Semakin Mengkhawatirkan, Kenaikan Suhu Hancurkan Ekosistem Bawah Air

Ancam kehidupan laut dan datangkan bencana
Queensland, IDN Times - Setiap waktu yang berlalu, dampak perubahan iklim semakin menunjukkan kondisi nyata yang sangat mencekam tidak hanya di daratan tetapi juga di lautan. Pada Rabu kemarin (14/10), peringatan kembali disampaikan oleh para ilmuwan terkait kondisi hancurnya ekosistem bawah laut, setelah setengah dari terumbu di Great Barrier Reef -sistem terumbu karang terbesar di dunia- yang terletak di Queensland, Australia, dilaporkan telah mati dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. 
 
 Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Proceedings of the Royal Society Journal menemukan tingkat penurunan yang mengkhawatirkan di semua ukuran karang sejak pertengahan 1990-an di lepas pantai timur laut Australia.
 
Terumbu karang luas tersebut, terdaftar sebagai Warisan Dunia di mana berbagai spesies karang yang berada di sana, telah terkena dampak paling parah dan hampir menghilang dari ujung terumbu di bagian utara, lapor AFP
 
Kenaikan suhu laut terdalam pun disebut menjadi semakin cepat melebihi apa yang diperkirakan sebelumnya. Kondisi itu tidak hanya dapat membuat ekosistem laut mengalami kerusakan permanen, tetapi juga dapat memicu cuaca sangat ekstrem yang mendatangkan bencana. 

1. Suhu laut yang naik dan kian memanas

Semakin Mengkhawatirkan, Kenaikan Suhu Hancurkan Ekosistem Bawah AirFoto laut Atlantik. Sumber: Unsplash.com/Ilyuza Mingazova
Melansir dari The Guardian, menurut penelitian yang dilakukan selama satu dekade dengan pengukuran setiap jam, kondisi peningkatan suhu laut yang memanas terjadi bahkan di tempat yang gelap gulita seperti dasar laut. 
 
Berdasarkan catatan yang dilakukan di empat kedalaman berbeda di Samudra Atlantik, antara 2009 dan 2019 air di kedalaman itu menjadi hangat sekitar 0,02-0,04°C. Perubahan yang mungkin kecil, tetapi signifikan.
 
 “Jika Anda berpikir tentang seberapa besar lautan dalam, itu adalah panas yang sangat besar,” kata Christopher Meinen, ahli kelautan di US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan penulis utama studi yang diterbitkan dalam jurnal Geophysical Research Letters. 
 
Sekitar 90% panas yang diserap bumi masuk ke lautan. Meskipun memanas perlahan, panas membuat molekul air mengembang, berkontribusi pada kenaikan permukaan laut dan meningkatkan badai. Meinen mengeluarkan pendapat pribadinya bahwa temuan ini sejalan dengan perubahan iklim yang tengah terjadi akibat manusia. Namun, penelitian lebih lanjut tetap diperlukan karena kondisi di laut hingga kini belum dipelajari sebanyak atmosfer bumi. 
 
"Kami tidak menyangka Anda akan melihat variasi dari jam ke jam dan hari ke hari sedalam itu," kata Meinen. “Ada proses di dalam laut yang membuat banyak hal berubah dengan cepat dan kami belum benar-benar tahu proses apa itu.”

Baca Juga: 7 Satwa Liar Penghuni Antarktika, Ekosistem Terdingin di Dunia 

2. Nasib hewan laut bila kenaikan suhu terus meningkat

Semakin Mengkhawatirkan, Kenaikan Suhu Hancurkan Ekosistem Bawah AirFoto di lokasi Great Barrier Reef, Australia. Sumber: Unsplash.com/Giorgia Doglioni
Berdasarkan laporan dari Oceanographic Magazine, peningkatan suhu laut karena perubahan iklim tidak hanya dapat merugikan kondisi di daratan, tetapi tentunya hewan-hewan di laut. Para ilmuwan dari University of Washington pun mencoba memberikan prediksinya dengan melakukan eksperimen yang menunjukkan bahwa, meskipun banyak yang secara teoritis dapat mentolerir suhu yang jauh lebih tinggi, tetapi itu tidak dapat memastikan hewan laut tetap mampu mempertahankan wilayah jelajahnya ketika nanti lautan menjadi lebih hangat.
 
"Temperatur saja tidak menjelaskan di mana di lautan hewan dapat hidup,” kata Curtis Deutsch, profesor oseanografi di  Washington.  “Anda harus mempertimbangkan oksigen: Berapa banyak yang ada di dalam air, seberapa baik organisme dapat mengambil dan memanfaatkannya, serta bagaimana suhu mempengaruhi proses ini.”
 
Penelitian baru yang dipimpin oleh Deutsch menunjukkan bahwa berbagai macam hewan laut - dari vertebrata, krustasea hingga moluska - sudah menghuni kisaran maksimum lautan untuk bernapas yang dimungkinkan oleh fisiologi mereka. Ini berarti bahwa saat suhu samudra meningkat, spesies tertentu pun akan kehilangan 'oksigennya' di masa depan. 
 
 “Organisme saat ini pada dasarnya hidup sampai suhu terhangat yang akan memasok oksigen yang cukup untuk tingkat aktivitas mereka - jadi suhu yang lebih tinggi akan segera mempengaruhi kemampuan mereka untuk mendapatkan oksigen yang cukup,” kata Deutsch. “Menanggapi pemanasan, tingkat aktivitas mereka akan dibatasi atau habitat mereka akan mulai menyusut."
 
Tingkat dan suhu oksigen bervariasi di seluruh perairan laut. Umumnya, air di dekat khatulistiwa lebih hangat dan mengandung lebih sedikit oksigen dibandingkan perairan dingin di dekat kutub. Namun berpindah dari permukaan laut ke perairan yang lebih dalam, oksigen dan suhu turun secara bersamaan.
 
Temperatur laut memengaruhi seberapa banyak oksigen yang dapat ditampung air laut dan yang dibutuhkan hewan untuk mempertahankan kebiasaan aktivitasnya. Penelitian lalu menunjukkan bahwa kenaikan suhu jangka panjang kemungkinan justru akan membatasi kisaran tersebut.
 

3. Lautan semakin kehilangan terumbu karang

Semakin Mengkhawatirkan, Kenaikan Suhu Hancurkan Ekosistem Bawah AirFoto Great Barrier Reef di Queensland, Australia. Unsplash.com/Daniel Pelaez Duque
Sementara itu, kondisi parah semakin terjadi pada terumbu karang luas di lepas pantai timur laut Australia. Ilmuwan juga melaporkan bahwa setengah dari Terumbu Karang "Great Barrier Reef" telah mati dalam 25 tahun terakhir. 
 
"Kehilangan karang tiga dimensi besar, mengubah ekosistem yang lebih luas." kata  profesor Terry Hughes dari James Cook University, kepada AFP.
 
Terumbu karang tersebut sangat berharga bagi alam dan lingkungannya. Selain tercatat sebagai Warisan Dunia, terumbu sepanjang 2.300 kilometer (1.400 mil) itu juga bernilai sekitar $4 miliar per tahun dalam pendapatan pariwisata Australia, sebelum pandemi menyerang. 
 
Perubahan suhu laut  telah menekan kondisi karang yang sehat dan menyebabkan mereka mengeluarkan alga yang hidup di jaringannya, sehingga warna cerah mereka mengering dalam proses yang disebut sebagai 'pemutihan'.
 
Pemutihan massal pertama kali terlihat di terumbu karang pada tahun 1998, saat suhu menjadi yang terpanas dalam catatan. Namun karena suhu terus meningkat, frekuensinya pun meningkat dan membuatnya lebih sulit untuk dipulihkan. Empat kasus pemutihan massal hingga 2017 juga tercakup dalam penelitian terbaru, sementara situasi di tahun 2020 masih belum dapat dinilai. Tetapi, itu disinyalir merupakan yang terluas dalam catatan dan mempengaruhi sebagian besar bagian selatan terumbu untuk pertama kalinya.
 
Hughes mengatakan para ilmuwan memperkirakan karang akan terus mati kecuali dunia memenuhi komitmennya terhadap Paris Agreement yang digagas oleh PBB, tentang menangani perubahan iklim.
 
Ia memperingatkan bahwa situasi kini berubah sangat drastis, hingga para ilmuwan pun dibuat terkejut akan seberapa cepat perubahan ini terjadi dan bagaimana itu akan terus berlanjut kedepannya. 

Baca Juga: 5 Hal Mencengangkan dari Gunung Berapi Bawah Laut, Lebih Seram?

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Merry Wulan

Berita Terkini Lainnya