Ukraina Minta Pemimpin Rusia Termasuk Putin Diadili secara In Absentia

Jakarta, IDN Times - Jaksa Agung Ukraina Andriy Kostin meminta para pemimpin Rusia diadili atas invasinya terhadap Ukraina, walaupun tidak bisa ditangkap dan dibawa ke pengadilan secara langsung.
Dilansir ANTARA, Kostin mengatakan kepada Reuters bahwa rencana peradilan kejahatan akibat agresi tersebut harus juga meliputi persidangan in absentia.
Hal itu disampaikan Kostin pada Kamis (23/3/2023), saat tiba di kota Den Haag di Belanda yang merupakan markas Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC).
Baca Juga: Selain Vladimir Putin, Ini 3 Kepala Negara yang Pernah Didakwa ICC
1. ICC tak bisa mengadili kejahatan agresi
Pernyataan Kostin tersebut disampaikan setelah dirinya bertemu dengan jaksa agung ICC, yang pekan lalu mengeluarkan perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin dan komisioner urusan anak di Rusia atas tuduhan deportasi paksa terhadap anak-anak Ukraina ke Rusia.
Meskipun bisa mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida di Ukraina, ICC tidak bisa mengadili kejahatan agresi lantaran kendala hukum.
Baca Juga: ICC Mau Tangkap Putin, Rusia Cuek Lanjut Gempur Ukraina
2. Munculnya dukungan internasional
Sementara itu, mengutip The Guardian, dukungan internasional tumbuh untuk pembentukan pengadilan khusus yang akan mengadili para pemimpin Rusia atas invasi yang sudah berusia 13 bulan kepada Ukraina, yang dianggap oleh Ukraina dan para pemimpin negara Barat sebagai kejahatan agresi.
"Saya percaya itu bisa (diadakan) in absentia, karena penting untuk menyampaikan masalah keadilan untuk kejahatan internasional sekalipun pelakunya tak bisa hadir di pengadilan," kata Kostin.
Baca Juga: Pengadilan Kriminal Internasional Rilis Surat Penangkapan Putin
3. Sidang in absentia jarang dilakukan
Sebenarnya, pengadilan internasional sangat jarang mengadakan persidangan in absentia, dan aturan ICC menyatakan secara khusus bahwa tersangka harus hadir selama persidangan.
Satu-satunya contoh pengadilan internasional in absentia baru-baru ini, adalah dalam kasus Lebanon, di mana pengadilan yang didukung PBB menghukum tiga orang atas pembunuhan politisi Lebanon Rafik Hariri pada 2005 silam.