15 September Jadi Hari Demokrasi Internasional, Bagaimana Sejarahnya?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Tanggal 15 September ditetapkan sebagai Hari Demokrasi Internasional. Penetapan itu dilakukan oleh Persertikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Hari Demokrasi Internasional ini diawali dengan resolusi PBB pada 2007. Tujuan ditetapkannya Hari Demokrasi Internasional ini untuk memberikan nilai-nilai kebebasan, penghormatan hak asasi manusia, serta menyelenggarakan pemilihan umum dengan prinsip adil dan murni.
1. Hari Demokrasi Internasional di masa pandemik
Dua tahun sudah peringatan Hari Demokrasi Internasional dilakukan di masa pandemik COVID-19. Sekjen PBB, António Guterres, mendesak setiap pemerintah untuk transparan dan responsif dalam penanganan COVID-19.
"Penanganan terbaik adalah yang merespons secara proporsional terhadap ancaman langsung sambil melindungi hak asasi manusia dan supremasi hukum," ujar António dikutip dari situs resmi PBB, Rabu (15/9/2021).
Baca Juga: Minimnya Oposisi di Pemerintahan Jokowi Dinilai Membahayakan Demokrasi
2. PBB soroti sejumlah masalah di setiap negara selama masa pandemik
Editor’s picks
António kemudian menyoroti sejumlah masalah yang ada di setiap negara selama masa pandemik. Masalah tersebut bukan hanya terkait penanganan kesehatan.
Pertama, António meminta pemerintah untuk mengontrol arus informasi serta tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi dan pers. Dia menilai tindakan itu dilatarbelakangi ruang sipil yang menyusut.
Kedua, António menyoroti pemerintah yang menangkap hingga menganiaya lawan politik, jurnalis, dokter, petugas kesehatan, hingga aktivis dengan tuduhan menyebarkan berita palsu. Ini merupakan tindakan yang agresif.
Ketiga, rencana penundaan pemilu yang terjadi di sejumlah negara dapat meningkatkan masalah konstitusional yang serius. Menurutnya, dalam beberapa kasus, hal itu juga dapat meningkatkan ketegangan politik.
3. Sejumlah negara diklaim jawab sorotan PBB
António menerangkan, sejumlah negara telah menjawab tiga hal disoroti PBB. Pertama, dengan meningkatkan literasi media dan keamanan digital.
Selain itu, sejumlah negara juga berusaha memerangi arus berita bohong, ujaran kebencian yang semakin masif di media sosial. Para jurnalis juga dilatih melaporkan dampak pandemik COVID-19 dengan liputan yang mendalam berdasarkan fakta.
Melibatkan perempuan untuk memerangi kekerasan gender yang kian melonjak di masa pandemik COVID-19. Hal itu terjadi diduga karena adanya tekanan sosial dan ekonomi akibat dampak dari pandemik COVID-19.
Baca Juga: Fakta-Fakta yang Menyertai Hari Demokrasi Internasional Tahun Ini