Edinburgh Meminta Maaf atas Perannya dalam Perbudakan 

Peninggalan yang terkait perbudakan tetap dipertahankan

Jakarta, IDN Times - Kota Edinburgh, ibu kota Skotlandia pada Selasa (30/8/2022), secara resmi meminta maaf atas perannya dalam perbudakan yang dilakukan di masa lalu.

Permintaan maaf ini setelah anggota dewan kota dengan suara bulat telah menerima semua dari 10 rekomendasi yang dibuat dalam laporan tentang hubungan historis Edinburgh dengan perbudakan dan kolonialisme.

Baca Juga: 10 Fakta Unik Kota Edinburgh, Kota Paling Hijau di Britania Raya

1. Bagian di kota yang terkait perbudakan akan digunakan untuk mendidik generasi mendatang

Melansir The Guardian, laporan tersebut meminta agar patung, nama jalan, dan bangunan lain di kota yang memperingati orang-orang yang meraih keuntungan uang atas perbudakan tetap dipertahankan, tapi dijelaskan ulang kepada publik untuk mendidik generasi mendatang.

Penjelasan ulang telah dilakukan terkait monumen untuk Sir Henry Dundas, seorang tokoh kontroversial, yang patungnya dirusak pada Juni 2020 selama protes yang dipicu oleh pembunuhan warga kulit hitam di Amerika Serikat (AS).

Dundas merupakan politisi terkemuka Skotlandia pada akhir abad ke-18. Dia telah berperan dalam perbudakan di masa lalu dengan menunda penghapusan perbudakan selama satu generasi.

Laporan itu juga menyoroti kediaman resmi menteri pertama di Charlotte Square, di mana ada tokoh bersejarah yang dintungkan secara langsung dari perbudakan di Atlantik. Jalan India dan Jalan Jamaika di itu juga menjadi sorotan karena terkait perbudakan.

Baca Juga: Angka Kematian Pecandu Narkoba di Skotlandia Masih Tinggi selama 2021

2. Permintaan maaf merupakan langkah penting

Melansir BBC, laporan mengaitkan hubungan historis kota Edinburgh dengan perbudakan adalah hasil tinjauan yang dibuat pada 2020 sebagai tanggapan atas gerakan Black Lives Matter yang menentang rasisme terhadap kulit hitam. Laporan mencapai hampir 150 halaman, didasarkan pada survei terhadap sekitar 4 ribu orang dan adanya penelitian lebih lanjut.

Tinjauan tersebut diketuai oleh akademisi kelahiran Jamaika Sir Geoff Palmer, seorang profesor emeritus di Universitas Heriot-Watt dan aktivis hak asasi manusia. Akademisi yang telah tinggal di Skotlandia sejak 1964 menyebut laporan itu sebagai pencapaian luar biasa bagi masyarakat Edinburgh dan Skotlandia.

Sir Geoff mengatakan keputusan dewan untuk menerima rekomendasinya "sangat signifikan" dan permintaan maaf sipil merupakan langkah penting.

"Permintaan maaf tidak membeli roti, tetapi memberikan bentuk rezeki yang lain. Ini tentang perasaan bahwa seseorang telah melihat sesuatu dan menyadari itu salah. Mereka mengatakan kepada Anda, orang yang tersinggung, bahwa mereka menyesali apa yang telah terjadi."

"Meskipun banyak orang mengatakan 'kami tidak ada di sana, itu bukan perbuatan kami', kami semua memiliki tanggung jawab. Kami bertanggung jawab atas apa yang terjadi di masa lalu, karena masa lalu memiliki konsekuensi. Kami tidak dapat mengubah masa lalu tetapi kita dapat mengubah konsekuensi dari rasisme. Saya merasa gerakan ini untuk mencoba memperbaiki 300 tahun perbudakan orang karena warna kulit mereka akan menjadi universal."

Baca Juga: Skotlandia Jadi Negara Pertama di Dunia yang Sediakan Pembalut Gratis

3. Kematian warga kulit hitam AS dianggap mempengaruhi sikap terhadap rasisme

Edinburgh Meminta Maaf atas Perannya dalam Perbudakan Ilustrasi Garis Polisi (IDN Times/Mardya Shakti)

Sir Geoff meyakini bahwa kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam di Minneapolis, AS tewas akibat tindakan keras polisi pada Mei 2020 adalah katalis untuk perubahan signifikan dalam sikap terhadap rasisme.

Floyd mati setelah seorang petugas polisi kulit putih, Derek Chauvin, berlutut di leher Floyd saat dia tubuhnya ditahan ke tanah. Kematiannya memicu gelombang protes di seluruh AS dalam aksi yang dikenal sebagai Black Lives Matter.

"Saya pikir dunia melihat lebih dari sembilan menit bagaimana orang kulit hitam dibunuh, tanpa alasan lain bahwa seseorang berpikir dia lebih rendah dan Anda bisa melakukannya dan bisa lolos begitu saja. Saya pikir itu adalah salah satu momen paling signifikan dalam sejarah perbudakan."

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya