Diduga Kelelahan saat Kerja, Karyawan di Tiongkok Meninggal

Lemahnya UU tenaga kerja jadi sorotan

Shanghai, IDN Times – Seorang karyawan perusahaan pengecer daring Pinduoduo dari Tiongkok meninggal pada akhir Desember 2020. Karyawan tersebut masih muda. Dia berusia 22 tahun. Meninggalnya karyawan itu dikonfirmasi oleh perusahaan awal tahun ini.

Setelah kabar meninggalnya karyawan Pinduoduo tersebar, ada diskusi panas mengenai budaya kerja di Tiongkok, khususnya untuk perusahaan-perusahaan raksasa digital. Banyak kritik yang dilontarkan terkait jam kerja yang mencapai 12 jam dalam satu hari.

Awalnya, karyawan yang diketahui perempuan tersebut pingsan pada tanggal 29 Desember 2020 ketika berjalan pulang dengan rekan-rekannya sekitar jam satu dini hari. Setelah dilarikan ke rumah sakit, keesokan harinya dia dikabarkan meninggal dunia.

1. Budaya kerja berlebihan

Diduga Kelelahan saat Kerja, Karyawan di Tiongkok MeninggalBudaya kerja eksploitatif jadi sasaran kritik. Ilustrasi (pexels.com/Lukas)

Selama satu dekade terakhir, Tiongkok memiliki perkembangan pesat khususnya dalam sektor industri teknologi digital. Raksasa-raksasa perusahaan digital Tiongkok segera menjadi perusahaan-perusahaan yang menjanjikan gaji diatas rata-rata perusahaan lainnya.

Fenomena tersebut telah menarik banyak anak muda untuk bergabung dalam sektor industri digital. Namun, janji kekayaan dan kemakmuran harus dibayar mahal. Ada budaya kerja di Tiongkok yang terkenal dengan sebutan 996. Menurut Reuters, budaya 996 tersebut adalah kerja dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam selama enam hari dalam satu minggu.

Agen berita resmi yang dikelola oleh negara Tiongkok memberikan komentar usai kabar meninggalnya karyawan Pinduoduo tersebut. Katanya “ada banyak definisi untuk bekerja keras, tetapi ini tidak pernah tentang mengorbankan hidup demi uang.”

Departemen perlindungan hak-hak tenaga kerja di Shanghai segera meluncurkan penyelidikan terkait kasus meninggalnya karyawan Pinduoduo. Mereka akan segera melakukan peninjauan kondisi kerja para staf di perusahaan tersebut. 

Saham perusahaan Pinduoduo saat itu segera saja anjlok karena banyak sekali pengguna yang menghapus aplikasi dari ponsel mereka. Penghapusan aplikasi tersebut adalah aksi protes terhadap perusahaan yang telah melakukan penerapan budaya kerja “eksploitatif”.

2. Ekspansi belanja patungan

Diduga Kelelahan saat Kerja, Karyawan di Tiongkok MeninggalBelanja patungan sedang jadi tren oleh e-comerce Tiongkok. Ilustrasi (pexels.com/Karolina Grabowska)

Banyak perusahaan internet khususnya sektor pasar elektronik yang mencari cara baru untuk menggaet konsumennya. Diantaranya adalah ekspansi cara belanja baru di luar budaya pasar elektronik tradisional, yaitu belanja patungan.

Pinduoduo yang memiliki markas pusat di Shanghai juga sedang gencar untuk mengkampanyekan program belanja patungan tersebut. Program ini mulai populer ketika wabah virus corona menyerang.

Seorang pelanggan dirangsang untuk bersama-sama dengan pelanggan lain, khususnya para tetangga, untuk membeli barang-barang secara daring dalam jumlah besar, dengan iming-iming diskon.

Promosi program belanja patungan tersebut menjadi salah satu medan pertempuran terbaru para penyedia layanan belanja daring dan Pinduoduo telah memimpin setidaknya selama lima bulan terakhir.

Melansir dari laman Nikkei, karyawan Pinduoduo yang meninggal dengan usia 22 tahun tersebut adalah karyawan yang tergabung dalam kelompok tim bisnis belanja patungan dari perusahaan. Wilayah kerja karyawan muda itu berada di Daerah Otonomi Uyghur, Xinjiang.

Persaingan dengan tensi tinggi antar perusahaan telah membuat tekanan tambahan pada karyawan. Dalam banyak kasus, karyawan harus bekerja berjam-jam guna memenuhi target dan tanggung jawab mereka. Banyak karyawan yang telah mengeluhkan tentang jam kerja yang kadang terlampau panjang tersebut.

Baca Juga: Dampak Pandemik COVID-19, Aduan Pekerja Naik Tiga Kali Lipat

3. Insinyur Pinduoduo bunuh diri

Diduga Kelelahan saat Kerja, Karyawan di Tiongkok MeninggalKaryawan bunuh diri. Ilustrasi (unsplash.com/Tom Sodoge)

Kematian karyawan muda Pinduoduo yang telah memantik diskusi hangat tentang budaya kerja eksploitatif telah membuat perusahaan tersebut mendapatkan kritik tajam dari publik. Namun, hanya beberapa hari berselang setelah karyawan itu meninggal, seorang insinyur perusahaan Pinduoduo dikabarkan melakukan bunuh diri.

Insiden pilu tersebut terjadi pada tanggal 9 Januari 2021. Laman berita yang dikelola oleh pemerintah Komunis Tiongkok, Global Times , mengabarkan bahwa insinyur yang bermarga Tan melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 27 apartemennya di Changsa, provinsi Hunan.

“Kami merasakan kesedihan yang mendalam karena kehilangan salah satu karyawan terbaik kami akibat bunuh diri” kata perusahaan dalam salah satu pernyataan resmi. Perusahaan mengatakan telah melakukan segala upaya untuk menghidupi keluarga dan orang-orang terkasih terhadap semua pekerjanya.

Kesehatan psikologi karyawan Pinduoduo saat ini menjadi perhatian khusus oleh publik. Protes dan kemarahan tertuju kepada mereka. Dua kematian mengejutkan dengan jarak waktu kurang dari dua minggu, telah membuat perusahaan memutuskan untuk memberikan layanan konseling terkait kesehatan psikologis karyawannya.

4. Lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan

Diduga Kelelahan saat Kerja, Karyawan di Tiongkok MeninggalIlustrasi Persidangan (IDN Times/Mardya Shakti)

Pinduoduo adalah salah satu dari tiga perusahaan raksasa pasar elektronik Tiongkok dan bersaing secara ketat dengan Alibaba serta JD. Pada pertengahan tahun 2020, CEO Pinduoduo, Colin Huang telah berhasil mengumpulkan kekayaan sebanyak Rp 635,6 triliun dan melampaui kekayaan Jack Ma.

Namun dia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari Pinduoduo dan memasrahkan kepada Chen Lei untuk menggantikan kedudukannya.

Para perusahaan raksasa teknologi di Tiongkok telah saling berlomba untuk menghasilkan keuntungan yang fantastis. Namun budaya kerja eksploitatif telah banyak menjadi perhatian dan kritikan tajam. Jack Ma sendiri pernah dituduh sebagai “penghisap darah” karena perusahaannya dianggap “memaksa karyawan bekerja di luar batas”.

Melansir dari laman Associated Press, Tiongkok sebenarnya memiliki undang-undang yang dapat membatasi jam kerja karyawannya. Pekerja dan buruh tidak boleh bekerja lebih dari delapan jam sehari atau rata-rata 44 jam seminggu. Jumlah lemburan juga tidak boleh melebihi 36 jam dalam satu bulan.

Namun undang-undang tersebut jarang ditegakkan. Pendiri China Labour Watch, Li Qiang mengatakan bahwa karyawan yang tidak bekerja lembur tidak akan bertahan dalam bisnis teknologi. Jika mereka tidak bisa bekerja lembur, mereka akan diberhentikan.

Penegakan aturan tenaga kerja yang lemah, membuat perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Tiongkok mampu lari dari tanggung jawabnya. Li menjelaskan bahwa “di Tiongkok, tidak ada batasan dalam hal kerja lembur. Perusahaan umumnya tidak bertanggung jawab jika itu terjadi kematian”. Banyak undang-undang tenaga kerja di Tiongkok begitu sulit untuk ditegakkan.

Baca Juga: Perusahan Ini Memata-Matai Karyawan dengan Bantal

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya