Bentrokan di Sudan Sebabkan 48 Korban Jiwa

Konflik terjadi setelah pasukan PBB mundur 

Khartoum, IDN Times – Sabtu pagi, 16 Januari 2021, sebuah bentrokan terjadi di al-Geneina, Darfur barat, sekitar 800 kilometer dari ibukota Khartoum, Sudan. Konflik tersebut setidaknya telah menyebabkan sebanyak 48 orang kehilangan nyawa.

Bentrokan berdarah yang terjadi itu juga menyebabkan hampir sebanyak 100 orang terluka. Awalnya kekerasan bermula dengan tanpa sebab yang jelas. Akhirnya konflik meluas menjadi bentrok dan menyebabkan beberapa bangunan, termasuk rumah-rumah penduduk, hangus terbakar.

Pemerintah Sudan segera menanggapi bentrokan yang terjadi di Darfur. Mereka segera mengirimkan pasukan keamanan untuk mengendalikan situasi yang memanas. Delegasi juga segera dikirimkan sebagai salah satu cara untuk melakukan negosiasi pada pihak-pihak yang terlibat bentrok.

1. Pasukan PBB mundur

Bentrokan di Sudan Sebabkan 48 Korban JiwaPasukan PBB resmi mundur dari Darfur. (Twitter.com/UNAMID)

Aksi kekerasan yang berujung bentrok di Darfur, Sudan, itu terjadi ketika sekitar tiga minggu setelah pasukan perdamaian milik PBB memutuskan untuk mundur dan menutup misinya setelah 13 tahun berada di sana.

Belum jelas apa penyebab bentrok yang terbaru, namun ketika pasukan PBB berada di sana selama belasan tahun, konflik antar suku secara berkala masih tetap terjadi meskipun skalanya kecil.

Bentrokan yang menyebabkan puluhan orang meninggal tersebut bermula di sebuah kamp pengungsian. Melansir dari laman Deutsche Welle, dua warga terlibat baku tembak ketika seorang pria dari suku Arab Rizayqat (penggembala nomaden) ditikan hingga tewas (17/1).

Serikat doktor dan pekerja bantuan yang berada di lokasi bentrok mengatakan bahwa hingga hari Minggu, 17 Januari 2021, bentrokan secara sporadis masih terjadi. Setidaknya ada 97 orang terluka dalam bentrok dan kemungkinan korban jiwa masih akan bertambah.

Para petugas medis menyerukan “pengamanan fasilitas kesehatan” serta jalur transportasi agar masih tetap bisa memberikan bantuan kepada para korban terluka dalam insiden bentrokan yang terjadi.

2. Penerapan jam malam

Bentrokan di Sudan Sebabkan 48 Korban JiwaBentrokan membuat pemerintah terapkan jam malam. (twitter.com/ Darfur 24)

Konflik di Sudan, khususnya di wilayah Darfur sudah terjadi sejak lama. Selama bertahun-tahun konflik antar suku-etnis telah berkobar di wilayah itu dan isu yang berkaitan dengan konflik adalah isu tanah serta akses ke air.

Konflik pahit dan paling besar meletus sejak tahun 2003. Selama konflik, ada sekitar 300.000 korban meninggal dan membuat sekitar 2,5 juta orang mengungsi. Bentrokan itu lahir ketika etnis minoritas melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Arab di Khartoum.

Melansir dari laman Al Jazeera, pemerintah Khartoum sendiri ketika itu menanggapi dengan cara mempersenjatai para milisi yang didominasi oleh etnis Arab bernama kelompok Janjaweed (17/1). Setelah pemerintahan otokratis Omar al-Bashir tumbang, transisi pemerintahan terjadi. Pembagian kekuasaan dilakukan di pusat-pusat konflik, terutama di wilayah Darfur. 

Bentrokan yang terjadi baru-baru ini membuat pemerintah transisi dipertanyakan dalam melakukan pengelolaan konflik masyarakat. Pihak berwenang di wilayah tersebut, segera menerapkan aturan jam malam pada hari Sabtu dan melarang semua pertemuan publik juga menutup pasar untuk meredam konflik agar tidak meluas.

Perdana Menteri Abdalla hamdok telah memerintahkan untuk menyelidiki bentrok yang menyebabkan puluhan orang tewas tersebut.

Baca Juga: Berkat Peran AS, Sudan Normalisasi Hubungan dengan Israel

3. Pergeseran kekuasaan yang mengkhawatirkan

Bentrokan di Sudan Sebabkan 48 Korban JiwaPengungsian Darfur di Chad. (Wikimedia.org/Mark Knobil)

Sejak terlemparnya Omar al-Bashir dari kekuasaan pada April 2019, wilayah Sudan terguncang. Konflik secara berkelanjutan terus terjadi dan membuat banyak orang kehilangan nyawa. Misi penjaga perdamaian pasukan keamanan PBB dikirim ke negara tersebut pada tahun 2003.

Melansir dari laman resmi PBB, upaya untuk mempersatukan dan menstabilkan kembali Sudan telah dilakukan. Pada bulan Oktober 2020, kesepakatan antara pemerintah Sudan dan dua kelompok bersenjata di Darfur dicapai.

Namun dalam kesepakatan yang terjadi pada Oktober tahun lalu, salah satu kelompok pemberontak, yakni The Sudanese Liberation Movement (SLM) yang dipimpin oleh Abdelwahid Nour menolak untuk ikut bergabung. 

Pada 22 Desember, pasukan perdamaian PBB memutuskan untuk menutup misi dan pada awal tahun 2021, patroli terakhir dilakukan. Penutupan misi Darfur PBB telah menyebabkan reaksi dari penduduk. Pada Desember tahun lalu, penduduk di wilayah tersebut melancarkan protes atas penutupan misi.

Mereka khawatir bahwa setelah pasukan PBB mundur, konflik akan kembali terjadi. Rencananya, PBB akan menarik personel keamanannya yang berjumlah 8.000 pasukan secara bertahap hingga enam bulan ke depan.

Baca Juga: Sudan Ungkap Keprihatinan atas Ketegangan yang Terjadi di Ethiopia

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya