Guatemala Larang LGBT+ dan Tambah Hukuman bagi Pelaku Aborsi

Melarang adanya unsur LGBT+ di sekolah

Jakarta, IDN Times - Parlemen Guatemala pada Selasa (8/3/2022) menyetujui untuk menambah hukuman bagi pelaku aborsi dengan alasan apa pun. Tak hanya itu saja, parlemen juga menyetujui untuk melarang seluruh bentuk LGBT+ di Guatemala, dilansir The Guardian.

Keputusan anggota parlemen Guatemala ini berbanding terbalik dengan sejumlah negara Amerika Latin lainnya. Pasalnya, beberapa negara Amerika Latin, seperti Argentina, Meksiko, dan Kolombia setuju untuk melegalkan aborsi dengan sejumlah alasan. 

Berdasarkan hasil pemungutan suara di parlemen menunjukkan sekitar 101 anggota parlemen setuju pengesahan undang-undang ini. Sedangkan hanya delapan orang yang menolak dan terdapat 51 anggota yang tidak hadir. 

Baca Juga: Guatemala Resmi Hukum Eks Militer Penyiksa Warga Pribumi

1. Pelaku aborsi terancam mendapat hukuman hingga 25 tahun penjara

Melalui hukum baru ini, maka perempuan yang ketahuan melakukan aborsi dengan alasan apapun terancam mendapatkan hukuman sampai 25 tahun penjara. Padahal, sebelumnya hukuman bagi pelaku aborsi hanya mencapai lima hingga 10 tahun, kecuali jika mengancam nyawa ibunya. 

Sesuai dengan hukum ini, maka tidak diperbolehkan adanya pernikahan sesama jenis di Guatemala. Bahkan, ajaran terkait keberagaman orientasi seksual dan ideologi gender selain heteroseksual tidak boleh ada di sekolah bagi anak-anak dan remaja. 

Sedangkan hukum ini didasarkan pada undang-undang yang diajukan oleh Partai Viva dengan dalih untuk melindungi kehidupan dan keluarga pada 2018 silam. Tak disangka, hukum ini disetujui oleh mayoritas anggota parlemen yang dikenal sebagai sekutu Presiden Alejandro Giammattei, dilaporkan Reuters

Baca Juga: Presiden Guatemala: Hukuman Berat Bagi Penyelundup Migran

2. Pengesahan tinggal menunggu keputusan dari Giammattei

Guatemala Larang LGBT+ dan Tambah Hukuman bagi Pelaku AborsiPresiden Guatemala Alejandro Giammattei saat berpidato. (twitter.com/DrGiammattei)

Dikutip dari BBC, setelah disetujui oleh mayoritas anggota parlemen, kini hanya tinggal Presiden Alejandro Giammattei untuk menandangtangani peresmian undang-undang tersebut. Namun, masih belum diketahui apakah Giammattei akan menyetujuinya atau tidak, tapi anggota partainya mendukung penuh kebijakan tersebut. 

Menurut tanggapan dari salah satu anggota parlemen bernama Patricia Sandoval mengatakan bahwa kebijakan ini bisa menunjukkan konsep keluarga yang kita pahami selama ini antara perempuan dan laki-laki. 

Di sisi lain, seorang anggota legislatif yang menolak disahkannya hukum baru benrama Vicenta Geronimo menyebut jika ini termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini juga berdampak besar terhadap perempuan di pedesaan yang tidak memiliki akses ke infrastruktur kesehatan dari pemerintah. 

Baca Juga: Presiden Guatemala Tolak Tudingan Korupsi dari Media NYT

3. Pihak Ombudsman menyebut ini bentuk pelanggaran HAM

Sementara itu, Ombudsman HAM, Jordan Rodas mengungkapkan jika hukum ini telah melanggar konvensi internasional yang ditandatangani oleh Guatemala. Bahkan, ia menyebut apabila ini dideklarasikan secara ilegal oleh Pengadilan Konstitusi. 

"Kami akan mengumpulkan dokumen untuk mengajukan banding atas tindakan tidak konstitusional ini, sehingga hukum ini tidak akan memberikan efek besar terhadap masyarakat di Guatemala" tutur Rodas. 

Pengesahan ini diresmikan tepat pada perayaan Hari Perempuan Internasional dan membuat puluhan ribu orang turun ke jalan memrotes undang-undang tersebut. Mereka juga mendesak pemerintah untuk memberikan hak lebih, terutama bagi perempuan yang hendak melakukan aborsi, dikutip France24

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya