargetkan individu atau pelaku bisnis langsung, tapi juga sekelompok orang yang terikat, seperti anggota keluarga.

“Cakupan luas dari kerangka kerja ini berarti banyak orang, seperti sarjana, pakar, think tank, dapat dikenai sanksi karena mendukung sanksi terhadap China,” kata Julian Ku, pakar hukum internasional di Universitas Hofstra.

Selain itu, perusahaan multinasional juga dipaksa mematuhi China, seperti melarang mereka untuk mengikuti sanksi yang dijatuhkan negara asalnya. Dengan kata lain, perusahaan multinasional asal AS dilarang untuk mematuhi sanksi Washington yang dialamatkan kepada Beijing.

Baca Juga: Tiongkok Terbitkan UU Antisanksi Asing untuk Lawan AS dan Eropa

Andi IR Photo Verified Writer Andi IR

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya