Keluarkan RUU Sosial Media, Turki Dikecam Aktivis HAM dan PBB

RUU ini menyensor postingan yang mengkritik pemerintah

Ankara, IDN Times - Parlemen Turki menyetujui RUU baru yang mengatur sosial media pada Rabu (29/07) kemarin. RUU kontroversial ini memberikan otoritas kepada pemerintah untuk melakukan sensor terhadap berbagai postingan yang dinggap menyesatkan dan melanggar privasi. Selain itu, pemerintah Turki juga mewajibkan platform sosial media besar seperti untuk merekrut representatif dari Turki untuk menangani keluhan konten pada platform mereka. Jika menolak, pemerintah akan bertindak tergas dengan memberikan sanksi tertentu.

Berbagai pihak mengecam penyetujuan parlemen akan undang undang ini. Banyak orang beranggapan bahwa alasan asli mengapa undang undang ini dibuat adalah untuk meredam kritik, protes, dan pendapat buruk terhadap pemerintah yang dilontarkan masyarakat melalui sosial media. Menanggapi hal ini, salah satu anggota parlemen partai yang berkuasa, Rumesya Kadak, memberikan komentar. Dilansir dari AP News, ia mengatakan bahwa undang undang ini dibuat untuk menghapus postingan yang merujuk kepada cyberbullying dan penghinaan terhadap perempuan.

1. Undang undang yang membungkam kritik terhadap pemerintah

Keluarkan RUU Sosial Media, Turki Dikecam Aktivis HAM dan PBBTampak dalam ruangan dimana Majelis Umum Nasional Agung Turki biasa mengadakan rapat. Sumber: DHA Photo.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemerintah Turki mewajibkan jejaring platorm sosial media yang dikunjungi lebih dari 1 juta kunjungan per harinya untuk merekrut representatif dari Turki. Perwakilan lokal ini nantinya akan bertugas untuk meyampaikan permohonan penghapusan konten yang melanggar privasi dan hak pribadi dalam waktu 48 jam. Jika tidak merekrut representatif lokal, maka pemerintah akan memberikan sanksi seperti denda, larangan iklan, dan memerintahkan pengadilan untuk membelah bandwith (jaringan yang digunakan untuk mengakses sosial media) menjadi dua atau memotongnya. Selain itu, RUU ini juga mewajibkan penyimpanan data pengguna sosial media dengan sever Turki di negara tersebut.

Persetujuan RUU ini membuat platform besar seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Snapchat harus memutuskan apakah akan tunduk dengan aturan ini atau tidak. Hingga saat ini, Facebook dan Snapchat menolak untuk memberikan komentar, sementara Twitter tidak merespons permintaan wartawan untuk memberikan tanggapan lebih lanjut.

Kritikus hukum menyayangkan disetujuinya RUU ini oleh parlemen. Undang undang yang memperbolehkan penyimpanan informasi pengguna ini menimbulkan kekhawatiran privasi dan melanggar hak untuk berpendapat. CNN melaporkan bahwa hingga akhir tahun 2019, sudah ada 408.000 website yang diblokir oleh pemerintah. Selain itu, berdasarkan informasi dari Ozgurlugu Platformu, pengawas kebebasan berinternet Turki, sebanyak 7.000 akun twitter, 40.000 tweet, 10.000 video Youtube dan 6.200 konten Facebook diblokir pemerintah. Segala konten yang diblokir ini berkaitan dengan pendapat masyarakat yang menyangkut COVID-19, penentangan serangan militer Turki di luar negeri, dan hinaan terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan maupun pejabat lainnya.

2. Dikecam aktivis HAM dan PBB

Keluarkan RUU Sosial Media, Turki Dikecam Aktivis HAM dan PBBCuitan Ismail Cesur selaku penasihat presiden yang mengatakan bahwa RUU ini bertujuan baik dan untuk melindungi masyarakat Turki. Twitter.com/icesur.

Masyarakat setempat sendiri memiliki pandangan yang beragam mengenai persetujuan RUU ini. Sebuah survei yang dilakukan oleh Metropoll pada bulan Juli menunjukkan bahwa 49.6% responden tidak menyetujui hal ini, sedangkan 40,8% sisanya menyetujui dan akan mendukung undang undang baru ini. "Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Sensor akan diberlakukan secara otomatis, dan ini merupakan hal yang paling buruk. Setiap orang tidak dapat mengekspresikan pikiran dan pendapatnya secara bebas", ucap Calis, pengguna sosial media setempat.

Aktivis HAM juga menyuarakan keresahan mereka terhadap tindakan parlemen Turki. "Tindakan ini akan berdampak buruk pada pengguna sosial media di Turki. Mereka akan takut untuk menggunakan platform tersebut karena otoritas Turki akan mengakses informasi pengguna", ucap Yaman Akdeniz, pengacara dan aktivis dunia maya.

Tidak hanya Akdeniz, Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia juga menentang dan menganggap RUU ini kejam. "Jika amandemen ini disetujui, maka kuasa pemerintah untuk menyensor konten online dan menuntut pengguna sosial media", ucap Andrew Gardner, perwakilan Amnesti Internasional. Ia juga menambahkan bahwa hal ini jelas melanggar kebebasan berpendapat dan bertentangan dengan HAM internasional.

Menanggapi banyak pihak yang tidak setuju, pemerintah mengatakan bahwa RUU ini berguna untuk melindungi 55 juta pengguna sosial media di Turki. Ismail Cesur selaku penasihat presiden mencoba meluruskan hal ini melalui cuitannya di Twitter. "RUU itu disiapkan dengan pendekatan inovatif untuk melindungi pengguna, bukan untuk membatasi mereka," tulisnya pada Selasa (29/07) kemarin.

3. Terinspirasi dari Jerman

Keluarkan RUU Sosial Media, Turki Dikecam Aktivis HAM dan PBBIlustrasi sosial media. Pexels/Tracy Le Blanc.

Sebelum Turki, Jerman pernah mengeluarkan undang undang sejenis pada tahun 2018 yang juga menuai kecaman berbagai pihak. "Kami mecontoh Jerman yang mengeluarkan Germany's Network Enforcement Act untuk memberantas kebencian online", sebut anggota partai yang berkuasa. "Kami ingin memastikan kebebasan berpendapat sekaligus memerangi disinformasi dan melindungi privasi dan data, sehingga dibuatlah RUU ini", tambahnya.

Mendengar pembelaan pemerintah, Akdeniz memperingatkan bahwa iklim politik dan kebebasan berbicara Turki sangatlah berbeda dengan Jerman. Maka dari itu, menurutnya, melihat Jerman sebagai contoh bukanlah hal yang tepat

RUU ini diajukan oleh partai yang berkuasa seperti Justice and Development  dan National Movement Party. Walaupun baru dapat berlaku jika Presiden Recep Tayyip Erdogan memberikan persetujuan, banyak pihak menganggap hal ini hanyalah formalitas belaka. Sebelum RUU ini diajukan, presiden sudah mendukung gerakan yang bergerak di bidang sosial media ini. Dilansir dari Aljazeera, parlemen sendiri akan memberikan waktu bagi para platform sosial media hingga bulan Oktober untuk mematuhi peraturan baru ini.

Baca Juga: Presiden Turki Erdogan Ikut Salat Jumat Perdana di Hagia Sophia

Aviliani Vini Photo Verified Writer Aviliani Vini

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya