Pemburu Liar Ancam Keberadaan Sukulen di Afrika Selatan

Kian terancam usai tuai popularitas

Cape Town, IDN Times - Memiliki begitu banyak spesies flora dan fauna, menjadikan Afrika Selatan sebagai salah satu negara megadiverse dengan keanekaragaman hayati yang melimpah. Sangking berharganya, negara ini pun terus menjadi incaran empuk dari aksi perburuan liar yang merajalela.

Tidak hanya hewan yang dilindungi saja, faktanya tanaman sukulen di alam liar Afrika Selatan kini juga menjadi target dari para pemburu hingga menyebabkan keberadaannya mulai menipis. Apa alasan dibalik aksi ilegal yang menargetkan tanaman mungil tersebut?

1. Minat tinggi terhadap sukulen ditengah para pecinta tanaman hias

Pemburu Liar Ancam Keberadaan Sukulen di Afrika SelatanPotret tanaman sukulen. Sumber: Unsplash.com/Orlova Maria

Dalam beberapa tahun terakhir, minat terhadap tanaman tengah meroket dikalangan warga dunia. Mengoleksi tanaman hias telah dianggap sebagai gaya hidup dan cara untuk menyalurkan hobi. Karena bentuknya yang unik dan perawatannya yang relatif muda, sukulen pun menjadi salah satu dari jenis yang paling banyak diminati. Pencarian untuk sukulen di sosial media cukup hits, bahkan pandemi COVID-19 semakin mendorong tajam penjualannya dalam industri tanaman hias sejak lockdown global pertama kali diberlakukan pada tahun 2020.

Afrika Selatan yang menurut organisasi WWF merupakan rumah bagi sekitar sepertiga dari semua spesies sukulen pun harus merasakan dampak dari mendongkraknya minat publik tersebut. Mirisnya, itu bukan dalam segi positif karena gelombang perburuan terhadap tanaman sukulen telah menyebabkan ancaman parah bagi keanekaragaman hayati.

Melansir dari The New York Times, salah satu dari sukulen yang kerap menjadi incaran adalah Conophytum, genus tanaman berbunga yang terdiri dari lebih 100 spesies — termasuk beberapa yang terdaftar sebagai terancam punah. Para ahli berkata bahwa tanaman itu adalah korban terbaru dari gelombang global perburuan sukulen yang didorong oleh lonjakan permintaan dari kolektor dan penggemar di seluruh dunia. “Conophytums adalah hal yang besar sekarang” kata Kapten Karel Du Toit, petugas operasi penyergapan perburuan sukulen di Afrika Selatan. Kapten Du Toit, yang juga seorang pengagum berat Conophytum, mengatakan bahwa dia biasanya menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyelidiki kasus ternak curian. Tetapi sejak 2018, memerangi perburuan sukulen telah menjadi pekerjaan penuhnya.

Tidak banyak yang tahu bahwa pada awalnya di Afrika Selatan, sukulen sempat dianggap sebagai tanaman untuk orang miskin. Tetapi kini, pergeseran tersebut telah membawa otoritas konservasi negara ke dalam konflik, dimana membendung gelombang perburuan tanaman telah menjadi tantangan besar. Pemerintah Afsel kekurangan personel untuk mengawasi luasnya arena tempat Conophytums tumbuh dan spesialis kejahatan tanaman mengakui bahwa beberapa polisi atau petugas bea cukai kurang mampu dalam mengidentifikasi atau membedakan pembibitan yang ditanam dari yang dipanen secara liar.

2. Perburuan ilegal terhadap tanaman bukan fenomena baru

Baca Juga: 2.000 Kaktus dan Sukulen Dipamerkan di Bali, Ada Hasil Mutasi Warna 

Sementara itu, pandemi telah mengubah cara pemburu ilegal sukulen dalam beroperasi. Menurut penegak hukum setempat, beberapa tahun lalu para pemburu yang berhasil ditangkap hampir semuanya terdiri dari warga negara asing, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan. Tetapi karena wabah virus COVID-19, akses perjalanan yang dibatasi menyebabkan para pembeli asing berubah haluan dengan mempekerjakan penduduk setempat. “Mereka memberikan akses pembacaan GPS kepada penduduk lokal untuk mencari tempat-tempat di mana tanaman itu tumbuh,” kata Kapten Du Toit.

Karena meningkatnya pengangguran di Afrika Selatan hingga 33 persen sejak pandemi, banyak dari mereka yang kemudian tertarik untuk melakukan pekerjaan ilegal tersebut dengan iming-iming bayaran yang menurut Kapten Du Toit tidak seberapa bila dibandingkan nilai pasarnya nanti di luar negeri. Hukumannya juga tergolong ringan yakni hanya membayar denda dan menerima hukuman percobaan, atau menjalani hukuman penjara yang singkat.

Carly Cowell, seorang ilmuwan Afrika Selatan yang sekarang berbasis di Royal Botanical Gardens, Kew-Inggris, mengungkapkan bahwa perburuan tanaman sebenarnya bukan fenomena baru. Tetapi karena akses intenet saat ini, hal itu berkembang menjadi semakin mudah dan membuka pasar secara luas. “Internet adalah pengubah permainan...Kami menemukan ada perdagangan online besar-besaran untuk tanaman," katanya. Hal itu didukung sebuah studi baru-baru ini oleh Konvensi Perdagangan Internasional yang menemukan bahwa sekitar 365 tanaman obat yang terancam punah dengan mudahnya kini dijual secara terbuka di Amazon dan eBay.

Cowell mengungkapkan ada banyak pembeli yang tidak tahu bahwa tanaman yang mereka miliki adalah hasil dari panen ilegal dan melanggar hukum. “orang-orang cukup bodoh atau naif tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan tanaman ilegal.” Hal ini lalu dipersulit oleh fenomena yang dikenal sebagai “plant blindness" (kebutaan terhadap tanaman), yakni kecenderungan manusia dalam melihat tanaman dan menganggapnya kurang penting untuk dilindungi bila dibandingkan dengan hewan.

3. Perubahan iklim juga ancam nasib sukulen dan tanaman langka lainnya di Afsel

Pemburu Liar Ancam Keberadaan Sukulen di Afrika SelatanPotret tanaman sukulen. Sumber: Unsplash.com/Sheelah Brennan

Di sisi lain, pada 3 Mei 2021, media The Guardian pernah melaporkan bahwa ancaman terhadap tanaman langka di Afsel tidak hanya terjadi akibat dari perburuan liar, tetapi juga keadaan darurat iklim. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) bahkan memprediksi adanya peningkatan suhu antara 3,4C dan 4,2C untuk wilayah tersebut sehingga dapat menyebabkan kondisi alam yang semakin kering dan berangin.

“Semakin panas, semakin banyak air yang dibutuhkan tanaman untuk bertahan hidup,” kata Nick Helme, konsultan botani yang berbasis di Cape Town. "Tapi curah hujan yang lebih rendah berarti sama dengan ada lebih sedikit air di tanah," terangnya. Hal itu kemudian diperparah oleh angin pantai yang semakin kuat. Bila di masa lalu angin gunung hampir selalu diikuti oleh hujan, namun dalam beberapa tahun terakhir hujan telah berhenti datang.

“Kita harus ingat bahwa kekeringan adalah hal yang normal di belahan dunia ini dan bahwa tanaman telah beradaptasi untuk mengatasi hal tersebut,” kata Pieter van Wyk, seorang ahli botani otodidak yang mengepalai pembibitan di taman nasional Richtersveld. Tetapi ia menambahkan, bahwa kekeringan juga meningkat dalam tingkat keparahan dan frekuensi, sementara tanaman tidak akan dapat selalu bangkit kembali setiap saat.

Baca Juga: 5 Jenis Sukulen Ini Bikin Rumah Mungil Kamu Makin Manis dan Adem

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya