Lawan COVID-19, Negara di Amerika Latin Pisahkan Pria dan Wanita

Bila melanggar, akan didenda hingga Rp3,7 juta 

Bogotá, IDN Times - Meski telah memberlakukan lockdown dan mengajak masyarakat menerapkan pyshical distancing, tampaknya hal itu masih belum dapat menjadi langkah efektif yang bisa dipatuhi banyak orang untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Upaya pun terus dilakukan pemerintah di berbagai negara bahkan meski dengan merancang langkah-langkah yang tidak biasa. Di Bogotá, ibu kota Kolombia misalnya, kebijakan karantina baru yakni Pico y género atau pemisahan berdasarkan jenis kelamin, diterapkan dengan melarang pria dan wanita berada di luar rumah dalam waktu bersamaan untuk membatasi jumlah orang di jalanan. Hal ini pun meciptakan kondisi kesenjangan di kota sejak dimulainya sistem pada senin (13/4) waktu setempat.

1. Sistem pemisahan jenis kelamin dibuat karena masih banyak warga yang kurang mematuhi aturan tinggal di rumah 

Lawan COVID-19, Negara di Amerika Latin Pisahkan Pria dan WanitaPotret hari pertama kebijakan pemisahan gender di kota Bogotá. Hanya terlihat para pria dalam antrian panjang di tempat perbelanjaan. twitter.com/ELTIEMPO

Banyak sekali pria. Pria dijalanan, pria di toko roti, pria di taman, pria di toko kelontong. "Aneh", ujar Adriana Pérez, seorang perawat di scrubs yang tengah berada di bank, satu satunya wanita yang terlihat di sana."Tapi itu berhasil."

Kebijakan yang baru dilaksanakan di ibu kota Bogotá ini dibuat dengan membagi jadwal keluar berdasarkan hitungan hari. Pada hari-hari bernomor ganjil, pria dapat meninggalkan tempat tinggal untuk melakukan kegiatan penting. Sementara ketika hari-hari genap tiba, giliran wanita yang diijinkan untuk keluar. Langkah ini pun diwajibkan bagi seluruh warga di Bogotá, meski dengan pengecualian yang diberikan bagi mereka yang bekerja di industri khusus seperti layanan makanan, pekerja kesehatan, petugas polisi, jasa pengiriman, serta kondisi penting lainnya.

Izin juga diberikan bagi pemilik anjing yang akan mengajak anjingnya berjalan-jalan, namun dengan waktu terbatas yakni 20 menit saja. Diluar itu, siapapun yang ketahuan melanggar akan dikenai denda mencapai $240 atau setara Rp3,7 juta, jumlah gaji minimum di Kolombia. Pelanggar pun harus membayar setengah denda dalam waktu lima hari atau menghadapi pengadilan. Seperti dikutip dari The New York Times.

Meski baru dijalankan, langkah ini menunjukkan perbedaan signifikan antara pria dan wanita dalam melakukan aktivitas. Dilansir dari Reuters (Thomson Reuters Foundation), Berdasarkan data yang dirilis oleh asosiasi pedagang Fenalco, ada perbedaan dalam perilaku pria dan wanita di satu wilayah ibu kota, dimana 1.500 wanita keluar pada hari yang ditentukan dibandingkan dengan pria yang hanya berjumlah 900 orang. Meskipun jumlah wanita yang keluar lebih banyak, tetapi wanita menghabiskan waktunya rata rata hanya 15 menit untuk berbelanja sementara pria cenderung membutuhkan waktu 45 menit.

Fenalco mencatat, dalam dua hari pertama penerapannya, ada penurunan 60% dalam jumlah orang yang pergi ke supermarket. Data lain juga menunjukkan wanita lebih taat aturan karena selama dua hari pertama itu pulalah, polisi telah menjatuhkan sanksi kepada 610 pria dibandingkan dengan jumlah wanita yang hanya 104 orang.

2. Tak berjalan mulus, kebijakan tuai kontroversi dan kritik pedas dari sejumlah aktivis 

Lawan COVID-19, Negara di Amerika Latin Pisahkan Pria dan WanitaKebijakan membuat para wanita hanya dapat keluar pada hari-hari genap, sementara pria sebaliknya. twitter.com/ELTIEMPO

Sebelum Kolombia menerapkan kebijakan tersebut, dua negara Amerika latin lainnya yakni Panama dan Peru telah terlebih dulu memulainya sejak awal april lalu. Namun, diskriminasi gender khususnya bagi kaum transgender menjadi isu tersendiri yang membuat berjalannya sistem tak semulus yang diharapkan.

Di Panama, kritikan tajam datang dari Human Rights Watch dan para aktivis LGBT +. Kelompok hak asasi menganggap pemerintah tidak adil dalam menerapkan langkah dan secara sengaja mengabaikan nasib para transgender. Persepsi gender seseorang tidak selalu cocok dengan identifikasi gender mereka, juga tidak selalu cocok dengan jenis kelamin yang tercantum dalam kartu identitas mereka. Mereka mengutip salah satu kasus ketika polisi Panama menahan seorang wanita transgender yang meninggalkan rumah pada hari khusus wanita dan mendendanya sebesar $50, karena kartu identitasnya menunjukkan ia seorang pria. Kasus lainnya juga berulang kali terjadi dengan kondisi serupa. Meski demikian, Panama tetap melanjutkan karena menilai langkah pemisahan cukup berhasil dalam mengatur jumlah orang-orang yang bergerak di dalam negeri. 

Sebaliknya di Peru, kasus transgender dan wanita menjadi isu yang sangat serius dan sulit ditangani hingga membuat presiden Martín Vizcarra terpaksa harus membatalkan langkah tersebut lebih cepat. Salah satu kritikan menyebutkan bahwa diskriminasi begitu dirasakan kaum wanita karena sebagian besar aktivitas belanja dan pekerjaan rumah dikerjakan oleh mereka. Akibatnya, pada hari khusus wanita, jalanan terlihat lebih penuh dan supermarket mengalami antrian panjang. Sementara ketika hari pria tiba, kondisi lenggang justru terlihat.

Salah seorang anggota gugus tugas COVID-19 di pemerintahan Peru, Farid Matuk, menyebut langkah ini adalah sebuah kesalahan bila diterapkan dalam dunia patriaki yang masih melekat.

3. Tak terpengaruh, walikota Bogota tetap lanjutkan kebijakan dan terapkan aturan khusus untuk para transgender 

Lawan COVID-19, Negara di Amerika Latin Pisahkan Pria dan WanitaWalikota Bogotá, Claudia Lopez, mengumumkan langkah kebijakan tersebut berlaku hingga Senin, 26 April, 2020. twitter.com/Bogota

Di sisi yang sama, skema tersebut juga menimbulkan keluhan bagi beberapa wanita di Kolombia yang terpaksa keluar pada hari 'khusus pria' karena faktor pekerjaan. Mereka mengakui bahwa berada di antara banyaknya pria, menimbulkan situasi tidak nyaman dan kekhawatiran.

Salah seorang jurnalis Kolombia, Laura Dulce Romero, menceritakan pengalamannya melalui twitter saat ia mengalami pelecahan secara verbal ketika harus mengajak anjingnya berjalan keluar di hari khusus pria. "Sendirian, disekitar banyaknya pria, tanpa mampu menjerit karena takut mereka berhenti dan memberitahu kita sesuatu yang lebih buruk atau mendekati kita sehingga mereka membuat kita lumpuh. Tindakan yang jahat. Sementara itu, otoritas merasa nyaman." tulisnya di twit.

Protes juga diberikan Red Comunitaria Trans, kelompok aktivis bagi transgender yang paling aktif di Bogotá, dengan menanggapi keputusan pemerintah melalui surat terbuka berjudul "Tenemos miedo" atau yang berarti 'kami takut."

Walau langkah yang diambil mengalami banyak kritikan dan problematika yang serupa seperti yang dialami dua negara tetangganya, Claudia López, walikota Bogotá yang juga merupakan wanita dan lesbian pertama yang memimpin kota tersebut mengatakan, bahwa transgender dapat mengikuti kebijakan dengan menyesuaikan jenis kelamin sesuai dengan identitas yang mereka miliki kini.

Ia juga menyebutkan bahwa langkah tersebut adalah cara untuk memecah populasi sedemikian rupa dan perlu dilakukan sehingga polisi dapat dengan mudah melakukan verifikasi. Selain itu, sistem pemisahan gender juga menunjukkan hasil positif dan dinilai lancar dalam mengurangi jumlah orang yang berkeliaran di jalanan setiap harinya. Kebijakan ini pun akan diberlakukan di Bogotá hingga tanggal 26 April mendatang.

Baca Juga: Akibat Virus Corona, Produksi Bir Corona Dihentikan

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya