AS: Media Sosial Dianggap Gagal Perangi Hoaks

Perusahaan dinilai gagal menanggulangi hoaks 

Washington DC, IDN Times - Maraknya misinformasi dan hoaks terkait dengan pemilu presiden AS dan anti-vaksin COVID-19 telah membuat perusahaan media sosial dituduh berperan penting. Baik itu Facebook Inc, Twitter Inc, atau Alphabet Inc yang memiliki Google akan melakukan rapat dengar pendapat dengan parlemen AS guna membahasnya.

Koalisi Jaksa Agung dari 12 negara bagian AS mengirimkan surat, menuduh Facebook dan Twitter hanya berbuat sedikit untuk orang-orang menggunakan platform mereka menyebarkan informasi palsu bahwa virus corona tidak aman. Perusahaan Bigtech tersebut dituntut untuk berbuat lebih banyak guna meredam tersebarnya hoaks.

1. Informasi palsu dari "anti-vaxxers" yang bertujuan mencari keuntungan finansial

AS: Media Sosial Dianggap Gagal Perangi HoaksIlustrasi Twitter. (unsplas.com/Freestocks)

Virus corona yang telah menyerang secara global telah menyebabkan berbagai masalah kompleks. Salah satu masalah itu termasuk penyebaran hoaks atau misinformasi, baik itu mengenai spekulasi keberadaan virus maupun vaksin yang kemudian dikembangkan untuk mengobatinya.

Media sosial disebut-sebut memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi, baik itu yang benar maupun keliru. Itu karena, ketika virus corona menyebar, banyak negara yang menerapkan penguncian dan membatasi pergerakan sosial sehingga orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di internet.

Kini ketika kampanye vaksinasi mulai dengan giat dilakukan, masih banyak informasi anti-vaksin yang disebarkan oleh anti-vaxxers. Melansir dari laman CNBC, koalisi Jaksa Agung dari Partai Demokrat AS mengirimi surat kepada CEO Mark Zuckenberg dan CEO Twitter Jack Dorsey, menilai bahwa saat ini anti-vaxxers mengontrol 65 persen konten anti-vaksin publik di Facebook, Instagram dan Twitter. Anti-vaxxer juga disinyalir memiliki lebih dari 59 juta pengikut di platform tersebut serta di platform YouTube milik Google.

Surat dari koalisi 12 Jaksa Agung AS itu mengatakan orang-orang yang tidak memiliki keahlian medis dan sering dimotivasi oleh keuntungan finansial telah menggunakan platform tersebut untuk mengecilkan bahaya COVID-19 dan membesar-besarkan risiko vaksinasi.

Surat tersebut menyebutkan bahwa "mengingat ketergantungan anti-vaxxers pada platform Anda, Anda diposisikan untuk mencegah penyebaran informasi yang salah tentang vaksin virus corona yang menimbulkan ancaman langsung terhadap kesehatan dan keselamatan jutaan orang Amerika Serikat di negara bagian."

2. Upaya pencegahan hoaks yang dilakukan oleh Facebook, Twitter dan Alphabet

AS: Media Sosial Dianggap Gagal Perangi HoaksIlustrasi YouTube. (unsplash.com/Christian Wiediger)

Surat dari koalisi 12 Jaksa Agung negara bagian Amerika Serikat itu datang sehari sebelum tiga CEO Bigtech Facebook, Twitter dan Alphabet yang memiliki Google dan YouTube, datang melakukan rapat dengar pendapat dengan anggota Kongres AS.

Rapat dengar pendapat yang akan dilakukan itu bertajuk ‘Disinformation Nation: Social media’s role in promoting extremism and misinformation’ dan akan digelar pada hari Kamis (25/3).

Ada dua pemicu yang jadi pokok persoalan anggapan bahwa media sosial memiliki peran penting dalam tersebarnya hoaks dan misinformasi. Dua hal tersebut adalah penyerangan terhadap Gedung Capitol dan kesalahan informasi wabah virus corona.

Melansir dari kantor berita Reuters, tiga Bigtech Amerika Serikat itu mengatakan telah memberikan beberapa langkah sebagai upaya mencegah tersebarnya informasi keliru. Facebook mengatakan telah menghapus lebih dari dua juta postingan dan kemudian memberikan label kepada semua postingan yang terkait informasi virus corona dan vaksinnya.

CEO Twitter, Jack Dorsey menjelaskan akan berbicara tentang kebijakan dan rencana informasi yang salah di Twitter, seperti eksperimen pengecekan fakta lewat Birdwatch. Akun yang terbukti menyebarkan informasi palsu secara berulang akan ditangguhkan atau dihapus.

Sedangkan CEO Alphabet yang memiliki Google dan YouTube, Sundar Pichai, memberikan kesaksian tertulisnya pada hari Rabu (24/3) yang mencantumkan tindakan yang telah diambil oleh Google seperti memberikan profil yang lebih tinggi kepada sumber berita resmi.

Baca Juga: 5 Tanda Kamu Terjebak Awal Mula Perselingkuhan di Media Sosial

3. Facebook, Twitter dan Google dianggap gagal menanggulangi tersebarnya hoaks

Seiring tekanan yang terus dilakukan kepada media sosial karena dianggap memiliki peran penting dalam penyebaran informasi palsu atau hoaks, langkah-langkah pencegahan memang telah dilakukan oleh platform tersebut. Akan tetapi, upaya perusahaan Bigtech dengan membuat kebijakan baru untuk membendung arus informasi palsu yang membanjir tersebut dinilai gagal.

Penilaian itu disampaikan oleh Center for Countering Digital Hate (CCDH). Melansir dari laman Financial Times, CEO CCDH yang bernama Imran Ahmed memberikan komentar bahwa “Facebook, Google dan Twitter telah menerapkan kebijakan untuk mencegah penyebaran informasi yang keliru tentang vaksin; namun hingga saat ini, semua gagal untuk menegakkan kebijakan tersebut secara memuaskan."

Imran menilai upaya tiga Bigtech itu belum cukup dalam menghapus informasi keliru dan berbahaya tentang vaksin virus corona.

Menurut analisa CCDH, di AS ada 12 orang yang menurutnya bertanggung jawab atas sekitar dua pertiga konten anti-vaksin secara daring. Di antara 12 orang tersebut adalah Robert F. Kennedy Jr dan pengusaha pengobatan alternatif Joseph Mercola.

Instagram milik perusahaan Facebook telah menghapus akun Robert F. Kennedy Jr tapi Facebook dan Twitter belum melakukannya. Sedangkan Mercola ketika dimintai keterangan atas temuan CCDH, dia menolak berkomentar.

Baca Juga: Bahaya, 7 Hal Ini Sebaiknya Gak Kamu Posting di Media Sosial

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya