Banyak Ahli IT Korut Nyamar Jadi Warga Jepang-Korsel, Ini Imbauan AS
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pejabat Amerika Serikat (AS) telah memperingatkan para pengusaha atau pebisnis agar tidak mempekerjakan staf teknologi informasi (IT) dari Korea Utara. Washington mengatakan bahwa pekerja lepas yang nakal akan mengambil keuntungan dari peluang kerja jarak jauh.
Para pekerja tersebut dapar menyembunyikan identitas asli mereka dan mendapatkan uang untuk pendanaan proyek Korea Utara. Pendanaan proyek yang dimaksud diduga berkaitan dengan proyek senjata nuklir yang ditentang banyak negara.
1. Para ahli IT asal Korea Utara diduga salurkan dana untuk proyek senjata pembunuh masal
Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan lepas diduga disalurkan ke program senjata pemusnahan masal, kata Departemen Keuangan AS.
Institusi tersebut diketahui telah berkoodinasi dengan Departemen Luar Negeri dan FBI dalam mengeluarkan pernyataan tersebut.
"Upaya pekerja teknologi informasi (IT) Republik Demokratik Rakyat Korea untuk mendapatkan pekerjaan sambil menyamar sebagai warga negara non-Korea Utara", demikian peringatan Departemen Keuangan AS pada Senin (16/5/2022), dilansir The Korea Herald.
Lembaga tersebut juga menambahkan pekerja Korea Utara sering menyebut diri mereka sebagai pekerja yang berbasis di AS atau pekerja jarak jauh yang bukan dari Korea Utara.
“DPRK (nama resmi Korea Utara) mengirimkan ribuan pekerja IT yang sangat terampil di seluruh dunia untuk menghasilkan pendapatan yang berkontribusi pada senjata pemusnah massal dan program rudal balistiknya, yang melanggar sanksi AS dan PBB,” tambahnya.
Baca Juga: Demi Denuklirisasi, Korsel Siap Bantu Korea Utara Pulihkan Ekonominya
2. Para ahli IT Korea Utara kerap berpura-pura berasal dari Korea Selatan dan Jepang
Editor’s picks
Para pekerja Korea Utara kerap berpura-pura berasal dari Korea Selatan, Jepang, atau negara-negara Asia lainnya, kata penasihat Departemen Keuangan AS.
Departemen juga menetapkan serangkaian tanda bahaya yang harus diperhatikan oleh pengusaha, termasuk penolakan untuk berpartisipasi dalam panggilan video dan permintaan untuk menerima pembayaran dalam mata uang virtual.
Para pejabat AS mengatakan warga Korea Utara sebagian besar berbasis di China dan Rusia. Ada juga yang beroperasi dari Afrika dan Asia Tenggara. Sebagian besar uang yang mereka peroleh dipercaya diambil oleh pemerintah Korea Utara.
“Pekerja TI ini memanfaatkan tuntutan yang ada untuk keterampilan TI tertentu, seperti pengembangan perangkat lunak dan aplikasi seluler, untuk mendapatkan kontrak kerja lepas dari klien di seluruh dunia, termasuk di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Timur”, tambah penasihat tersebut, dikutip dari The Guardian.
3. Ahli IT Korea Utara diduga sering meretas dan mencuri mata uang digital atau kripto
Pada akhir April 2022, Pemerintah AS juga memperingatkan ancaman keamanan bagi para pengguna atau perusahaan mata uang digital atau kripto.
Dilansir TechCrunch, grup peretas yang didukung negara Korea Utara, yang dikenal sebagai Lazarus Group, menargetkan organisasi di industri blockchain untuk diretas.
Peringatan itu datang hanya beberapa hari setelah pejabat AS mengaitkan Lazarus dengan pencurian senilai 625 dolar AS juta dalam cryptocurrency dari Ronin, sidechain berbasis Ethereum yang dibuat untuk game play-to-earn populer Axie Infinity.
Hasil peretasan tersebut dipercaya digunakan untuk mendanai proyek senjata masal Korea Utara. Di sisi lain, walau kerap dituduh oleh berbagai negara, Pyongyang memang sangat jarang memberikan komentar atau penolakan atas tuduhan tersebut.
Baca Juga: FBI Tuduh Korea Utara Retas Kripto Axie Infinity hingga Rp7 Triliun
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.