Tersinggung Pernyataan Macron, Mali Panggil Dubes Prancis

Hubungan antara Mali dengan Prancis semakin tegang

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Mali pada Selasa (5/10) waktu setempat memanggil Duta Besar Prancis setelah tersinggung dengan pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, beberapa waktu lalu. Pemanggilan tersebut menandakan hubungan antara Mali dengan Prancis semakin tegang.

1. PM Mali sementara menuding Prancis telah mengabaikan atas pengambilan keputusannya 

Dilansir dari Aljazeera.com, Mali telah memanggil Duta Besar Prancis untuk menyatakan kekecamannya atas kritik yang disampaikan oleh Macron baru-baru ini terhadap pemerintah Mali.

Ketegangan tersebut terungkap setelah Negara Bagian Sahel di Mali sedang dalam pembicaraan dengan tentara bayaran Rusia.

Mali menyuarakan ketidaksenangannya kepada Duta Besar Prancis pada Selasa waktu setempat.

Kekecewaan tersebut diperlihatkan sepenuhnya di Majelis Umum PBB bulan September 2021 lalu, ketika Perdana Menteri Mali sementara, Choguel Kokalla Maiga, menuduh Prancis semacam pengabaian dalam penerbangan penuh atas keputusannya untuk mengurangi penempatan militernya di Sahel.

"Menteri Luar Negeri Mali meminta pihak berwenang Prancis untuk menahan diri, menghindari penilaian tersebut," ungkap pernyataan dari pihak Kementerian Luar Negeri Mali dalam pernyataannya seperti yang dilansir dari Aljazeera.com.

Mereka juga menambahkan bahwa Mali menginginkan pendekatan konstruktif berdasarkan saling menghormati.

2. Macron menganggap pemerintahan Mali saat ini tidak memiliki kredibilitas 

Baca Juga: Studi di Prancis: 216 Ribuan Anak-Anak Dilecehkan di Gereja Katolik

Presiden Prancis telah menyatakan kemarahannya beberapa hari yang lalu atas klaim baru-baru ini oleh Maiga bahwa Prancis telah meninggalkan negaranya dengan menarik pasukan di Sahel.

Macron sendiri mengatakan tuduhan tersebut memalukan. Ia juga mengambil gilirannya untuk mengecam komentar yang dibuat Maiga kepada PBB akhir pekan lalu dan dia tidak melakukan upaya diplomasi.

Berbicara di sela-sela upacara penutupan musim Afrika 2020 di Istana Kepresidenan Prancis, Macron mengatakan komentar Maiga tidak dapat diterima dan mempertanyakan legitimasi pemerintah sementara untuk membuatnya.

"Perdana Menteri Mali lahir dari dua kudeta, jika boleh saya katakan. Ada kudeta pada Agustus 2020 lalu kudeta di dalam kudeta," ungkap pernyataan dari Macron saat itu seperti yang dilansir dari Rfi.fr.

Berbicara secara demokratis, Macron menambahkan pemerintah Mali saat ini tidak memiliki kredibilitas.

Pernyataan itu bahkan lebih tidak dapat diterima, mengingat kematian tentara Prancis, Maxime Blasco, yang terbunuh dalam sebuah aksi di mali dan kepada siapa Prancis membayar upeti.

Prancis telah mengecam keras dan membantah tuduhan Maiga bahwa berakhirnya pasukan Barkhane sama dengan semacam pengabaian di tengah penerbangan..

Macron juga tidak mengharapkan apa-apa dari pemerintah Mali serta menegaskan negara itu harus menghormati komitmennya untuk menyelenggarakan Pemilu pada Februari 2022 ini, sebagaimana yang disepakati oleh blok Afrika Barat, ECOWAS, serta berhenti memenjarakan para pemimpin politik.

3. Sejak 2013 lalu, Prancis melakukan intervensi di Mali

Tersinggung Pernyataan Macron, Mali Panggil Dubes PrancisPara pasukan militer Prancis saat bertugas di Mali. (Twitter.com/AndyVermaut)

Pihak Prancis telah melakukan intervensi di Mali sejak tahun 2013 lalu setelah pemberontak bersenjata menguasai wilayah utara setahun sebelumnya.

Sejak saat itu, Prancis mengerahkan ribuan tentara di seluruh wilayah Sahel untuk memerangi pemberontakan bersenjata.

Terlepas dari kehadiran militernya, kekerasan justru semakin menyebar ke Mali bagian tengah dan ke negara tetangga seperti Burkina Faso dan Niger.

Di Mali, ribuan orang tewas dan ratusan ribu orang lainnya memilih untuk mengungsi, sementara sebagian besar negara memiliki sedikit atau tidak ada kehadiran negara.

Pada Juni 2021 lalu, Prancis memutuskan untuk mengurangi penyebaran pasukan di Sahel secara signifikan setelah pengambilalihan militer di Mali pada Agustus 2020 lalu, yang memaksa Presiden Mali terpilih, Ibrahim Bobacar Keita, keluar.

Kolonel Assimi Goita, yang memimpin kudeta Agustus 2020 lalu, mengangkat pemerintahan sementara yang dipimpin oleh sipil, tetapi dia kemudian menggulingkan para pemimpin pemerintahan itu Mei 2021 lalu dalam kudeta yang kedua kalinya.

Sekitar bulan September 2021 lalu, terungkap bahwa militer yang berkuasa di Mali hampir mempekerjakan 1.000 paramiliter dari perusahaan keamanan swasta asal Rusia, Wagner, yang membuat marah Prancis.

Pemerintah Prancis telah menyatakan meskipun penarikan pasukannya direncanakan, ia tetap berkomitmen secara militer untuk memerangi pemberontakan bersenjata di Sahel.

Baca Juga: Bersitegang, Aljazair Panggil Kembali Dubesnya dari Prancis

Christ Bastian Waruwu Photo Verified Writer Christ Bastian Waruwu

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya