Intelijen AS: Perubahan Iklim akan Picu Ketegangan Global

Negara miskin lebih cenderung mengalami konflik 

Jakarta, IDN Times - Laporan gabungan dari 18 badan intelijen Amerika Serikat (AS) yang dirilis pada hari Kamis (21/10/2021) memperingatkan perubahan iklim dapat menyebabkan ketegangan internasional. Peringatan ini dibuat  berdasarkan penilaian Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI), yang mengawasi intelijen di AS.

Laporan ini hadir kurang dari dua minggu dimulainya KTT iklim COP26 di Glasgow, yang mencari kesepakatan internasional dalam mengatasi perubahan iklim.

1. 11 negara berisiko mengalami konflik akibat perubahan iklim

Intelijen AS: Perubahan Iklim akan Picu Ketegangan GlobalIlustrasi orang yang sedang menuju tempat pengambilan air bersih. (Unsplash.com/Jeff Ackley)

Melansir dari BBC, dalam laporan ini intelijen AS mengidentifikasi ada 11 negara dan dua wilayah, yaitu Afrika Tengah dan negara-negara kecil Pasifik, yang mengalami masalah krisis energi, makanan, air, dan keamanan kesehatan, berada pada risiko yang dapat menimbulkan konflik. 11 negara tersebut adalah Afghanistan, Burma, India, Pakistan, Korea Utara, Guatemala, Haiti, Honduras, Nikaragua, Kolombia, dan Irak.

Negara-negara yang disebut itu cenderung lebih miskin dan dianggap lebih sulit beradaptasi terhadap perubahan iklim, sehingga meningkatkan risiko ketidakstabilan dan konflik internal. Gelombang panas dan kekeringan dapat meningkatkan tekanan pada layanan energi seperti listrik.

Kutub Utara kemungkinan akan menjadi salah satunya, karena menjadi lebih mudah diakses karena berkurangnya es dapat menciptakab rute pengiriman baru dan akses ke stok ikan, tetapi juga menciptakan risiko salah perhitungan saat militer masuk.

Laporan ini mengindetifikasi mengenai krisis air yang dapat menimbulkan masalah. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, sekitar 60 persen sumber air telah melewati batas, sementara dua negara yang bertentangga Pakistan dan India juga mengalami krisisi air dan telah berlangsung lama. Wilayah Sungai Mekong juga dapat menimbulkan perselisihan antara China dan Kamboja dan Vietnam.

Selain itu wilayah Kutub Utara diperkirakan akan memicu ketegangan antar negara jika es mencair, yang membuat lebih mudah diakses karena terciptanya rute pengiriman baru dan akses ke stok ikan, selain itu juga menciptakan risiko dengan militer yang dapat mengakses wilayah tersebut lebih leluasa.

2. Perubahan iklim akan memicu lebih banyak migrasi

Melansir dari NBC News, meski AS berada dalam kondisi yang relatif baik dalam menanggapi krisis iklim, tapi laporan itu menilai kepentingan keamanan AS akan memburuk dan akan timbul ketegangan geopolitik. Diperkirakan ketegangan geopolitik, terutama setelah 2030 di negara-negara dan kawasan utama akan menghadapi peningkatan risiko ketidakstabilan dan butuh bantuan kemanusiaan.

Sebuah laporan terpisah dari Gedung Putih menyampaikan perubahan iklim akan memicu lebih banyak migrasi yang mungkin akan meningkatkan tekanan pada sekutu AS. Hal itu karena migran akan cenderung mencari perlindungan di negara-negara demokratis dan stabil yang mematuhi konvensi internasional untuk pencari suaka.

Laporan itu memperkirakan negara yang bertentangan dengan AS, termasuk China dan Rusia akan berupaya mengeksploitasi dampak perubahan iklim untuk menghasut migran untuk berpindah ke AS dan sekutunnya.

Laporan lainnya yang dikeluarkan pada hari Kamis oleh Dewan Pengawas Stabilitas Keuangan AS mengatakan iklim akan mempengaruhi stabilitas keuangan AS. Laporan itu menyarankan perusahaan dan entitas lain melakukan analis pada iklim, dikutip dari France 24.

Baca Juga: Tuhan, Agama, dan Bencana: Warga Lebak Hadapi Perubahan Iklim

3. Negara yang bertindak sendiri akan menimbulkan masalah

Melansir dari BBC, laporan gabungan dari intelijen AS ini mengigatkan negara-negara akan berusaha mencoba untuk mempertahankan ekonomi mereka sendiri dan mencari keuntungan dalam mengembangkan teknologi baru seperti teknologi geo-engineering futuristik.

Penggunaan teknologi tersbut termasuk mengirim partikel reflektif ke stratosfer untuk menimbulkan efek pendinginan letusan gunung berapi atau menggunakan aerosol untuk mendinginkan lautan di area tertentu.

Namun, teknologi itu dapat menimbulkan masalah jika satu negara bertindak sendiri. Tindakan itu hanya akan mengalihkan masalah iklim ke wilayah lain dan membuat marah negara lain, sehinggap akan memicu konflik.

Para peneliti di beberapa negara, termasuk dari AS, Australia, China, India, Rusia, Inggris, serta beberapa negara Uni Eropa tertarik dengan teknologi itu, tapi saat ini hanya ada sedikit aturan yang mengatur penggunaannya.

Selain itu kebijakan yang mendukung lingkungan yang lebh bersih akan mendapat hambatan di Beberapa negara yang perekonomiannya mengandalkan bahan bakar fosil, saat ini ada lebih dari 20 negara yang mengandalkan bahan bakar fosil untuk lebih dari 50 persen dari total pendapatan ekspor.

Baca Juga: 14 Persen Terumbu Karang Dunia Musnah karena Perubahan Iklim

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya