Israel-Hamas: Awal Mula Meledaknya Konflik di Langit Gaza

Suasana kelam yang dimulai ketika bulan April tiba 

Yerussalem, IDN Times - Setelah 11 hari pertempuran tanpa henti antara Israel dan Hamas berlangsung di Jalur Gaza, akhirnya kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata pun dibuat pada Kamis lalu (20/5/2021) waktu setempat, dengan bantuan Mesir selaku mediator. Tetapi, ketegangan disebut belum sepenuhnya surut apalagi dengan fakta bahwa kurang dari 12 jam sejak kesepakatan dibuat, polisi Israel terlihat kembali melakukan penyerangan di masjid Al Aqsa.

Kekerasan yang menimpa warga Palestina di Jalur Gaza selama hampir dua pekan tersebut telah menjadi pusat perhatian dunia dan meresahkan banyak pihak karena dinilai menjangkau terlalu dalam daripada kapanpun sejak intifada kedua pada 16 tahun silam. Menurut kementerian kesehatan Gaza, serangan yang dilakukan oleh Israel telah menyebabkan sebanyak 248 warga Palestina tewas, termasuk diantaranya 65 anak-anak. Sementara di pihak Israel, 12 orang tewas, termasuk dua anak.

Meskipun konflik telah diketahui berlangsung beberapa dekade lamanya, tidak ada yang benar-benar menyangka itu akan 'pecah' pada momen ketika pandemi global belum sepenuhnya mereda. Masih banyak yang mempertanyakan apa sebenarnya yang telah menyebabkan pertempuran diantara Israel dan Hamas baru-baru ini. Apakah pengusiran paksa di Sheikh Jarrah adalah faktor pemicu satu-satunya? Simak rangkumannya di bawah ini, berdasarkan laporan yang dilansir dari The New York Times.

1. Situasi sebelum bulan April yang mencekam

Israel-Hamas: Awal Mula Meledaknya Konflik di Langit GazaPemandangan area masjid Al-Aqsa di Yerussalem dari kejauhan. (Unsplash.com/Levi Meir Clancy)

Hubungan panas antara Israel-Palestina diketahui telah berlangsung sangat lama dan berpusat dengan Yerussalem sebagai intinya. Ada banyak ketegangan dan kisruh yang terjadi diantara kedua negara selama dekade yang panjang, tetapi tidak ada yang signifikan seperti intifada 16 tahun silam, atau dengan Hamas 7 tahun yang lalu.

Bahkan ketika mantan Presiden AS, Donald Trump mengakui kota Yerussalem sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan kedutaan besar AS ke sana pada tahun 2020, tidak ada kerusuhan besar yang terjadi diantara keduanya. Meskipun ada kecaman banyak pihak serta ratapan pilu warga Palestina, tidak ada juga demo masal yang tercatatkan pada saat empat negara Arab memilih untuk menormalisasikan hubungan dengan Israel dan meninggalkan konsensus yang telah lama dipegang.

Dua bulan lalu, bagi pihak militer Israel, ancaman terbesar untuk negaranya bukan berada di Palestina tetapi 1.000 mil jauhnya di Iran atau di seberang perbatasan utara Lebanon. Gaza pada saat itu sedang berjuang mengatasi gelombang infeksi COVID-19. Sedangkan sebagian besar faksi politik utama Palestina termasuk Hamas, sedang berkutat pada pemilihan legislatif yang merupakan pertama kalinya dalam 15 tahun. Warga Palestina di sisi lain, cenderung berbicara tentang pentingnya memprioritaskan ekonomi ketimbang perang karena blokade Israel telah berkontribusi pada tingkat pengangguran sekitar 50 persen di sana. Karena semua situasi tersebut, 'popularitas' Hamas pun menyusut.

2. Datangnya bulan suci Ramadan

Israel-Hamas: Awal Mula Meledaknya Konflik di Langit GazaPotret masjid Al-Aqsa di Yerussalem. (Unsplash.com/Rade Šaptović)

Namun, suasana hati mulai berubah ketika bulan April tiba. Saat umat muslim di Yerussalem menyambut datangnya malam pertama bulan suci Ramadan pada tanggal 13 April 2021, diwaktu yang sama Israel juga tengah memperingati hari khusus yang ditujukan untuk menghormati mereka yang tewas dalam pertempuran.

Sementara shalat malam dipersiapkan di masjid Al Aqsa, Presiden Israel Reuven Rivlin, juga tengah bersiap untuk memberikan pidatonya di sebuah situs Yahudi yang terletak tidak jauh dari masjid. Pada saat itu, para pejabat Israel khawatir shalat akan menenggelamkan suara pidato, sehingga satu regu petugas polisi Israel dikirim memasuki Masjid untuk memotong kabel ke pengeras suara yang menyiarkan doa dari empat menara abad pertengahan. Insiden itu dikonfirmasi oleh enam petugas masjid, tiga di antaranya menyaksikan. Sementara di lain pihak, kepolisian Israel menolak untuk berkomentar. Insiden ini pun 'tertutup' dari dunia luar.

Baca Juga: Peduli Palestina, Muhammadiyah Berhasil Himpun Bantuan Rp7 Miliar 

3. Penutupan alun-alun di Damascus Gate

Israel-Hamas: Awal Mula Meledaknya Konflik di Langit GazaPotret seorang pria memegang bendera Palestina. (Unsplash.com/Ahmed Abu Hameeda)

Insiden pengeras suara segera diikuti oleh keputusan polisi untuk menutup alun-alun populer di Damascus Gate, salah satu pintu masuk utama ke Kota Tua Yerusalem. Seorang juru bicara polisi, Micky Rosenfeld, mengatakan bahwa penutupan itu ditujukan untuk mencegah kerumunan besar yang berbahaya terbentuk di sana.

Tetapi bagi anak-anak muda Palestina, yang selama Ramadan menjadikan tempat tersebut sebagai lokasi berkumpul usai shalat Tarawih, penutupan dianggap sebagai sebuah penghinaan lain. Bentrokan lalu terjadi diantara polisi dan mereka yang mencoba merebut kembali ruang itu.

Bila insiden ini terjadi di tahun lain, mungkin 'kisahnya' akan segera dilupakan. Tetapi bulan lalu, ada beberapa faktor selaras yang memungkinkan pertikaian menjadi lebih besar. Diskriminasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, membangkitkan jiwa nasionalisme diantara anak-anak muda Palestina yang ingin identitas mereka diakui, sehingga mendorong sejumlah tindakan perlawanan sebagai bagian dari protes.

4. Dimulainya serangan

Bentrokan di Damascus Gate berdampak pada pertikaian yang terjadi antara pemuda Palestina dan Yahudi. Pada tanggal 21 April, hanya seminggu setelah penggerebekan polisi, beberapa ratus anggota kelompok ekstrim kanan Yahudi, Lehava, berbaris melalui pusat Yerusalem sembari meneriakkan "Matilah orang Arab" dan menyerang orang Palestina yang lewat. Dalam adegan yang sempat terekam, sekelompok orang Yahudi terlihat menyerang sebuah rumah warga Palestina dan lainnya menyerang pengemudi yang dianggap warga Palestina.

Diplomat asing dan tokoh masyarakat berusaha membujuk pemerintah Israel untuk menurunkan ketegangan di Yerusalem, setidaknya dengan membuka kembali alun-alun Damascus Gate. Tetapi menurut keterangan dari seseorang yang terlibat dalam diskusi, pemerintah pada saat itu menunjukkan gelagat seakan tidak tertarik.

Di sisi lain Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sedang menghadapi politik rumit yang membuat banyak orang memprediksi itu akan menjadi akhir era kepemimpinannya. Netanyahu berada di tengah-tengah negosiasi koalisi, setelah pemilihan legislatif pada Maret berakhir tanpa pemenang yang jelas.

Untuk membentuk koalisi, dia perlu membujuk beberapa anggota parlemen sayap kanan agar bergabung. Salah satu nama yang mencuat adalah Itamar Ben Gvir, mantan pengacara Lehava yang menganjurkan pengusiran warga Arab yang dianggapnya tidak setia kepada Israel. Karena hal ini, Netanyahu dituduh menjadi kaki tangan orang-orang seperti Ben Gvir dan mengobarkan krisis dengan membiarkan ketegangan meningkat di Yerusalem.

“Netanyahu tidak menciptakan ketegangan antara orang Yahudi dan Arab,” kata Anshel Pfeffer, seorang komentator politik dan penulis biografi perdana menteri. “Mereka sudah ada di sini sejak sebelum Israel didirikan. Tapi selama bertahun-tahun berkuasa, dia memicu dan mengeksploitasi ketegangan ini untuk keuntungan politik dan sekarang telah gagal total sebagai pemimpin dalam memadamkan api ketika itu mendidih."

5. Viral tagar #SaveSheikhJarrah

Pada 25 April 2021, pemerintah Israel akhirnya 'melunak' dengan mulai mengizinkan warga Palestina berkumpul kembali di luar Damascus Gate. Tetapi, semua itu hanyalah berlangsung sementara.

Apa yang terjadi di sana, telah berkembang secara signifikan menjadi pusaran yang melebar luas tatkala mencuat kasus tentang penggusuran paksa enam keluarga Palestina dari rumah mereka di Sheikh Jarrah. Protes reguler diadakan sepanjang bulan Ramadan dan diwarnai dengan serangan dari kepolisian Israel, hingga mencuri perhatian internasional dengan tagar #SaveSheikhJarrah. Warga Palestina berada diambang ketakutan atas serangan bertubi-tubi yang dilancarkan aparat keamanan Israel dalam 'mengontrol' jalannya protes, dan menganggap segala rentetan penyerangan yang terjadi adalah cara Israel untuk melakukan pembersihan etnik.

Polisi Israel diwaktu bersamaan, mengatakan bahwa mereka hanya menanggapi kekerasan yang dilakukan oleh para demonstran di Sheikh Jarrah. Tetapi video dan gambar menunjukkan bahwa satu-satunya serangan kekerasan yang dibuat justru datang dari pihak mereka sendiri.

Beberapa waktu belakangan, hal itu dikonfirmasi oleh seorang jurnalis koresponden Sky news, Mark Stone, yang dalam liputannya di lokasi mengatakan bahwa tindakan polisi Israel untuk mengendalikan massa sebenarnya bisa diartikan sebagai "unnecessarily provocative behaviour" (perilaku provokatif yang tidak perlu) karena orang-orang Palestina yang berkumpul sebenarnya berada dalam kerumunan yang tenang dan tidak melakukan apapun yang dapat memprovokasi. Ia berkata: "Mereka (polisi Israel) menyebut tindakan itu untuk mengendalikan kontrol kerumunan, tetapi itu kerumunan yang tidak perlu dikontrol."

Tepat ketika situasi semakin mendidih, Presiden Mahmoud Abbas dari Otoritas Palestina membatalkan pemilihan legislatif negaranya pada 29 april. Keputusan tersebut membuatnya terlihat lemah, sedangkan Hamas yang melihat peluang mulai memposisikan diri sebagai pembela militan Yerussalem.

Pada 4 Mei, enam hari sebelum kebrutalan terjadi di Gaza, kepala militer Hamas, Muhammed Deif muncul untuk mengeluarkan pernyataan publik yang langka. "Ini peringatan terakhir kami," kata Deif kepada Israel. "Jika agresi terhadap orang-orang kami di lingkungan Sheikh Jarrah tidak segera berhenti, kami tidak akan berdiam diri."

Bagaimanapun juga, situasinya sudah terlalu genting untuk dapat diredakan. Menurut Avraham Burg, mantan ketua Parlemen Israel dan mantan ketua parlemen Organisasi Zionis Dunia, apa yang terjadi di Yerussalem adalah hasil dari bertahun-tahun blokade dan pembatasan di Gaza, beberapa dekade pendudukan di West Bank, dan beberapa dekade diskriminasi yang dialami orang Arab di negara Israel. “Semua uranium yang diperkaya sudah ada,” katanya. “Tapi anda membutuhkan pemicu. Dan pemicunya adalah Masjid Al Aqsa. ”

7. Serangan brutal di masjid Al Aqsa

Pada Jum'at 7 Mei, datanglah eskalasi yang paling dramatis dari semuanya, yakni pengerebekan polisi Israel secara brutal di Masjid Al Aqsa. Petugas polisi bersenjatakan gas air mata, granat kejut dan peluru karet menyerbu ke dalam kompleks masjid tidak lama setelah jam 8 malam. Video yang tersebar online menunjukkan jamaah mencoba mengabaikan tabung gas air mata yang meledak di sekitar mereka dan kicuh riuh kepanikan terjadi dimana-mana. Insiden pun menyebabkan ratusan orang terluka dan dirawat di rumah sakit.

Mengganggu ibadah di salah satu situs penting dan malam paling suci bagi umat muslim adalah sebuah penghinaan yang sangat menyedihkan. Itu mengatur panggung untuk aksi serangan yang lebih dramatis yakni pada Senin, 10 Mei 2021.

Pada pagi hari itu, polisi Israel kembali melakukan penggerebekan di masjid Al Aqsa untuk kedua kalinya dalam tiga hari. Kepada Middle East Eye, seorang peneliti sejarah dari Yerusalem bernama Ehab Jallad, menceritakan kesaksiannya tentang apa yang terjadi di sana. "Itu sangat mengerikan," katanya. “Dalam beberapa menit, rasanya seperti langit jatuh menimpa kami. Saya ingin mencoba dan melarikan diri dari peluru berlapis karet, jadi saya bersembunyi, agar tidak terlihat."

Di waktu yang bersamaan pada hari tersebut, kaum Yahudi juga tengah bersiap untuk merayakan Flag March (hari Yerussalem). Ratusan massa Israel berkumpul dan berjalan ke alun-alun setelah berbaris melalui bagian-bagian kota tua Yerusalem, di bawah perlindungan polisi Israel. Namun pawai harus dibatalkan di menit-menit terakhir karena adanya risiko eskalasi yang terus berlanjut. Tentara Israel pun mulai memerintahkan warga sipil untuk menjauh dari perbatasan Gaza, meski itu semua sudah terlambat. Karena sesaat setelah jam 6 sore, serangan roket pertama dari Gaza membentang di langit malam. Dan itulah awal mula dari pengeboman Israel dan pertempurannya dengan Hamas, yang terjadi secara intens selama hampir dua pekan di jalur Gaza.

Baca Juga: Ungkit Isu Israel-Palestina, Menlu Retno Sebut PBB sedang Diuji

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya