Polisi-Dokter di Filipina Palsukan Sertifikat Kematian War on Drugs

Tuduhan sedang diselidiki oleh Kementerian Hukum Filipina

Jakarta, IDN Times - Kementerian Hukum Filipina pada Selasa (12/4/2022) membuka penyelidikan terkait dugaan pemalsuan sertifikat kematian korban kebijakan war on drugs. Hal ini sesuai keterangan dari pakar forensik patologi yang menyebut kematiannya berbeda dari yang sebenarnya. 

Sejak terpilih sebagai pemimpin Filipina pada 2016, Presiden Rodrigo Duterte menerapkan kebijakan war on drugs yang mengakibatkan sekitar 12 ribu orang tewas. Mayoritas korban tewas merupakan warga miskin perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh dan diduga seorang bandar narkoba. 

Human Right Watch (HRW) menemukan bahwa polisi melakukan pemalsuan bukti terkait aksi yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) ini. Bahkan, meski mendapat kecaman dari dunia internasional, Duterte terus berjanji melanjutkan kampanyenya. 

1. Tujuh korban memiliki sertifikat kematian yang berbeda dari faktanya

Penemuan dari pakar forensik patologi, Raquel Fortun, mengindikasikan adanya tujuh dari 46 jasad yang diotopsi terdapat bekas lubang peluru di tubuhnya. Padahal, dalam sertifikat kematiannya disebutkan bahwa mereka meninggal dunia karena penyakit tertentu, seperti pneumonia, sepsis, dan hipertensi. 

Di samping itu, pihak keluarga korban juga bersikukuh jika kematian anggota keluarganya itu bukan diakibatkan oleh penyakit tertentu, tapi disebabkan kasus kekerasan. Penemuan ini menjadi bukti baru dari kasus kekerasan selama kepemimpinan Duterte di Filipina. 

Selain itu, Fortun juga mengungkapkan bagaimana ketidakjelasan dan carut marutnya otoritas setempat dalam mengurus para korban war on drugs ini. Bahkan, pengurus jenazah dan dokter diduga terlibat dalam membantu menutupi tindak kekerasan ini. 

"Kamu punya dokter yang berani mempertaruhkan reputasinya, namanya, lisensinya dengan memalsukan sertifikat kematian. Ada hukum di balik aksi ini. Bukan tidak mungkin mereka ikut berkolaborasi dalam kasus pembunuhan massal ini?" tutur Fortun, dilansir Vice News

Baca Juga: Banjir Filipina, KBRI Manila: Tak Ada Korban WNI 

2. Diperkirakan korban tewas dalam war on drugs jauh lebih tinggi dari yang tercatat

Fortun diketahui sudah melakukan penyelidikan terkait kematian para korban peperangan narkoba sejak Juli lalu. Sedangkan, para korban yang diteliti adalah 46 individu yang tewas di tahun awal dilangsungkannya operasi war on drugs oleh Duterte. 

Dilansir Reuters, dari 46 korban, salah satu sertifikat milik korban diketahui hilang dan banyak di antaranya yang tidak lengkap. Sesuai analisis Fortun, 32 jasad korban yang diinvestigasi itu memiliki bekas luka tembakan dan setidaknya 24 di antaranya ditembak di kepala. 

Hal ini diperparah dengan korban yang mayoritas merupakan masyarakat miskin, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan banding di ranah hukum. Selain itu, kolega korban juga kerap menyebut kematian keluarganya karena penyakit, demi memotong biaya atau agar dapat dengan mudah memakamkan keluarganya. 

Maka dari itu, kemungkinan masih banyak kasus kematian akibat peperangan narkoba yang tidak terregistrasi dan sejumlah pihak lain, seperti pengurus jenazah dan pekerja klinik diduga bekerja sama dengan polisi untuk memanipulasi kematian korban war on drugs di Filipina. 

3. Penemuan ini dapat menjadi senjata untuk melawan Duterte

Polisi-Dokter di Filipina Palsukan Sertifikat Kematian War on DrugsPresiden Filipina, Rodrigo Duterte (ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Wisnu Widiantoro)

Penemuan ini dapat menantang narasi dari pemerintahan Duterte terkait war on drugs, yang dianggap sebagai cara terbaik dalam melawan narkoba. Pasalnya, Duterte juga dituduh memperburuk kasus kekerasan dan memperbolehkan polisi membunuh terduga bandar narkoba yang tak bersenjata dalam operasi berskala besar. 

Kendati demikian, polisi selalu mengelak dan Duterte menyebut polisi tidak diperintahkan untuk membunuh terduga pelaku pengedar narkoba. Polisi hanya diperbolehkan menembak apabila mereka dalam kondisi bahaya dan mengancam nyawanya. 

Dilaporkan The Diplomat, pada Januari lalu, Duterte juga mengungkapkan bahwa ia tidak akan pernah meminta maaf kepada para korban terduga pengedar maupun pengguna narkoba yang tewas dalam enam tahun terakhir. 

Pada kesempatan itu, ia juga mengungkapkan bahwa ia berjanji untuk melindungi aparat penegak hukum yang menjalankan tugasnya, dan menyebut mereka punya hak untuk melawan balik apabila nyawanya terancam. 

"Saya tidak akan pernah meminta maaf kepada orang yang tewas karena terlibat dalam pengedaran maupun penggunaan narkoba. Bunuh saya, penjarakan saya. Saya tidak akan pernah meminta maaf," ungkap Duterte. 

Baca Juga: Duterte Tidak Akan Minta Maaf atas Setiap Kematian Bandar Narkoba

Brahm Photo Verified Writer Brahm

-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya