Separuh Warga Korea Selatan Tidak Tertarik Punya Anak

Jumlah persalinan catat rekor terendah di tahun 2020

Seoul, IDN Times - Meski saat ini Korea Selatan tengah dihadapkan dengan menurunnya jumlah persalinan secara drastis sepanjang tahun 2020, tetapi lebih dari separuh warga muda yang berusia antara 10 sampai 20an justru berpikir bahwa memiliki anak setelah menikah bukanlah hal yang penting atau perlu untuk dilakukan. Tanggapan tersebut disampaikan dalam sebuah laporan yang terbit Kamis, 25 Maret 2021, dan menambah kekhawatiran bagi pemerintah akan nasib tingkat kesuburan di negara ginseng yang setiap tahunnya semakin melemah.

1. Tanggapan anak muda Korea Selatan terkait memiliki anak

Separuh Warga Korea Selatan Tidak Tertarik Punya AnakIlustrasi foto bayi. Sumber: Unsplash.com/Luma Pimentel

Dilansir dari Yonhap, sebanyak 32 persen anak muda Korea Selatan berusia 13 tahun atau lebih mengatakan bahwa memiliki anak setelah menikah dirasa tidak perlu. Jumlah tersebut naik 1,6 persen bila dibandingkan hasil dari dua tahun sebelumnya, menurut laporan indeks sosial yang dilakukan oleh badan Statistic Korea pada tahun 2020.

Laporan yang dirilis tersebut juga menunjukkan bahwa hampir semua kelompok usia saat ini merasa tidak terlalu penting memiliki anak setelah menikah, dengan lebih dari separuh anak muda berusia antara 10 sampai 20an meyakini bahwa memiliki anak bukanlah suatu keharusan. Di sisi lain, masih terdapat pula 39,4 persen suara remaja dan 47,5 persen orang berusia 20-an yang merasakan kebutuhan untuk memiliki anak, tetapi bila dibandingkan dengan data pada tahun 2018, jumlah tersebut merosot cukup signifikan.

2. Menurunnya jumlah persalinan

Separuh Warga Korea Selatan Tidak Tertarik Punya AnakIlustrasi foto bayi. Sumber: Unsplash.com/Irina Murza

Saat ini, tingkat kesuburan ( jumlah rata-rata wanita yang memiliki anak) di Korea Selatan telah mencapai rekor terendah dengan presentase baru yang hanya 0,84 persen di tahun 2020. Jumlah tersebut menandai tahun ketiga angka presentase yang dihasilkan berada di bawah 1 persen. Akibatnya, negara mengalami penurunan populasi pertama dimana jumlah kematian terhitung lebih tinggi daripada kelahiran.

Jumlah kematian melebihi kelahiran ini pun disebut sebagai fenomena "population death cross" yang untuk pertama kalinya terjadi di sana sejak pengumpulan data dilakukan pada tahun 1970. Rekor penurunan tingkat kesuburan di Korea Selatan sendiri bahkan tercatat telah menempati urutan paling rendah dari negara manapun di dunia.

"Penurunan angka kelahiran yang konstan menunjukkan bahwa angka kelahiran yang rendah tetap menjadi masalah besar di Korea," rilis laporan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan, menguti dari CNN. "Perlu ada perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah seperti kesejahteraan, pendidikan dan pertahanan negara."

Baca Juga: Parlemen Korea Selatan Setujui UU Anti Korea Utara

3. Populasi warga lanjut usia dapat mendominasi

Separuh Warga Korea Selatan Tidak Tertarik Punya AnakIlustrasi orang lanjut usia menutup wajah. Sumber: Unsplash.com/Cristian Newman

Di sisi lain, meski jumlah kelahiran merosot tajam tetapi laporan statistik justru menunjukkan bahwa masih banyak warga Korea Selatan yang menunjukkan keinginannya untuk menikah. Pembahasan terkait hal tersebut pun naik lebih tinggi dibandingkan dua tahun sebelumnya. Walau demikian, pihak Statistik Korea berkata masih terlalu dini untuk menilai persepsi tersebut karena secara data, jumlah pernikahan di tahun 2020 malah mengalami penurunan hingga 10,7 persen. Dalam hal ini, dampak COVID-19 sepertinya cukup mengambil peran penting dalam pengurangan mengingat situasi ekonomi yang tidak stabil terjadi secara berkepanjangan akibat pandemi.

Sementara, dengan berkurangnya angka kelahiran maka populasi orang yang menua dinilai semakin meningkat dengan cepat. Korea Selatan bahkan diperkirakan akan memiliki jumlah dominan masyarakat lanjut usia tertinggi di dunia pada tahun 2025, dimana proporsi mereka yang berusia 65 tahun dapat mencapai 20 persen dari total populasi yang ada.

Bila tidak ditangani, hal itu tentu akan memengaruhi negara dalam menopang perekonomian karena penuaan pada masyarakat akan menyebabkan peningkatan tajam dalam penyediaan dana pensiun, asuransi kesehatan, serta melemahkan ekonomi dan pendapatan fiskal akibat berkurangnya penduduk yang bisa bekerja terkait faktor usia.

4. Karier jadi alasan seseorang tunda rencana berkeluarga

Separuh Warga Korea Selatan Tidak Tertarik Punya AnakPotret warga Korea Selatan di jalanan kota Seoul. Sumber: Unsplash.com/rawkkim

Tidak hanya Korea Selatan, Jepang juga menjadi salah satu negara yang kini tengah berjuang mengatasi situasi terkait rendahnya angka kelahiran. CNN melansir bahwa ada dua persamaan yang menjadi alasan dibalik terciptanya situasi tersebut yakni faktor serupa dari budaya kerja.

Budaya kerja yang intens membuat sulit bagi seseorang untuk menyeimbangkan antara karir dan kehidupan berkeluarga. Anak muda juga lebih cenderung mengejar karir ketimbang memikirkan pernikahan. Menurut Institut Korea Untuk Kesehatan dan Sosial (KIHSA), pada tahun 2018 mayoritas warga yang berusia antara 20 hingga 44 tahun bahkan diketahui masih lajang dengan 51 persen pria dan 64 persen perempuan berkata mereka memilih untuk tidak berpacaran agar bisa fokus pada pendidikan dan hobi.

Dalam upaya untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dilaporkan telah menyusun rencana dasar terkait kebijakan kependudukan yang dapat menawarkan bonus tunai untuk persalinan dan berkeluarga, pada Desember lalu. Tindakan mendesak dinilai perlu untuk dilakukan demi mencegah situasi yang ada menjadi semakin parah.

Baca Juga: Korea Utara Kecam Korea Selatan karena Diragukan Bebas COVID-19

Calledasia Lakawa Photo Verified Writer Calledasia Lakawa

Broken crayons still color

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya