Moldova Tuduh Rusia Lancarkan Perang Hybrid di Negaranya

Nasib Moldova tergantung pada Ukraina

Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Moldova Natalia Gavrilița, pada Selasa (7/2/2023), menuduh Rusia telah melakukan perang hybrid di negaranya. Komentar itu disampaikan ketika ia menghadiri pertemuan Uni Eropa-Moldova yang berlangsung di Brussels. 

Usai perang Rusia-Ukraina pecah, Moldova yang pro-Barat terus mendapat tekanan dari Rusia. Bahkan, Moskow terus mengintimidasi dan mengancam memutus pasokan gas alam ke Moldova. Terdapat pula isu bahwa Rusia merencanakan kudeta di negara Eropa Timur tersebut. 

1. Gavrilita ungkapkan perang hybrid dari Rusia

Gavrilita mengungkapkan bahwa Rusia berusaha merusak stabilitas Moldova dengan berbagai serangan siber dan mendukung demonstrasi besar. Ia menyebut bahwa aksi itu menjadi bagian dari perang hybrid yang dilancarkan Moskow. 

"Kita sekarang melihat elemen perang hybrid. Kami sedang melihatnya, contohnya, pasukan pro-Rusia berusaha merusak stabilitas politik di Moldova lewat rentetan protes bayaran dari seorang oligarki yang saat ini melarikan diri karena terlibat kasus korupsi," tutur Gavrilita, dilansir Euronews.

"Kami melihat rentetan serangan siber. Kami sudah melihat serangan siber terbesar dalam sejarah negara kami pada 2022. Kami juga melihat adanya rentetan ancaman bom di seluruh negeri," terangnya. 

"Situasi di Moldova tergantung pada evolusi perang di Ukraina. Kami melihat keberanian rakyat Ukraina yang sangat tangguh dan rela berperang untuk mempertahankan keamanan, tidak hanya negaranya tapi juga keamanan Moldova dan Eropa" tambah dia. 

Baca Juga: Intelijen: Rusia Akan Menginvasi Moldova pada Awal 2023

2. Moldova dalam situasi yang sangat riskan

Gavrilita menambahkan, Moldova berada dalam situasi yang riskan di tengah perang Rusia-Ukraina. Ia menyebut Rusia mengeksploitasi ketergantungan ekonomi dan energi Moldova. Ini karena negara pecahan Uni Soviet tersebut memenuhi kebutuhan gasnya dari Rusia. 

"Kami memprediksi pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 5 persen pada 2022, tapi kita justru mengalami kontraksi 5,5 persen tahun lalu. Kami mengalami inflasi besar karena naiknya harga gas hingga tujuh kali lipat," papar Gavrilita. 

"Meskipun kita punya program bantuan sosial, tapi tunggakan warga terus naik drastis dan warga kesulitan memunuhi kebutuhan hidup," tambah dia.

Ia pun menekankan, Transnistria menjadi tempat yang paling dikhawatirkan di tengah pecahnya perang di Ukraina. Meski situasi di wilayah kekuasaan separatis pro-Rusia itu masih stabil, tapi tetap keadaan tetap rawan. 

3. Lavrov peringatkan nasib Moldova bisa seperti Ukraina

Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, nasib Moldova bisa menjadi seperti Ukraina. Ia pun menyebut Moldova telah diatur oleh Barat untuk menjadi objek anti-Rusia setelah Ukraina. 

"Sekarang mereka menguasai Moldova untuk memberikan peran ini, terutama karena mereka bisa menempatkan presiden di negara itu dan ingin bergabung dengan NATO. Dia (Sandu) memiliki warga negara Rumania dan ia siap bersatu dengan Rumania dan siap dengan segalanya," tutur Lavrov, dikutip TASS.

"Format ini dipandang tidak cocok oleh Barat karena Moldova sebelumnya ingin menjaga integritas teritorial dan kesepakatan dengan Transnistria. Namun, sekarang administrasi berubah dan ingin menyelesaikan masalah Transnistria dengan paksa dan mengusir pasukan penjaga perdamaian Rusia yang menjaga depot amunisi di Kolbasna," tambah Lavrov.

Pernyataan itu disampaikan Lavrov karena menuding bahwa Moldova yang dipimpin Maia Sandu bersama Barat menolak kelanjutan format 5+1. Format tersebut diketahui meliputi kesepakatan antara Moldova, Transnistria, Rusia, AS, OSCE, dan PBB. 

Baca Juga: Presiden Moldova: Kami Ingin Gabung Aliansi Besar, NATO?

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya