Sejak Junta Berkuasa, Penjualan Opium Myanmar Mencapai Rp29 Triliun
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dirilis pada Kamis (26/1/2023), mengatakan bahwa produksi opium di Myanmar telah berkembang pesat sejak rezim militer berkuasa mulai 2021.
Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mencatat, budidaya opium meningkat hingga 33 persen pada tahun lalu. Hal ini membalikkan tren penurunan yang telah dicapai negara itu selama enam tahun sebelum kudeta militer.
"Pertumbuhan yang kita saksikan dalam bisnis narkoba berhubungan langsung dengan krisis yang dihadapi negara ini. Dampaknya terhadap kawasan ini sangat besar, dan negara tetangga perlu menilai dan secara terbuka menangani situasi tersebut, dan mereka perlu mempertimbangkan beberapa pilihan yang sulit," kata Perwakilan regional UNODC, Jeremy Douglas, dikutip dari Aljazeera.
1. Myanmar jadi produsen opium terbesar kedua di dunia
Dilansir Associated Press, Douglas mengatakan bahwa produksi opium di Myanmar menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan. Dia menyebut pasar opium negara itu telah menyebar ke pasar global, seperti Australia dan beberapa wilayah Asia.
"Hampir semua heroin yang dilaporkan di Asia Timur dan Tenggara dan Australia berasal dari Myanmar, dan negara tersebut tetap menjadi produsen opium dan heroin terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan," katanya.
Laporan PBB juga mengungkapkan, area budidaya opium pada 2022 telah meluas sepertiga dari tahun sebelumnya menjadi 40.100 hektar. Sementara hasil produksi melonjak menjadi sekitar 870 ton. Nilai tersebut merupakan yang tertinggi dalam pencatatan UNODC sejak 2002.
Baca Juga: Lakukan Genosida, Junta Myanmar Digugat di Pengadilan Jerman
2. Instabilitas ekonomi-politik memungkinkan produksi terus berkembang
Editor’s picks
Dalam kesempatan yang sama, PBB juga mengungkap bahwa konflik yang terus berlanjut telah berdampak pada ekonomi Myanmar. Hal ini memaksa semakin banyak warga di pedesaan untuk mengandalkan penanaman opium sebagai sumber penghasilannya.
Sejak rezim militer berkuasa, perekonomian negara itu telah menurun secara signifikan, dengan mata uang Kyat anjlok terhadap dolar, serta harga pangan dan bahan bakar yang melonjak.
Manajer UNODC di Myanmar, Benedikt Hofmann, memperingatkan produksi opium akan terus berkembang jika stabilitas ekonomi tak kunjung dapat dicapai.
"Tanpa alternatif dan stabilitas ekonomi, penanaman dan produksi opium kemungkinan akan terus berkembang," katanya, dikutip dari Reuters.
3. Area Golden Triangle jadi pusat perdagangan narkoba
Area yang disebut Segitiga Emas atau Golden Triangle, yakni perbatasan Myanmar dengan Laos dan Thailand, telah lama menjadi pusat perdagangan narkoba yang menguntungkan.
Ketidakstabilan politik menjadikan wilayah tersebut longgar terhadap hukum, sehingga eksploitasi oleh produsen dan pengedar narkoba terus bertahan hingga kini.
Laporan PBB menyebut beberapa hal menjadi faktor yang menarik bagi petani opium, seperti penghasilan yang meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, teknik pertanian yang lebih canggih, dan akses pupuk yang lebih mudah.
Berdasarkan perkiraan PBB, nilai opium secara ekonomi di Myanmar berkisar antara 660 juta sampai 2 miliar dollar (sekitar Rp9,8 sampai Rp29,9 triliun), tergantung pada seberapa banyak opium yang dijual, dan diproses menjadi heroin atau obat lain.
"Ini benar-benar di mana nilai (keuntungan) bagi para pedagang. Keuntungan yang sangat tinggi," kata Douglas.
Baca Juga: Kekejaman Junta Myanmar Disokong Perusahaan Barat
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.