Pelaku Teror di Selandia Baru Diketahui Anggota ISIS

Pelaku tersebut dianggap ancaman bagi keselamatan publik

Jakarta, IDN Times - Seorang pelaku serangan teror di Selandia Baru diketahui merupakan anggota dari kelompok ISIS yang diumumkan pada hari Minggu, 5 September 2021, waktu setempat. Pelaku diketahui menyebabkan ancaman keselamatan bagi publik sekitar di Selandia Baru.

1. Sebelum peristiwa itu terjadi, pelaku diketahui baru dibebaskan dari penjara 

Dilansir dari Nzherald.co.nz, pria yang ditembak mati oleh polisi di sebuah supermarket Auckland pada hari Jumat, 3 September 2021, lalu diketahui merupakan pria asal Sri Lanka bernama Ahamed Aathil Mohamed Samsudeen.

Pria tersebut akhirnya ditembak mati oleh petugas polisi setelah 6 pengunjung supermarket terluka, termasuk 3 diantaranya mengalami kritis, dalam adegan mengerikan di mal New Lyn Countdown, Auckland, Selandia Baru.

Yang terluka diyakini telah diserang sebelum pelaku ditembak mati oleh polisi.

Pelaku tersebut dianggap sebagai ancaman bagi keselamatan publik setelah dua kali membeli pisau berburu berukuran besar dan memiliki video kegiatan kelompok ISIS.

Dia juga baru saja dibebaskan dari penjara serta berada di bawah pengawasan terus-menerus oleh kepolisian setempat, termasuk tim taktis bersenjata, dan Badan Keamanan Nasional.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengatakan serangan itu dilakukan oleh seorang individu, bukan mewakili agama, budaya, serta etnis tetapi individu yang dicengkeram oleh ideologi yang tidak didukung di negara mana pun.

Selain terinspirasi oleh ISIS, dia juga merupakan anggota simpatisan kelompok ISIS.

Ardern mengatakan pihaknya telah menggunakan setiap kekuatan hukum dan pengawasan yang tersedia baginya untuk menjaga orang-orang tetap aman dari individu ini.

2. Setelah serangan tersebut, adanya perdebatan baru mengenai perubahan undang-undang yang diusulkan di hadapan parlemen mengenai kejahatan terorisme 

Baca Juga: Serangan Teror di Supermarket Selandia Baru, 6 Terluka

Serangan tersebut telah memicu adanya perdebatan baru mengenai perubahan undang-undang yang diusulkan saat ini di hadapan parlemen yang akan menjadikan tindakan merencanakan serangan teroris sebagai kejahatan, celah hukum yang diidentifikasi setelah tragedi penembakan di Christchurch tahun 2019 lalu.

Ketika itu, serangan tersebut terjadi di dua masjid yang ada di wilayah itu dengan menewaskan sebanyak 51 orang oleh seorang pelaku supremasi kulit putih dari Australia.

Tahun 2020 lalu, penegak hukum setempat berusaha untuk menuntut Samsudeen di bawah Undang-Undang Penindasan Terorisme 2002, tetapi seorang hakim Pengadilan Tinggi justru memutuskan bahwa mempersiapkan serangan teroris bukanlah pelanggaran di bawah undang-undang.

Samsudeen hanya dituntut atas tuduhan yang lebih rendah. Pada tanggal 26 Mei 2021 lalu, dia dinyatakan bersalah oleh hakim karena memiliki materi bergaya propaganda yang mendukung ISIS.

Dia dibebaskan dari tuduhan lain karena memiliki video grafis yang menggambarkan seorang tahanan dipenggal kepalanya dan memiliki senjata ofensif.

Menurut sebuah laporan pada bulan Juli 2021 lalu, Samsudeen memiliki sarana dan motivasi untuk melakukan tindakan kekerasan di masyarakat.

Dia dijatuhi hukuman 1 tahun pengawasan, yang akan bertugas di sebuah masjid di Auckland bagian barat.

History internet yang dibuka oleh Samsudeen sendiri juga mengungkapkan adanya pencarian mengerikan, dengan beberapa di antaranya telah ditandai secara elektronik.

Mereka termasuk pedoman keselamatan dan keamanan untuk mujahidin serigala tunggal, mencari pisau berburu, celana kamuflase, pakaian ISIS, serta pakaian penjara dan makanan Selandia Baru.

Ia juga melakukan upaya untuk meneliti kasus Imran Patel, seorang pendukung ISIS dan orang pertama di Selandia Baru yang dipenjara karena menyebarkan video ekstremis.

3. Selain masalah terorisme, status pengungsi Samsudeen juga patut dipertanyakan

Samsudeen tiba di Selandia Baru pada bulan Oktober 2011 lalu dengan menggunakan visa pelajar. Tak lama setelah tiba, dia mengajukan klaim status pengungsi.

Imigrasi Selandia Baru menolak klaim ini pada tahun 2012 lalu, tetapi ia mengajukan banding ke Pengadilan Imigrasi dan Perlindungan yang pada akhirnya berhasil. Saat itu, dia diberikan status pengungsi pada Desember 2013 lalu.

Sekitar tahun 2016 lalu, dia menarik perhatian polisi dan Badan Intelijen Keamanan setelah berbicara dengan simpatik di Facebook tentang serangan teroris, video dan komentar terkait perang yang mendukung kekerasan ekstremisme, serta diajak berbicara oleh polisi.

Pada bulan Mei 2017 lalu, Samsudeen ditangkap di Bandara Internasional Auckland. Polisi saat itu merasa yakin dia sedang menuju Suriah serta penggeledahan di apartemen yang menemukan propaganda ISIS dan pisau berburu.

Dia dibebaskan dengan jaminan, tetapi pada Agustus 2018 lalu, saat dengan jaminan, membeli pisau serta polisi setempat kembali menangkapnya lagi dan menemukan materi ekstremis yang lebih lanjut.

Pihak berwenang telah mengetahui bahwa Samsudeen ingin melakukan serangan teroris tetapi merencanakannya bukanlah kejahatan di Selandia Baru.

Pada bulan Februari 2019 lalu, status pengungsi Samsudeen dibatalkan dan dia dilayani dengan pemberitahuan kewajiban deportasi.

Ardern menambahkan bahwa klaim pengungsinya didasarkan pada dokumen palsu, meskipun dia tidak menjelaskan lebih lanjut.

Dia mengajukan banding atas deportasinya ke Pengadilan Imigrasi dan Perlindungan hingga akhirnya banding deportasi tidak dapat dilanjutkan sampai akhir persidangan pidana pada bulan Mei 2021 lalu.

Baca Juga: Serangan Teror di Supermarket Selandia Baru, 6 Terluka

Christ Bastian Waruwu Photo Verified Writer Christ Bastian Waruwu

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya