Krisis Keamanan di Ukraina, Kherson Tunda Referendum Gabung Rusia

Ukraina ancam hukum warganya yang ikut referendum

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Kherson, Ukraina di bawah pemerintahan Rusia pada Senin (5/9/2022) memutuskan menunda pelaksanaan referendum. Keputusan ini mengacu pada kondisi keamanan di area tersebut, yang kurang mendukung akibat masih berkecamuknya peperangan.

Pada awal Agustus, pemimpin Zaporizhzhia, Yevgeny Balitsky sudah mengumumkan rencana mengadakan referendum dalam waktu dekat. Bahkan, ia mengungkapkan keinginannya agar wilayah yang dipimpinnya bergabung dengan Federasi Rusia dalam acara bertajuk 'We Are Together with Russia'. 

1. Stremousov siap menyelenggarakan referendum di Kherson

Keterangan di atas diungkapkan oleh perwakilan kepala militer Kherson, Kirill Stremousov. Ia mengatakan bahwa wilayah yang dipimpinnya sebenarnya sudah siap menyelenggarakan referendum untuk bergabung dengan Rusia. 

"Kami sudah mempersiapkan pemungutan suara. Kami ingin menyelenggarakan referendum dalam waktu dekat. Namun, karena keadaan saat ini, saya rasa kami harus menunda sementara waktu," tutur Stremousov, dikutip TASS.

"Ini sepertinya sudah jelas dari pandangan praktiknya. Kami tidak terburu-buru dan sedang memfokuskan diri pada tugas utama kami, yakni memberi makan warga, memastikan keamanan di wilayah ini," tambahnya. 

Baca Juga: Zelenskyy: Pasukan Ukraina Berhasil Rebut 2 Kota dari Rusia

2. Terjadi rentetan pembunuhan kepada pemimpin antek Rusia di Ukraina

Hampir seluruh wilayah Kherson di Ukraina sudah dikuasai sepenuhnya oleh Rusia sejak Maret lalu. Sementara, Kota Kherson diketahui menjadi satu-satunya ibu kota provinsi yang berhasil direbut oleh pasukan Rusia sejak invasi pecah pada 24 Februari. 

Sementara itu, wilayah di Ukraina yang diduduki Rusia, meliputi Kherson, Kharkov, Zaporizhzhia, Donetsk, dan Luhansk sudah merencanakan referendum pada September. Rencana itu dilaksanakan bersamaan dengan pemilu daerah di Rusia. 

Akan tetapi, situasi di wilayah Ukraina yang direbut Rusia tengah dirundung masalah keamanan dalam beberapa bulan terakhir. Sebab, ada rentetan kasus pembunuhan kepada pemimpin antek Rusia di wilayah tersebut, dilaporkan Reuters.

Pada 30 Agustus lalu, Alexei Kovalev yang memimpin Kherson di bawah administrasi Rusia ditembak mati oleh orang tak dikenal. Padahal, Kovalev dikenal sebagai mantan anggota parlemen dari partai yang dipimpin Presiden Volodymyr Zelenskyy.

3. Warga yang ikut dalam referendum terancam hukuman 12 tahun penjara

Wakil Perdana Menteri Ukraina, Iryna Vereshchuk, pada Sabtu (2/9/2022) menegaskan bahwa warga Ukraina akan dikenakan hukuman apabila mereka berpartisipasi dalam referendum untuk bergabung dengan Rusia. 

"Tidak ada dan tidak akan pernah ada referendum di teritori Ukraina. Ini semua adalah lelucon dan sirkus. Namun, untuk semua penduduk kami yang ingin ikut dalam acara tersebut, maka akan mendapatkan hukuman hingga 12 tahun penjara dan penyitaan properti," paparnya, dilansir RT.

Menanggapi komentar tersebut, Stremousov menegaskan bahwa ancaman dari Ukraina bukanlah masalah baginya. Bahkan, ia mengungkapkan pihaknya tidak takut dengan pernyataan Vereshchuk. 

"Saya ingin mengatakan kepada Iryna Vereshchuk bahwa Anda tidak punya hak apa pun kepada Kherson. Ini adalah teritori yang dibebaskan dan apa yang Anda lakukan dan ancaman itu hanyalah tangisan yang tak berarti," ungkap Stremousov. 

"Kami tidak takut. Kherson akan selalu menjadi bagian dari Rusia. Warga sudah ingin segera ikut dalam referendum untuk menjadi bagian sepenuhnya dari negara besar yang dapat melindungi mereka," tambahnya. 

Baca Juga: Ukraina Ajak Jerman Barter Tank dengan Pasokan Listrik

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya