Demi Kestabilan Politik, Iran Tutupi Statistik Asli COVID-19

Jumlah kasus asli 2 kali lipat dari yang diberitakan

Tehran, IDN Times -  Hinggat saat ini, Iran menduduki posisi kedua negara di Asia dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi, menjadikannya sebagai negara yang paling terdampak di antara negara-negara Timur Tengah lainnya. Kementerian Kesehatan Iran mencatat hingga 20 Juli kemarin, terdapat 14.405 kematian akibat COVID-19. Namun, sebuah dokumen resmi pemerintah yang dibocorkan kepada stasiun berita BBC mencatat terdapat 42.000 kematian, hampir 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan laporan pemerintah kepada publik. Pemalsuan statistik COVID-19 oleh Iran mengundang sindiran dari WHO selaku organisasi kesehatan global.

Sejak awal kemunculan COVID-19 di Tiongkok, dokter Iran sudah memberikan peringatan kepada pemerintah untuk berjaga-jaga. Daily Mail melansir bahwa seorang dokter anonim memberitahu media bahwa kasus pertama COVID-19 terjadi pada Desember lalu, di Kota Gorgan. Namun, pemerintah menutupi hal tersebut dan baru mengumumkan kasus pertama pada 19 Februari 2020 di Kota Qom. Ketika itu, sudah banyak pasien COVID-19 yang meninggal di Kota Gorgan, namun pihak rumah sakit diminta untuk menutup mulut.

1. Hanya 40 persen masyarakat yang terapkan penjarakan sosial

Demi Kestabilan Politik, Iran Tutupi Statistik Asli COVID-19Potret tenaga medis di Iran yang berjuang mengobati pasien COVID-19 yang terus bertambah setiap harinya. Twitter.com/WHOEMRO.

Penlonjakan jumlah kasus dimulai ketika pemerintah mulai melonggarkan kebijakan pembatasan sosial. Terhitung sejak 20 April lalu, berbagai tempat umum mulai dibuka kembali, begitu juga dengan perjalanan antar provinsi yang mulai diperbolehkan. Survei Kementerian Kesehatan pada bulan Juni menunjukkan bahwa sejak pelonggaran dilakukan, hanya 40 persen dari masyarakat yang masih mengikuti aturan social distancing, turun dari 90 persen ketika awal pandemi. "Masyarakat mulai benar-benar tidak peduli dengan penyakit ini", sebut Mohammad Mehdi Gouya selaku Kepala Ahli Epidemiologi Kementerian Kesehatan Iran. Menurutnya, angka COVID-19 juga cepat meningkat sebab pemerintah mulai mengidentifikasi masyarakat yang terinfeksi dengan gejala ringan maupun yang tanpa gejala.

Menanggapi perilaku masyarakat yang apatis, Presiden Hassan Rouhani segera mewajibkan penggunaan masker di tempat umum maupun di tempat ramai. Jika melanggar, polisi dan pihak keamanan akan dilibatkan untuk menegakkan aturan ini. Stasiun berita BBC juga melaporkan bahwa Tehran, ibu kota Iran, mulai menerapkan kembali pembatasan sosial. Terhitung sejak 18 Juli, pemerintah kota mulai menutup kantor, berbagai bisnis, tempat hiburan, dan melarang kegiatan yang melibatkan orang banyak.

2. Data asli tunjukkan jumlah kasus 2 kali lebih banyak dibandingkan publikasi pemerintah

Demi Kestabilan Politik, Iran Tutupi Statistik Asli COVID-19Iraj Harirchi (kiri), Wakil Menteri Kesehatan Iran yang dinyatakan positif COVID-19 pada Februari lalu. Sumber: EPA/EFE.

Dokumen berisi statistik asli COVID-19 ini dikirimkan oleh anonim kepada BBC. Tidak hanya mencatat jumlah kasus, dokumen tersebut juga berisikan penerimaan harian ke rumah sakit di seluruh Iran, termasuk nama, usia, jenis kelamin, gejala, kondisi mendasar yang dimiliki pasien, juga tanggal dan lama periode yang dihabiskan di rumah sakit. Aksi pembocoran ini bertujuan agar dunia mengetahui apa yang terjadi dan agar 'permainan politik' di tengah wabah segera berakhir.

BBC mengkonfirmasi bahwa dokumen ini dapat dipercaya. Setelah melakukan investigasi, perbedaan antara angka resmi dan jumlah kematian pada dokumen cocok dengan perbedaan antara angka resmi dan perhitungan kelebihan kematian hingga pertengahan Juni lalu.

Secara umum, perbedaan yang terdapat pada dokumen tersebut adalah sebagai berikut:

  • Publikasi pemerintah mencatat 278.827 orang terinfeksi, sedangkan catatan dokumen menunjukkan 451.024 orang terinfeksi
  • Publikasi pemerintah mencatat 14.405 pasien COVID-19 meninggal per 20 Juli, sedangkan catatan dokumen menunjukkan angka 42.000
  • Terdapat 52 kematian dengan gejala COVID-19 ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama pada 19 Februari 2020.

3. Tutupi angka demi kestabilan politik

Demi Kestabilan Politik, Iran Tutupi Statistik Asli COVID-19Kampanye di Iran yang menjadi salah satu faktor pemerintah tutupi statistik kasus COVID-19. Sumber: Al Jazeera Net.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, anonim yang membocorkan statistik asli ini berharap agar tindakannya dapat segera mengakhiri 'permainan politik' di tengah pandemi. Tindakan pemerintah untuk menutupi angka asli disebabkan oleh berbagai krisis politik di Iran.

Awal kemunculan COVID-19 bertepatan dengan pemilihan parlemen. Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran menuduh beberapa pihak ingin menggunakan alibi COVID-19 untuk merusak pemilihan sehingga pemalsuan angka pun dilakukan. Selain itu, pemilihan parlemen merupakan peluang besar bagi Republik Islam untuk mengambil dukungan rakyat, sehingga mereka tidak ingin merusak kesempatan karena berita COVID-19.

Selain alasan dalam negeri, Iran juga sedang menerima sanksi dari AS yang memukul berat perekonomiannya. Dalam sebuah pernyataan,mantan anggota parlemen, Nouroldin Pirmoazzen mengatakan bahwa dengan segala krisis yang terjadi, pemerintah takut menerima kenyataan COVID-19 menyerang Iran. "Pemerintah takut masyarakat miskin dan pengangguran akan turun ke jalan", sebutnya kepada BBC.

Menanggapi isu kepalsuan statistik ini, Kementerian Kesehatan Iran mengatakan kepada WHO bahwa semua data yang diberikan sangatlah transparan dan jauh dari penyimpangan.

Baca Juga: [UPDATE] Iran Cetak Rekor Baru Kematian Akibat COVID-19

Aviliani Vini Photo Verified Writer Aviliani Vini

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya