Stop Pelecehan Online kepada Jurnalis Perempuan

#JournalistsToo, jurnalis perempuan juga mengalami pelecehan

Balikpapan, IDN Times - UNESCO (United Nations Educational Scientific, and Cultural Organization) menentang pelecehan kepada jurnalis perempuan. Para jurnalis perempuan di seluruh dunia masa kini tidak hanya menghadapi ancaman pelecehan seksual dan serangan fisik, namun juga secara online.

Internet merupakan alat untuk mencari data sekaligus menyebarluaskan karya jurnalistik, namun ternyata angka kejadian pelecehan kepada para jurnalis perempuan semakin meningkat. Para pelaku pelecehan ini mempermalukan, mengintimidasi, meretas, dan menguntit para jurnalis perempuan secara online

Unesco mengadakan konferensi bertema "Standing up Against Online Harrasment of Women Journalists - What Works" di kantor pusat UNESCO di Paris, Perancis pada 18 Juni 2019. 

Acara konferensi yang fokus pada jurnalis perempuan ini diikuti sejumlah jurnalis dari Canada, Belanda, Denmark, Nigeria, serta sejumlah ahli dari Twitter, The Guardian dan Liberation, juga para ahli hukum yang menangani kasus pelecehan online.

Konferensi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai ancaman secara online kepada jurnalis perempuan dan cara konkret untuk mengatasi ancaman ini.

1. Pelecehan online meninggalkan luka emosional dan fisik yang mendalam bagi jurnalis perempuan

Stop Pelecehan Online kepada Jurnalis Perempuanunsplash/Kat J

Berdasarkan penelitian Trollbusters dan IWMF menununjukkan akibat pelecehan online ini tak jarang jurnalis perempuan terpaksa membatasi diri dan cakupan liputannya demi keselamatan diri mereka.

Selain mempengaruhi performa para jurnalis perempuan secara profesional, pelecehan online ini juga meninggalkan luka emosional dan fisik yang mendalam. Beberapa jurnalis perempuan korban pelecehan online ini mengalami ketakutan, kecemasan, serta trauma.

Baca Juga: Ketahui 8 Bentuk Pelecehan Seksual di Sekitarmu, Bukan Cuma Perkosaan

2. Maria Ressa enggan kalah karena intimidasi

Stop Pelecehan Online kepada Jurnalis Perempuanrappler.com

CEO Rappler Filipina Maria Ressa mengatakan, "Saya menolak membiarkan intimidasi menang," katanya. Dia merupakan target kampanye kotor karena berita investigasinya yang telah mengungkap jaringan politik yang mempengaruhi opini publik dan membangun disinformasi di Filipina. 

Akibatnya, Maria Ressa mendapatkan banyak ancaman pembunuhan dan pemerkosaan melalui media online. Tak mau kalah, Maria membalas dengan melakukan investigasi pada orang-orang yang melakukan pelecehan online kepadanya dan mengungkap identitas mereka.

3. Terjadi peningkatan global kekerasan berbasis gender di dunia jurnalistik secara online

Stop Pelecehan Online kepada Jurnalis Perempuanunsplash/Jeff Hardi

Pada tahun 2016, The Guardian mempelajari 70 juta komen yang diposting di website mereka. Survei ini menunjukkan 8 dari 10 jurnalis yang mendapatkan komen netizen bernada kebencian adalah jurnalis perempuan. 

Jadi serangan kepada jurnalis perempuan jelas tidak hanya tentang keselamatan mereka secara fisik sebagai manusia, tapi juga keragaman pers dan juga kebebasan berekspresi.  Pelecehan online kepada jurnalis perempuan in juga seringkali diikuti oleh bentuk diskriminasi lainnya seperti rasisme, homophobia, xenophobia.

Sumber: unesco.org

Baca Juga: IDN Times Mendukung Dewan Pers Lanjutkan Pelatihan Jurnalis Perempuan

Topik:

  • Mela Hapsari

Berita Terkini Lainnya