Pemerintah RD Kongo Tuduh M23 Bantai 272 Warga Sipil

Anak-anak di gereja dan rumah sakit juga dibunuh

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Republik Demokratik Kongo (RD Kongo), pada Senin (5/12/2022), mengumukan bahwan jumlah korban sipil tewas dalam pembantaian yang meletus di kota Kishishe telah mencapai 272 orang.

Terkait pembantaian itu pemerintah menuduh kelompok pemberontak M23 sebagai pihak yang bertanggung jawab dan menuduh Rwanda mendukung kelompok pemberontak tersebut.

Baca Juga: Kongo Tuduh Pemberontak M23 Bantai 50 Warga Sipil

1. Pembantaian meletus pada pekan lalu

Melansir Reuters, pembantaian yang diklaim pemerintah dilakukan oleh M23 ini diduga mulai terjadi pada 29 November di Kishishe, provinsi Kivu Utara. Jumlah korban tewas diumumkan oleh Menteri Perindustrian Kongo Julien Paluku, yang berbicara pada jumpa pers bersama dengan Patrick Muyaya, juru bicara pemerintah.

"Saya belum bisa memberikan rincian serangan itu. Penyidikan sudah dibuka oleh Kejaksaan Agung dan kami menunggu hasil dari penyidik. Yang kami tahu adalah bahwa anak-anak dibunuh di gereja Advent dan rumah sakit," kata Muyaya.

Tuduhan terhadap M23 atas pembantaian telah dilakukan sejak minggu lalu, di mana awalnya jumlah korban yang dilaporkan sebanyak 50, kemudian meningkat menjadi lebih dari 100, dan terakhir sebanyak 273.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah keterangan pada pekan lalu mengatakan telah menerima laporan tentang sejumlah besar korban sipil selama bentrokan antara M23 dan milisi lokal di Kishishe, tetapi tidak memberitahu jumlah korban.

Baca Juga: 9 Fakta Republik Demokratik Kongo, Kaya Sumber Daya Alam!

2. M23 membantah membantai warga sipil

Pemerintah RD Kongo Tuduh M23 Bantai 272 Warga SipilIlustrasi Garis Polisi (IDN Times/Mardya Shakti)

Melansir VOA News, tuduhan pembunuhan terhadap warga sipil di Kishishe telah dibantah M23 melalui Lawrence Kanyuka, juru bicaranya, yang mengatakan bahwa kelompok itu tidak menargetkan warga sipil dan menyalahkan tentara Kongo karena melanggar gencatan senjata 23 November.

M23 mengatakan bahwa tembakan peluru nyasar dari bentrokan menewaskan delapan warga sipil dan ada 21 anggotanya yang tewas dalam pertempuran.

Pertempuran terbaru itu pecah hanya beberapa hari setelah pemimpin RD Kongo dan Rwanda bertemu di Angola untuk menyetujui gencatan senjata. Pemberontak M23 bukan bagian dari kesepakatan, tapi sejak kesepakatan tersebut tidak ada pertempuran yang dilaporkan antara tentara RD Kongo dan M23, hingga ada laporan pertempuran terbaru pada 1 Desember.

Pembicaraan terpisah selama seminggu di Nairobi antara pemerintah RD Kongo dan kelompok bersenjata di wilayah timur dan para pemimpin regional ditutup pada 6 Desember, dengan seruan untuk lebih banyak upaya perdamaian dengan pemerintah.

M23 tidak diundang ke pembicaraan itu karena mereka menolak menyerahkan wilayah yang direbut sejak pertempuran meletus tahun lalu. Kelompok itu sebagian besar anggotanya berasal dari etnis Tutsi Kongo, yang menuduh pemerintah melanggar kesepakatan untuk mengintegrasikan mereka ke dalam tentara.

Pemberontak M23 mulai merebut wilayah pada November 2021 dan pada Oktober bergerak menuju ke kota Goma. Untuk melawan mereka RD Kongo telah dibantu pasukan negara tetangga dari Komunitas Afrika Timur.

Baca Juga: RD Kongo Gelar Pemilu Presiden dan Parlemen Desember 2023

3. Rwanda dituduh mendukung M23

Pemerintah RD Kongo Tuduh M23 Bantai 272 Warga SipilIlustrasi bendera Rwanda. (Pixabay.com/Clker-Free-Vector-Images)

Masalah RD Kongo dengan pemberontak telah melibatkan Rwanda, yang dituduh memberikan dukungan kepada M23. Sekelompok ahli PBB sebelumnya mengatakan bahwa mereka memiliki bukti kuat bahwa pasukan Rwanda membantu M23 dan menyediakan senjata dan dukungan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken telah melakukan pembicaraan dengan Presiden Rwanda Paul Kagame tentang perlunya perdamaian dan keamanan di wilayah timur RD Kongo.

"Amerika Serikat mendesak Rwanda untuk menghormati komitmen yang dibuat di Luanda, termasuk mengakhiri dukungan Rwanda untuk M23," kata Blinken.

Namun, Menteri Luar Negeri Rwanda Vincent Biruta mengatakan bahwa ada perbedaan pemahaman tentang masalah ini, yang membantah mendukung M23.

"M23 tidak boleh disamakan dengan Rwanda. Ini bukan masalah Rwanda yang harus diselesaikan," katanya.

Ifan Wijaya Photo Verified Writer Ifan Wijaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya